A. PENDAHULUAN
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونتوب إليه ونعوذ بالله مـن شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلاّ الله وأن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وصحبه وسلم أما بعد:
Dalam pembahasan makalah ini pemakalah akan membahas sedikit pengertian الجَوَازُ الشَرْعِيُ يُنَافِي الضًّمَانُ dan النِعْمَةُ بِقَدْ رِالنِقْمَةِ وَ النِّقْمَةُ بِقَدْ رِ النِّعْمَةِ apa makna yang terkandung didalamnya menurut syara’ dan bagaimana jika dikaitkan dengan problematika kehidupan yang sering terjadi agar permasalahan tersebut bisa dipahami menurut syara’, yang rinciannya akan dijelaskan dalam pembahasan sebagai berikut
B. PEMBAHASAN
Kaidah pertama :
الجَوَازُ الشَرْعِيُ يُنَافِي الضًّمَانُ
Sesuatu yang diperbolehkan oleh syara’ meniadakan kewajiban mengganti
a) Pengertian kaidah
Kata الجَوَازُ الشَرْعِيُ adalah sesuatu yang diperbolehkan oleh Allah dan Rasullnya untuk dikerjakan. Sedangkan kata الضًّمَانُ adalah kewajiban mengganti bagi orang yang merusakkan barang milik orang lain.
Apabila seseorang melakukan sesuatu yang diizinkan oleh syariat islam, lalu dengan perbuatannya itu menyebabkan ada sesuatu milik orang lain yang rusak atau hilang, maka tidak ada kewajiban atasnya untuk mennganti sesuatu yang rusak tersebut, karena apa yang diizinkan oleh Allah dan Rasullnya berarti memang boleh untuk dikerjakan, dan sesuatu yang boleh untuk dikerjakan maka dia tidak menanggung beban kalau ada kerugian dipihak lain[1]
b) Contoh:
Contoh tidak wajibnya tanggungan atas apa yang diperbolehkan menurut syara’
Jika seorang menggali sumur miliknya atau menggali sumur orang lain dan mendapat izin dari pemiliknya untuk digali, lalu hewan milik orang lain terperosok di dalamnya dan mati maka orang yang menggali sumur tidak berkewajiban menanggung apapun[2]. Kecuali orang tersebut menggali sumur ditempat umum maka dia wajib menanggung.
Seorang menyewa sepeda motor atau mobil atau kendaraan lainnya lalu menggunakan sewajarnya, ternyata rusak ketika digunakan maka penyewa tidak berkewajiban menggantinya karena dia menggunakan sewajarnya, hal ini karena sewa menyewa adalah sesuatu yang diperbolehkan dalam syara’ yang mana konsekuwensi dari bolehnya sewa menyewa adalah bolehnya menggunakan barang yang disewa sewajarnya, lalu kalau dengan timbul kerusakan maka tidak ada kewajiban baginya menggantinya, adapun kalau memakainya secara tidak wajar lalu rusak maka wajib menggantinya. Hal ini ada pengecualikan kalau terdapat kesepakatan antara keduanya maka kesepakatan itulah yang digunakan[3]
c) Syarat tidak adanya tanggungan
Tidak adanya tanggungan dalam hal ini yang boleh menurut syara’ baik berupa melakukan atau meninggalkan disyaratkan perbuatan tersebut tidak dibatasi dengan syarat selamat (sesuatu yang diperbolehkan dan dilarang merusak) dan bukan bagian dari merusakkan harta orang lain.[4]
Oleh karena itu, jika ada sesuatu yang rusak karena dia melintasi di jalan umum atau kaki untanya merusakkan sesuatu di jalan sementara dia menunggang dan mengendalikan, maka dia wajib menanggung resiko karena perjalanannya tersebut, walaupun melitasi jalan menurut syara’ diperbolehkan akan tetapi disyaratkan selamat atau tidak merusak.[5]
Terjadinya kebakaran, Jika seseorang merobohkan suatu rumah tanpa seizin pemiliknya agar api kebakaran tidak sampai menjalar kerumahnya, lalu api ini benar-benar terputus dari rumahnya, dalam hal ini hukumya ditafsil atau diperinci. Jika dia merobohkan karena adanya intruksi dari pemerintah, maka tidak ada tanggungan yang wajib baginya. Namun jika dia merobohkannya atas inisiatifnya sendiri maka dia berkewajiban menanggungnya.
Walaupun keterpaksaan sendiri untuk merobohkan rumah tersebut agar api tidak menjalar dia wajib menanggung resikonya. Sebab maskipun dia terpaksa, akan tetapi keterpaksaan itu tidak membatalkan hak orang lain. Adapun dia tidak wajib menanggung resiko apabila ia merobohkannya atas intruksi dari pemerintahan atau dari kepala maysarakat karene keduanya memiliki kekuasaan umum sehingga intruksi sah untuk menolak madharat umum.[6]
Kaidah kedua:
النِعْمَةُ بِقَدْ رِالنِقْمَةِ وَ النِّقْمَةُ بِقَدْ رِ النِّعْمَةِ
Keuntungan sepadan dengan kerugian dan kerugian sepadan dengan keuntungan
Atau dapat diartikan kenikmatan sesuai dengan kadar jerih payah dan jerih payah sesuai dengan kenikmatan
Pengertian Kaidah:
Kaidah ini bisa disandarkan pada al quran surat ar-ra’d ayat 13
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
Dapat ditarik kesimpulan sesuaia dengan pembahasan kaidah kedua bahwa segala sesuatu itu sesuai dengan perolehannya jika sungguh-sungguh dalam segala hal maka dia akan sepadan dengan apa yang ia kerjakan adanya sebab dan akibat[7]
Dengan kata lain keuntungan diukur dengan pengorbanan dan pengorbanan diukur menurut keuntungan
Dalam pembahasan ini ada dua kaidah yaitu النِّقْمَةُ بِقَدْ رِ النِّعْمَةِ dan النِعْمَةُ بِقَدْ رِالنِقْمَةِ kerugian sepadan dengan keuntungan yang kita berbuat dan kaidaha keuntungan sepadan dengan yang kita berbuat
Contoh:
النِعْمَةُ بِقَدْ رِالنِقْمَةِ
Jika kita belajar dengan sungguh-sungguh maka kita dapat apa yang kita inginkan yaitu encapai ilmu yang kita harapkan Atau segala sesuatu yang berkaitan dengan sebab akibat
النِّقْمَةُ بِقَدْ رِ النِّعْمَةِ
Seorang menyewa sepeda motor untuk pepergian akan tetapi rute telah ditentukan bagi penyewa akan tetapi penyewa tersebut melanggar rute yang telah ditentukan dan sepeda tersebut mengalami kerusakan dikarnakan melewati batas tersebut maka si penyewa harus mengganti kerusakan tersebut dikarnakan oleh perbuatannya. Dan jika sebaliknya maka dia tidak wajib menggantinya.[8]
C. KESIMPULAN
Dari kaidah yang kedua dapat disimpulkan bahwa segala sesuatu tidak lepas karena adanya sebab dan akibat dan jika melanggar sesuatu maka harus menerima sesuai dengan pelanggaran tersebut
Sesuatu boleh dilakukan atau ditinggalkan menurut syara’ pelakunya tidak menanggung atas apa yang keluar darinya atau orang yang bersangkutan tersebut, selama masih diperbolehkan dalam tatanan syara’ dan tidak merusak milik orang lain serta haka orang lain.
Hak orang lain bisa hilang jika adanya perintah atasan untuk bertindak karena atasan bersifat umum untuk keselamatan seperti contoh yang dibahas di atas tentang kebakaran dan merobohkan rumah.
D. DAFTAR PUSTAKA
1. Ahmad sabiq bin Abdullatif Abu Yusuf, Kaidah-kaidah praktis Memahami Fiqih Islam, Pustaka al-Faruq, 2009.
2. Az-zarqa’ muhammad, syathu al-kawaid al-fiqhiyah, 1938
3. Prof.H.A. Djazuli, Kaidah-Kaidah fiqih Hukum Islam dalam Menyeesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, Jakarta, kencana, 2006
4. Usman H.Muklish , kaidah-Kaidah Istimbat hokum Islam, jakatra,PT Raja Grafindo persada, 1996
5. Zaidan dr.abdu al-karim,al wajiz 100 kaidah fiqih dalam kehidupan seh ari-hari,pustaka al-kausar,
[1] Ahmad sabiq bin Abdullatif Abu Yusuf, Kaidah-kaidah praktis Memahami Fiqih Islam, Pustaka al-Faruq, 2009. Hlm 277
[2] Zaidan dr.abdu al-karim,al wajiz 100 kaidah fiqih dalam kehidupan sehari-hari,pustaka al-kausar, hlm 188. Dan H.Muklish Usman, kaidah-Kaidah Istimbat hokum Islam, (jakatra,PT Raja Grafindo persada, 1996) hlm 190
[3] Loc.cit hlm 230
[4] Az-zarqa’ muhammad, syathu al-kawaid al-fiqhiyah, 1938, hlm 449.
[5] Dr.Zaidan abdul karim, Op.cit, hlm 190
[6] Prof.H.A. Djazuli, Kaidah-Kaidah fiqih Hukum Islam dalam Menyeesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, (Jakarta, kencana, 2006), hlm 136.
[8] ibid
0 komentar:
Posting Komentar
berilah komentar yang saling mendukung saling menghormati sesama