PRAWACANA:
METODE PENELITIAN
DAN PEMBELAJARAN SEJARAH
=============================================
Tulisan berikut akan membahas penilaian kritis terhadap pembelajaran sejarah yang terjadi sejauh pengalaman penulis, mulai belajar sejarah dari madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah sampai perguruan tinggi. Dengan demikian, posisinya adalah tidak lebih hanya sekedar berbagi pengalaman dalam belajar dan mengajar sejarah. Artinya, kita semua ingin banyak belajar (schooling) agar saling memperkaya khazanah pengetahuan sejarah, baik dari sisi subtansi maupun metode mengajar. Sebagai bahan prawacana dalam risalah ini amatlah penting untuk memberikan sedikit paparan tentang konsep penelitian sejarah dan kemudian dilanjutkan dengan konsepsi pembelajaran sejarah dengan mengedepankan interaksi edukatif antara guru (dosen ) dan murid (mahasiswa) yang bertumpu pada konsep sejarah sebagai medium bahan ajarnya.
A. Penelitian Sejarah
Dalam penelitian sejarah ada lima tahapan yang harus dilakukan oleh seorang peneliti sejarah dalam melakukan penelitiannya, yaitu:
1. Memilih Topik
Hal pertama yang harus dilakukan oleh seorang peneliti sejarah adalah memilih topik yang akan diteliti. Dalam memilih topik ada beberapa pertimbangan yang biasa digunakan oleh seorang peneliti sejarah yaitu:
a. Pertimbangan subyektif
Pertimbangan ini memiliki kedekatan emosional dengan peneliti. Aspek emosional seringkali menjadi pintu awal bagi peneliti, yaitu menemukan inspirasi dari pengalaman hidup yang paling dekat yang dianggap menarik untuk diteliti.
Misalnya meneliti sejarah desa, tempat penulis dilahirkan. Peneliti yang melakukan penelitian ditempat sendiri (native peneliti), dimana ia dilahirkan dan di besarkan, tentu meliliki kedekatan emosional yang lebih daripada peneliti yang datang dari luar. Ia mengetahui dengan detail kandungan informasi yang tidak terungkap, seperti sosial, budaya, keagamaan, ekonomi, politik masyarakat setempat dan lain-lainnya sehingga bisa membentuk masyarakat desa yang seperti sekarang. Mengingat Indonesia merupakan negara yang kaya dengan desa dengan segala jenisnya, maka penelitian tentang desa tersebut kelak bisa dijadikan bahan untuk membuat generalisasi, karakteristik tentang desa di seluruh Indonesia, sehingga bisa dimanfaatkan demi memajukan masyarakat Indonesia.
b. Pertimbangan obyektif
Pertimbangan ini berdasarkan pada kedekatan intelektual. Kedekatan intelektual mengandung arti bahwa seseorang yang menulis sejarah tertentu, katakanlah desa,
dituntut banyak untuk mampu menempatkan desa itu dalam kontek persoalan desa secara konseptual. Karena itu, penguasaan konsep-konsep yang berkenaan dengan persoalan desa dan sejarahnya menjadi sangat penting untuk dikuasai, misalnya masalah sosial, budaya, keagamaan, ekonomi, politik, pertanahan dan lain-sebagainya. Desa dalam hal ini dilihat sebagai peristiwa empiris dan obyektif. Ini penting dilakukan secara jujur, agar kedekatan emosional yang melatarbelakangi peneliti tidak mengakibatkan penulisan sejarah berubah menjadi pengadilan sejarah atau arena subyektivitas.
Di balik topik yang dipilih, terkandung beberapa permasalahan diantaranya:
a. Pertanyaan inti (subjec matter) yang diteliti atau rumusan masalah;
b. Penjelasan mengapa diteliti atau manfaat penelitian;
c. Maksud dan tujuan penelitian;
d. Batasan penelitian dalam tempat dan waktu;
e. Teori dan konsep yang dijadikan rujukan dalam penelitian;
Untuk itu langkah awal bagi peneliti sejarah adalah menstudi perkembangan penulisan dalam bidang yang akan diteliti. Misalnya seorang peneliti akan melakukan penelitian tentang madrasah, maka seluruh penelitian tentang madrasah harus direview. Dengan langkah ini dapat diketahui apa kekurangan para peneliti terdahulu dan apa yang masih perlu diteliti, sehingga pengulahan terhadap penelitian tidak terjadi. Bisa jadi hasil penelitian yang dilakukan akan menguatkan, menambah, atau melemahkan dan membantah hasil temuan terdahulu.
Dalam pandangan teori sejarah, memilih topik (permasalahan) masuk pada katagori menjawab pertanyaan: apa (what) peristiwa/sejarah yang hendak peneliti sejarah teliti, di mana (where) penelitian akan dilakukan, yaitu menentukan daerah mana yang menjadi obyek penelitian. Kemudian menjawab pertanyaan kapan (when) kapan peristiwa/sejarah yang diteliti terjadi, yaitu dapat dilacak hingga pada tahun dan kurun tertentu. Kemudian sangatlah mudah untuk menjawab pertanyaan siapa pelaku sejarahnya (who). Tidak terkecuali pula tidak sulit menjawab pertanyaan bagaimana peristiwa berlangsung (how), misalnya dengan merumuskan babakan peristiwa, atau membagi peristiwa ke dalam periodesisasi. Lebih jauh lagi, dapat ditanyakan motivasi tiap-tiap peristiwa sehingga pertanyaan mengapa (why) bisa dijawab dengan mudah. Perlu dicatat juga untuk mengkaji sejarah secara kritis, yang lebih mengedepankan kerangka fikir analisis untuk pertanyaan yang harus dikembangkan secara panjang lebar adalah why. Question why (Mengapa, mengapa dan mengapa) ini harus diteropong dan ditelaah secara berkelanjutan, dengan demikian seseorang akan menemukan sebuah fakta sejarah secara lebih komprehensif dan lebih utuh. Kerangka nalar question 5 W (what, where, when, who and why) dan 1 H (how) inilah yang harus dicoba untuk dipahami sebagai seorang pengajar dan penelaah sejarah. Setiap kali kita membicarakan sejarah baik melalui pendekatan deskriptif kronologis maupun pendekatan kritis kerangka dasar question ini harus terjawab dan terjelaskan.
2. Pengumpulan Data
Data sejarah adalah data yang berhasil dikumpulkan secara selektif dari peninggalan sejarah yang telah ada, baik tertulis maupun tidak tertulis. Jika data sejarah diolah sampai melahirkan interpretasi maka berubah kedudukannya menjadi fakta sejarah.
Menurut bahannya, data sejarah dibagi menjadi dua yaitu:
a. Tertulis (dokumen)
Data sejarah tertulis (dokumen) dapat berupa surat resmi, surat pribadi, memori, buku harian, catatan perjalanan, note tulen rapat, kontrak kerja, surat keputusan,
disposisi, bon-bon dan sebagainya.
Tingkat kemudahan dalam mencari sumber ini terkait sejauh mana masyarakat menyadari pentingnya sumber sejarah. Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak terbiasa mendokumentasi berbagai hal (sekalipun data yang dianggap penting) bahkan melakukan program pemusnahan data sebelum disentuh oleh sejarawan. Disamping itu, kita mungkin termasuk bangsa yang kurang menghargai dokumen klasik, sehingga tidaklah heran apabila banyak sejumlah dukumen hilang, misalnya dukumen Super Semar bahkan museum yang ada sekalipun tidak terawat dengan sewajarnya. Berbeda dengan yang pernah penulis saksikan di New York, tepatnya di Universitas Cornel yang pernah dikunjunginya dimana terlihat betapa tingginya kesadaran akan pentingnya dokumen klasik. Misalnya di situ ada sumber klasik Islam yang disimpan ditempat yang canggih, tertata dengan rapi, sangat aman karena dilengkapi dengan kamera pengaman dan pengatur temperatur.
Ada perbedaan antara penelitian sejarah dan sosial dalam menentukan jenis data yang bisa dikategorikan sebagai data primer. Dalam penelitian sejarah data tertulis (dukumen) dapat dikategorikan sebagai data primer manakala dukumen itu dibuat oleh saksi pertama, atau dibuat sendiri oleh yang bersangkutan. Sedangkan bagi peneliti sosial yang masuk pada kategori data primer adalah hasil wawancara langsung, sementara dokumentasi dikategorikan data sekunder.
b. Tidak tertulis (artefak)
Data sejarah yang tidak tertulis dapat berbentuk artefak (berupa foto-foto, bangunan, alat-alat seperti perabot rumah tangga, pakaian, kendaraan, senjata, alat tulis dan sebagainya) dan lisan. Dari sekian bentuk artefak ini, bangunan adalah yang mudah diteliti. Yang dilihat bukan bangunanya, akan tetapi fungsinya. Sebab fungsi bangunan mengikuti profesi. Contoh, pengusaha batik pasti punya tempat jemuran, alat-alat-alat pembatik, seperti cap dan canting, tempat-tempat pencelupan, dan toko. Petani padi pasti memiliki tempat-tempat jemuran, mesin giling, alat potong dan sebagainya. Sedangkan data sejarah yang berbentuk lisan bisa ditelusuri melalui wawancara, atau mendokumentasikan cerita-cerita rakyat, lagu, tembang yang masih ada di kalangan rakyat.
3. Verifikasi
Dalam studi historiografi, setelah permasalahan dirumuskan dan data terkumpul, tahap berikutnya adalah verifikasi, yaitu melakukan kritik terhadap data sejarah guna memperoleh keabsahan data yang telah terkumpul.
Ada dua macam kritik terhadap data sejarah yaitu:
a. Kritik ekstern (otentisitas)
Kritik ektern, misalnya peneliti menemukan note tulen rapat, maka yang dilakukan oleh peneliti adalah mempelajari kertas, tinta, gaya tulisan, bahasa, dan semua penampilan luar note tulen untuk mengetahui apakah data tersebut asli atau palsu.
b. Kritik intern
Setelah terbuktikan bahwa dukumen yang ada asli (otentik), maka langkah selanjutnya adalah melakukan kritik intern, untuk mengetahui apakah isi dukumen itu bisa dipercaya atau tidak. Sebagai contoh: bila dalam note tulen atau berita acara disebutkan bahwa setelah kepala madrasah dilantik banyak koleganya mengucapkan selamat dengan rangkul tempel pipi, termasuk yang wanitanya. Ini bisa dinilai kredibel
bila memang pada waktu itu cara pengucapan selamat dengan rangkul tempel pipi telah mentradisi di masyarakat. Bila belum mentradisi maka dukumen itu diragukan kredibilitasnya.
3. Intrepretasi
Interpretasi dilakukan supaya data sejarah yang telah terkumpul bisa berbicara atau dipahami oleh orang lain sehingga menjadi fakta sejarah. Dalam tahapan ini subyektivitas peneliti mulai muncul. Oleh karena itu agar hal tersebut tidak terjadi atau paling tidak diminimalkan, maka diperlukan analisis dan sintesis.
a. Analisis
Analisis berarti menguraikan kandungan fakta ke dalam katagori-katagori. Misalnya, mengkatagorikan profesi sampingan dari seorang pengajar ke dalam beberapa pekerjaan, sepertinya: pedagang, petani, makelar, manager, penerbang, pemburu dan sebagainya. Berdasarkan katagori itu akan muncul beberapa interpretasi, misalnya: pengajar di daerah tertentu (tempat yang diteliti) gajinya tidak cukup untuk menghidupi keluarga. Interpretasi lain menunjukkan bahwa pengajar di daerah tertentu (tempat yang diteliti) memiliki semangat usaha atau etos kerja yang sangat tinggi. Untuk merumuskan interpretasi yang lebih dekat dengan kebenaran, perlu dikonsultasikan dengan fakta-fakta lainnya, atau dengan teori yang mendukung fakta tersebut.
b. Sintesis
Hasil dari upaya konsultasi antara interpretasi dengan fakta sejarah lainnya (teori) disebut sintesis. Contoh: bila ada data tentang gerakan mahasiswa menentang pemerintahan X, militer mendiamkan dengan tidak mengambil tindakan tegas, namun setelah X itu jatuh, lalu militer secara sigap melakukan represi terhadap setiap gerakan yang merongrong pemerintah atas nama reformasi, maka dapat dibuat sintesis bahwa militer bermain politik, atau tidak netral sebagaimana yang dijanjikan.
5. Penulisan.
Bila semua tahapan studi historiografi diatas telah dijalankan, langkah selanjutnya adalah menuliskan hasil interpretasi dan sintesisnya ke dalam sebuah tulisan. Sejak detik inilah potensi bakat menulis menjadi signifikan. Dengan kata lain, banyak peneliti bagus dalam melakukan pengumpulan dan analisis data, namun bila sampai pada tahapan penulisan mengalami hambatan. Ini banyak terbukti di berbagai kalangan baik akademisi, maupun birokrat, sehingga mereka mengalami kesulitan dalam menyelasaikan studinya sesuai kalender akademik.
Menulis sejarah berbeda dengan menulis dalam bentuk ilmu sosial lainnya. Pada sejarah lebih mengutamakan pada kronologis, sedangkan pada ilmu sosial mengutamakan pada sistimatika. Sejarah bersifat diakronis (memanjang), sedangkan sosial bersifat sinkronis (melebar).
Secara teknis, penulisan meliputi beberapa hal yaitu:
a. Pengantar
Yang masuk dalam muatan pengantar adalah: permasalahan, pertanyaan yang akan dijawab melalui penelitian dan teori yang dipakai, hiostoriografi dan sumber sejarah.
b. Paparan Hasil penelitian
Hasil penelitian disajikan dalam bentuk tulisan dengan mendialogkan antara temuan lapangan dengan teori dan konsep yang terkait.
c. Kesimpulan
Kemudian pada simpulannya dirumuskan generalisasi (generalization). Dalam generalisasi itu akan nampak, apakah menerima, memberi catatan atau menolak generalisasi yang sudah ada. Contoh: menerima bahwa kaum reformis Islam di daerah X adalah homo economicus, namun di daerah Y bangsawanlah yang economicus; bahwa orang Islam kalah berani berspekulasi dengan Cina dalam berdagang.
Dalam tahap penulisan, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang penulis sejarah, antara lain:
a. Memiliki kemampuan bahasa secara baik;
b. Harus memperhatikan kesatuan nilai sejarah;
c. Mengandung pola dan sistematika penyusunan secara utuh;
d. Keseluruhan tampilan haruslah argumentatif dengan hujjah dan fakta yang obyektif.
Disinilah seorang sejarawan dituntut untuk berupaya menegakkan segi–segi obyektivitas. Hal ini bisa ditempuh dengan mengutamakan realitas, bersikap jujur atas kecenderungan pribadinya dan menggunakan pendekatan yang jelas dan terukur. Berkaitan dengan problem pendekatan, para sejarawan modern menganjurkan adanya berbagai pendekatan ilmu-ilmu sosial. Langkah demikian ini diharapkan sebagai upaya untuk mengilmiahkan pengkajian sejarah dan juga mengurangi subyektivitas sehingga meningkatkan kadar obyektivitas dalam pengkajian sejarah.
Segenap apa yang dipaparkan diatas menjadi suatu hal yang sangat signifikan untuk dipahami secara baik oleh seorang sejarawan ataupun seorang pengajar sejarah. Bagaimana mungkin dikatakan seorang sejarawan jika ia tidak memahami konsep penelitian yang menjadi titik awal dari pengkajian secara konseptual dalam bidang sejarah. Terlebih lagi bagi seorang pengajar sejarah yang tidak atau kurang memahami konsep penelitian sejarah. Menyikapi akan hal tersebut muncul pertanyaan: apa yang akan ia lakukan dalam pembelajarannya?.
Namun demikian seorang yang menguasai bahan ajar sejarah dalam realitas tertentu belum tentu mampu mewujud menjadi seorang yang ahli pula dalam upaya mentransformasikannya kepada orang lain dalam bentuk interaksi pembelajaran. Untuk mewujudkan itu semua diperlukan sebuah konsep pembelajaran secara lebih sistematis.
B. Pembelajaran Sejarah
Bagi seorang pengajar sejarah (guru atau dosen), penguasaan pembelajaran sejarah merupakan suatu hal yang sangat penting untuk dikuasai, agar kegiatan belajar yang berlangsung dapat berjalan secara efektif sesuai dengan yang ditetapkan dalam syalabi. Untuk itu ada beberapa tahapan-tahapan yang harus dilakukan dalam proses pembelajaran sejarah, yaitu:
1. Merumuskan Konsep Sejarah
Perumusan konsep sejarah dapat diperoleh dengan melakukan penilaian sejarah. Penilaian sejarah merupakan salah satu tugas akademisi, seperti pengajar (dosen) dalam proses pembelajaran sejarah. Penilaian sejarah dapat dilakukan dalam dua model yaitu:
a. Penilaian Kritis
Penilaian kritis menekankan pada upaya mengkritisi tampilan materi sejarah yang diajarkan dengan realitas sejarah yang sesungguhnya. Penilaian kritis dapat dilihat dari sisi konsep dan metode pembelajaran sejarah.
Dalam konsep pembelajaran sejarah Islam, ada distorsi tampilan sejarah yaitu:
1) Adanya sentrisme Arab yang mendominasi (Arabic core oriented)
Tampilan sejarah sentrisme Arab, biasa disebut konvensional, atau disebut teori sentral di mana Arab sebagai intinya, dengan meminimalkan realitas sejarah wilayah non- Arab. Dalam hal tersebut Nabi Muhammad SAW dengan Madinah dan Makkah sebagai pusatnya menjadi nucleus tunggal yang kemudian berkembang, menyebar ke seluruh dunia melewati batas wilayah Arab. Kecenderungan sejarah ini dapat dilihat dalam literatur, misalnya “Mausuutu al-Tarikh wa al-Hadlaratu al-Islamiyah”, oleh Prof Syalabi; Richard W. Bulliet “Arabic Core Oriented” dalam Islam: The View from the Edge. Kemudian, kritik terhadap pandangan tersebut lahir buku The Venture of Islam:conscience and History in a World Civilization (1974). Buku ini menyajikan banyak informasi tentang bagaimana wilayah non-Arab memberikan sumbangan dalam pengembangan peradaban Islam.
Pandangan sentral ini tidak saja tidak bisa menggambarkan realitas sejarah Islam secara menyeluruh (total history), tetapi juga tidak bisa menjawab sejumlah pertanyaan: mengapa justru mayoritas Muslim adalah masyarakat non-Arab; mengapa mereka mampu mengembangkan peradaban yang relatif maju dan homogen. Semua itu menunjukkan bahwa di luar Arab ada peran sejarah yang ditampilkan. Dengan demikian, untuk menuju total history, pandangan sentral perlu dilengkapi dengan pandangan periperal. Adalah menampilkan peran non-Arab, misalnya Persia, dan Usmani, dan India dalam pentas sejarah Islam. Hari ini kita dapat menyaksikan bagaimana Turki, Bosnia, Iran, Pakistan memainkan peran penting dalam sejarah dunia kontemporer. Ini semua menunjukkan bahwa dulu wilayah yag dikatagori non-Arab memegang peran signifikan dalam pengembangan sejarah dan peradaan Islam.
2) Sejarah yang hanya menampilkan pentas politik elite (political oriented)
Pandangan sentral tersebut mengandung konsekwensi materi sejarah yang syarat dengan sejarah elite politik. Adalah sejarah raja-raja, sejarah timbul dan tenggelamnya elite penguasa, sejarah naik dan turunnya dinasti-dinasti. Realitas sejarah semacam ini terlihat pula dalam sejarah Islam seperti sejarah kekhalifahan di belahan Arab, Mullah di kawasan Parsi atau Kerajaan Sassanid yang kini di sebut Iran, dan sejarah kesultanan dalam kerajaan Usmani.
Dalam pandangan ini sejarah bermakna sempit, adalah terbatas pada sejarah elite. Bahkan ada yang mengatakan bahwa sejarah adalah politik di masa lampau, sedangkan politik adalah sejarah masa kini. Sementara itu jika ada kelompok kecil masyarakat yang dilibatkan dalam politik tidak lebih hanya sekedar sebagai obyek perpolitikan para elite penguasa.
Atas dasar ini dipandang penting melahirkan pandangan periperi sebagai informasi penyeimbang. Secara tehnis pandangan ini melahirkan konsep sejarah sosial. Dalam hal ini, sejarah ditampilkan dalam sistem institusional di mana sejarah tidak dilihat sebagai fenomena elite politik belaka, tetapi dilihat sebagai fenomena masyarakat. Ada empat asumsi dasar yang dapat dijadikan rujukan untuk membentuk sejarah sebagai sebuah fenomena masyarakat yaitu:
a) Keluarga termasuk clan, suku, etnik dan kelompok etnis lainnya,
b) Aspek ekonomi, yaitu organisasi produksi dan distribusi barang-barang material,
c) Konsep-konsep kultural dan keagamaan (religio-intellectual) tentang nilai-nilai mutlak, tujuan kehidupan manusia, dan kolektivitas yang dibangun atas konsep dan komitmen, seperti ormas dan paguyuban,
d) Politik, yaitu pengorganisasian kekuasaan dan pengelolaan konflik, serta
pertahanan. Insitusi ini memiliki kualitas-kualitas khas di setiap kawasan namun memiliki hubungan fungsional berdasarkan pola-pola tertentu. Untuk keperluan sejarah sosial ini ada sebuah buku yang cukup penting untuk dijadikan rujukan, yaitu History of Islamic Society oleh Ira Lapidus (1988), yang membicarakan sejarah Islam dari perspektif masyarakat dengan menguji sejauh mana nilai ajaran Islam mewarnai realitas sejarah Islam.
3) Marginalisasi sejarah Islam dalam kontek sejarah dunia (Western oriented)
Tampilan sejarah Dunia menempatkan sejarah Islam pada posisi periperi. Apapun prestasi sejarah Islam yang gemilang selalu dilihat sebagai kelanjutan dari prestasi Barat. Eropa sentrisme ini terlihat secara menyolok pada upaya memojokkan peran Islam dalam sejarah Dunia. Contoh, sejarah Ottoman dalam pandangan dunia tidak dipandang sebagai pemberi kontribusi pada Dunia Barat, tetapi justru dipandang sebagai penjajah atau hantu terhadap Barat. Padahal sejarah Usmani ikut mendorong lahirnya renaissance atau pencerahan Dunia Barat sebagai kelanjutan kontribusi perang salib terhadap Dunia Barat.
Akibat kekalahan Barat dalam perang salib dan masuknya Usmani ke kawasan Eropa membuat Dunia Barat sadar akan kelemahan dan ketinggalannya dengan dunia Islam. Lebih parah lagi ketika renaisance Barat telah mengalahkan dunia Islam yang ditandai dengan lahirnya imperialisme dan kolonialisme terhadap dunia Islam. Umat Islam mencoba kembali bangkit dan berusaha mengambil khazanah peradaban yang telah diambil Barat. Akan tetapi Barat selalu menempatkan prestasi Islam itu sebagai kelanjutan dari prestasi Barat.
Demikian halnya yang terjadi dalam sejarah Islam Indonesia dalam pentas sejarah nasional juga mengalami nasib yang sama yaitu bahwa Islam Indonesia bukan sebagai inti (core) tetapi sebagai bagian kecil dari sejarah Indonesia. Hal ini terjadi karena historiografi yang digunakan dalam menulis sejarah nasional masih menggunakan perspektif Barat.
Kini tiba saatnya bagi kita untuk mencoba memperbaiki distorsi sejarah yang telah lama gunakan namun kita tidak sadar bahwa itu distorsi sejarah Islam. Fenomena demikian akan semakin memprihatinkan jika ditunjang dengan rapuhnya metodologi pembelajaran sejarah kepada segenap generasi terpelajar yang akan datang.
b. Penilaian Etis
Penilaian etis dilakukan dengan mencari tahu sejauh mana realitas sejarah itu sesuai atau bertentangan dengan ajaran Islam. Ajaran Islam menjadi instrumen konsultasi bagi jalannya sejarah Islam.
2. Membuat Design Mengajar Sejarah
Setelah merumuskan konsep sejarah telah dilakukan, maka langkah selanjutnya bagi seorang pengajar sejarah adalah bagaimana mendesign konsep sejarah menjadi langkah operasional dalam proses belajar (learning process). Ini berarti bahwa konsep sejarah menjadi sangat penting dalam membuat design. Dari konsep itu disusun sylabi sejarah secara tepat guna sesuai dengan kebutuhan, level dan tujuan interaksional yang dikehendaki.
Tujuan interaksional pada setiap level tidak sama. Bagi siswa SD-SMP, barangkali tujuannya adalah mengarah pada romantisme sejarah, seperti kekaguman pada tokoh sejarah. Kualitas tujuan ini penting bagi anak pada tingkatan SD-SMP untuk dijadikan tauladan. Lain halnya dengan SMA atau Aliyah, tujuan interaksionalnya bersifat etis, yaitu
untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah berdasarkan logika sejarah. Sedangkan pada level perguruan tinggi lebih menekankan pada tujuan kritis, yaitu mengajak mahasiswanya untuk berfikir obyektif melalui deeply critical thingking terhadap jalannya sejarah.
Disamping merumuskan tujuan interaksional, perumusan peran pengajar dan murid atau mahasiswa perlu dan sangat penting. Menurut penganut strukturalis, pengajar ditempatkan sebagai “king” dan tahu segala-galanya di hadapan kelas sehingga seorang pengajar berperan sebagai satu-satunya sumber belajar. Berbeda dengan penganut aliran fungsionalis, tidak menempatkan pengajar sebagai satu-satunya sumber informasi, tetapi lebih menempatkan pengajar sebagai fasilitator, atau kini terkenal dengan sebutan sebagai knowledge manager pada level kelas.
Proses belajar mengajar (pembelajaran) adalah bagian yang integral dari pendidikan. Pembelajaran merupakan aktifitas (proses) yang sistematis dan sistemik yang terdiri atas banyak komponen. Pembelajaran bukan konsep atau praktek yang sederhana, ia bersifat kompleks. Pembelajaran berkaitan erat dengan pengembangan potensi manusia (peserta didik), perubahan dan pembinaan dimensi-dimensi kognitif intelektual sekaligus kepribadian peserta didik yang dilakukan dengan bantuan dan bimbingan sang pengajar (Rohani dan Ahmadi,1991:VI).
Diantara komponen terjadinya proses belajar mengajar/pembelajaran adalah adanya guru dan anak didik. Guru yang mengajar dan anak didik yang belajar. Perpaduan dari kedua unsur manusiawi ini lahirlah interaksi edukatif dengan memanfaatkan bahan — konsep sejarah— sebagai mediumnya. Di sana sayogyanya semua komponen pengajaran diperankan secara optimal guna mencapai tujuan pengajaran sejarah yang telah ditetapkan sebelum pengajaran dilaksanakan yang berupa sylabus dan kurikulum sejarah (Djamarah dan Zain, 1996:43).
Dengan adanya interaksi edukatif antara peserta didik (murid, siswa atau mahasiswa) dengan pendidik (guru atau dosen), maka di perlukan kontrol dalam proses interaksi pembelajaran guna tercapainya sebuah target atau tujuan pengajaran yang telah ditetapkan dalam sylabus. Kontrol dan pengawasan terhadap sebuah proses pembelajaran akan dapat dilakukan apabila peserta didik dan pendidik memahami efektifitas belajar.
3. Memilih Proses Interaksional Pembelajaran
Pembelajaran merupakan hal yang paling fundamental dalam proses pendidikan siswa atau mahasiswa. Belajar adalah sebuah proses yang lazim terjadi di dalam kehidupan manusia. Dengan sendirinya semua proses itu menunjukkan sebuah ciri-ciri khas yang dapat digeneralisasikan. Berbagai bentuk dari sebuah proses pembelajaran mengandung ciri-ciri sebagai berikut:
a. Belajar dengan pemahaman (insight) yakni setiap anak mampu mencermati dan meresapi problem situation yang ada disekelilingnya yang kemudian memikirkannya secara realistis.
b. Mendapatkan pengetahuan tentang fakta–fakta yang kemudian mampu
dikorelasikan antara yang satu dengan fakta-fakta lainnya sehingga tersusun sebuah konsep pengetahuan bagi si anak.
c. Menghapal yakni kemampuan yang diperlukan dengan mereproduksikannya kembali sebuah pemahaman dengan penyimpanan kalimat-kalimat.
d. Pembentukan automatisme yakni bentuk belajar dengan melakukan refleks dari sebuah gerakan yang bersifat otomatis dari sebuah reaksi.
e. Dynamic Learning yaitu bentuk pembelajaran yang bersifat dinamis dalam
menentukan karakteristik tertentu dari peserta didik. Ini tentunya harus dilihat berdasarkan klasifikasi kelas mereka.
Dengan demikian apa yang disebut belajar pada hakekatnya adalah proses perubahan kognitif (intelektual) dan terefleksi dalam prilaku berkat pengalaman dan latihan. Ini artinya bahwa tujuan kegiatan belajar adalah transformasi perubahan, baik yang menyangkut pemahaman, pengetahuan, ketrampilan, maupun sikap dan tingkah laku, bahkan meliputi segenap aspek organisme atau pribadi. Transformasi perubahan tersebut dapat diidentifikasi melalui kecenderungan prilaku dan dapat diukur melalui penampilan (behavior performance). Penampilan ini boleh jadi berupa kemampuan menjelaskan, menyebutkan sesuatu, ataupun melakukan sesuatu perbuatan .
Dalam makna sederhana, mengajar dipandang hanya sekedar menyampaikan pelajaran atau upaya menyampaikan bahan pelajaran kepada siswa atau mahasiswa. Dalam makna ini maka pengajaran dalam pelaksanaan dan segenap tindakan mengajar itu sebagai suatu yang sederhana pula. Termasuk di dalamnya mengandung pengertian mengenai cara pandang mengenai anak didik dan pendidik. Anak didik dipandang sebagai suatu obyek yang pasif dan harus diberi berbagai informasi dari pengajar —yang ibarat sang dewa —— yang memberikan idiom–idiom kata di dalam kelas. Di sinilah pengajaran hanya merupakan bentuk–bentuk verbalistik belaka.
Dalam pandangan yang lain mengajar adalah segala upaya yang disengaja dalam rangka memberikan kemungkinan bagi mahasiswa untuk terjadinya proses belajar sesuai dengan tujuan yang dirumuskannya. Jika kita sepakat dengan pengertian ini, maka pengajaran adalah sebuah upaya untuk memberi perangsang (stimulus), bimbingan, pengarahan, dan dorongan kepada siswa atau mahasiswa agar terjadi proses belajar. Jadi tujuan akhir dari mengajar adalah terciptanya kondisi pembelajaran pada mahasiswa.
Bentuk–bentuk pengajaran yang dapat diperlihatkan oleh seorang guru atau dosen
(pengajar) adalah sebagai berikut :
a. Memberitahukan, ialah apabila pengajar dalam mengajarnya bersifat memberitahukan
, hal itu dapat dilakukan dengan :
1) monologis atau scratis yaitu pengajar yang aktif sementara siswa atau mahasiswa
mendengarkan dan;
2) deiktis yaitu, apabila pengajar banyak mencontohkan dan memberi tontonan
sementara siswa atau mahasiswa mengamatinya.
b. Membangkitkan, ialah jika pengajar dalam mengajarnya mampu membangkitkan
keaktifan mahasiswa, yang dapat dilakukan dengan:
1) Dialogis (socratis) yakni seorang pengajar mengaktifkan murid dengan banyak
bertanya dan berdiskusi;
2) Pengajaran kreatif yakni mengusahakan agar murid mampu untuk mengetahui
lanjutan pelajaran dengan atau tanpa bimbingan pengajar (Tim IKIP Surabaya,
1993:5).
Mengajar adalah membimbing siswa atau mahasiswa agar dapat belajar. Agar proses pembelajaran dapat berhasil maka harus memilliki efektifitas yang baik. Agar siswa dapat belajar efektif harus diimbangi terlebih dahulu dengan sistem pengajaran yang efektif. Mengajar yang efektif adalah mengajar yang dapat menciptakan belajar siswa atau mahasiswa yang efektif, artinya tercapainya pembelajaran sesuai dengan yang telah ditentukan dalam sylabi. Jadi antara belajar yang efektif dan mengajar yang efektif keduanya adalah sebuah sisi mata uang yang saling terkait dan tergantung antar keduanya dan tidak mungkin dipisahkan.
Dari segenap bentuk pengajaran yang efektif diatas pada dasarnya mengacu pada peran dan fungsi seorang pengajar. Dalam hal ini pengajar harus mampu memahami
tugas-tugasnya yang antara lain (Tim IKIP Surabaya, 1997:5-7):
a. Mendidik dengan titik berat memberikan arah dan motivasi pencapaian tujuan baik jangka pendek maupun jangka panjang.
b. Memberi fasilitas pencapaian tujuan melalui pengalaman belajar yang memadai.
c. Membantu perkembangan aspek–aspek pribadi seperti sikap nilai, dan penyesuaian diri.
Jadi seorang pengajar dalam proses belajar mengajar tidak terbatas sebagai penyampai ilmu pengetahuan akan tetapi lebih dari itu ia bertanggung jawab secara proporsional dan profesional atas perkembangan siswa. Ia harus mampu menciptakan proses belajar mengajar sedemikian rupa sehingga dapat merangsang siswa untuk belajar efektif dan aktif serta dinamis dalam memenuhi kebutuhan dan mewujudkan tujuan.
C. Interaksi Efektif dalam Belajar Mengajar
Pengajar dan anak didik adalah sebuah dwi tunggal yang di dalamnya mengandung unsur interaksi manusiawi yang permanen dalam pendidikan. Unsur manusiawi inilah yang tiada mungkin tergantikan oleh kecanggihan kemajuan teknologi apapun. Pengajar hadir di sekolah untuk mengabdikan diri kepada ummat manusia yakni peserta didik. Untuk itu sebagian besar waktu seorang pengajar adalah di sekolah di samping sebagian kecil ada di rumah dan di masyarakat.
Ketika sang pengajar hadir di kelas ia membawa sejuta harapan agar mampu memberikan ilmu pengetahuan yang ia miliki kepada segenap anak didiknya. Dan anak didik dengan rasa haus menunggu di kelas akan pemahaman dan pengetahuan yang disampaikan oleh sang pengajar. Ketika itulah pengajar sangat berarti bagi anak didik.
Ketika sang pengajar berdiri di depan kelas ia harus dipenuhi dengan optimisme, percaya diri dan penuh keyakinan bahwa apa yang diajarkannya adalah berarti bagi anak didiknya. Pengajar dituntut pandai menggunakan pendekatan yang arif dan bijaksana dan bukan sembarangan yang bisa merugikan anak didik. Anak didik harus di pandang sebagai pribadi manusia yang memiliki berbagai keunikan dan kelebihan yang beragam antara yang satu dengan yang lainnya.
Antara pengajar dan murid atau mahasiswa yang berada dalam interaksi edukatif menempati posisi, tugas dan tanggung jawab yang berbeda namun bersama–sama berusaha mencapai tujuan. Pengajar bertanggung jawab untuk mengantarkan anak didik ke arah kedewasaan, susila, cakap dan terampil dengan sejumlah pengertian dan pengetahuan. Sedangkan anak didik berusaha untuk mencapai tujuan itu dengan bantuan dan pembinaan dari pengajar. Hubungan antar keduanya adalah hubungan yang aktif dan kreatif dengan ilmu pengetahuan sebagai medium utamanya. Semua proses hubungan aktif, kreatif dan penuh makna itu diikat oleh sebuah tujuan pendidikan yang tercermin pada pola komunikasi antar keduanya.
Menurut Djamarah (2000:12), ada tiga pola interaksi (komunikasi) antara pengajar dan anak didik dalam proses interaksi edukatif yakni: Pertama, Komunikasi sebagai aksi atau komunikasi satu arah, yaitu menempatkan pengajar sebagai pemberi aksi dan anak didik sebagai penerima aksi. Pengajar aktif dan anak didik pasif. Dalam aktifitas ini mengajar di pandang sebagai proses menyampaikan informasi dan pengetahuan yang berbentuk bahan (materi) pelajaran. Kedua, Komunikasi sebagai interaksi atau disebut juga komunikasi dua arah, artinya pengajar berperan sebagai pemberi dan sekaligus penerima aksi. Antar pengajar dan murid memungkinkan terjadinya proses dialog. Dan Ketiga
Komunikasi sebagai transaksi Komunikasi sebagai transaksi dimaksudkan komunikasi yang dilakukan dengan banyak arah, yaitu komunikasi yang tidak hanya terjadi antara pengajar dan anak didik saja akan tetapi anak didik dituntut untuk lebih aktif daripada pengajar. Seperti halnya anak didik dapat juga berfungsi sebagai sumber belajar bagi anak didik lain.
Dengan demikian dalam posisinya di kelas seorang pengajar sejarah harus mampu memahami corak dan pola diatas secara tepat. Sebagai pijakan dapat dikatakan, bahwa kegiatan interaksi belajar mengajar memiliki corak dan ragam yang bermacam–macam. Hal ini tentunya tergantung pada ketrampilan pengajar dalam mengelola interaksi belajar mengajar. Untuk mencegah kebosanan dan kejenuhan anak didik dalam belajar seorang pengajar mutlak harus memahami penggunaan corak mengajar yang variatif. Hal itu juga dimaksudkan dalam rangka menghidupkan suasana kelas demi keberhasilan anak didik dalam mencapai tujuan pendidikan.
Itulah beberapa konsep dan design yang dimungkinkan untuk dilakukan oleh seorang pengajar untuk mengajar sejarah. Namun persoalan yang harus dijawab adalah bagaimana design yang telah dibuat itu diaplikasikan dalam kelas secara efektif. Tidak semua pengajar yang sudah merumuskan konsep dan design dengan baik, dapat dijamin bisa mengajar dengan baik, sebab pada hakekatnya pengajar bukan lahir dari dan karena knowledge semata, tetapi lahir dari bakat. Ini artinya, seorang pengajar dibutuhkan art dalam mengajar. Adalah akting, body language, serta selera humor sangat penting dalam menunjang proses interaksional. Tidak kalah pentingnya, di samping bakat adalah masalah media belajarnya. Kini pada zaman tehnologi canggih, total physic peformance, audio visual dan digital menjadi sangat penting untuk diprioritaskan sebagai media pembelajaran. Ini semua ada dalam jaringan internet atau digital library.
Kini dalam fenomena kota, dan elite desa, khususnya bagi anak orang berduit yang sadar pendidikan lebih cenderung membelikan anaknya komputer dari pada membelikan sepeda motor atau mobil. Bila ini menjadi fenomena publik bisa jadi kelak akan terjadi krisis kepercayan pada seorang pengajar, atau kredibilitas pengajar atau dosen dipertanyakan, bila pengajar yang bersangkutan tidak peka terhadap perkembangan zaman yang kini telah masuk pada wilayah digital atau cyber culture (budaya maya).
Maka secara jujur perlu diakui bahwa mengajar sejarah merupakan suatu proses yang kompleks. Tidak hanya menyampaikan informasi dari pengajar kepada siswa. Banyak kegiatan maupun tindakan yang harus dilakukan terutama bila menginginkan hasil belajar yang lebih baik pada seluruh siswa. Dengan demikian maka rumusan pengertian mengajar dapat meliputi seluruh kegiatan dan tindakan dalam perbuatan mengajar dan belajar itu sendiri (Ali , 1996:11).
0 komentar:
Posting Komentar
berilah komentar yang saling mendukung saling menghormati sesama