Prof. Dr.H.M. Ridlwan Nasir, MA
Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya
Dalam konteks kajian sosiologi global, kita kenal seorang futurolog (pemikir masa depan) Barat Samuel Huntington yang memperkenalkan teori tentang masa depan peradaban dunia dengan konsep clash civilization-nya (benturan antar peradaban). Dalam konsep ini ada sebuah tesa bahwa peradaban internasional —yang saat ini didominasi oleh Barat— pada masa mendatang akan terjadi sebuah pertarungan hebat melawan peradaban Islam dan Konfucius menyusul dengan runtuhnya seteru utama barat dalam perang dingin yakni Komunisme. Esensi dari apa yang dikemukakan Huntington ini mengandung implikasi luas bahwa pada hakekatnya Islam bukan hanya dipahami sebagai agama (religion) belaka, akan tetapi Islam telah diakui sebagai sebuah sistem paradaban yang mengandung implikasi dan relasi kolektif dalam bentuknya yang lebih nyata dalam prilaku sosial kemasyarakatan.
Asumsi diatas mengarahkan kita untuk memahami bahwa Islam harus dilihat secara lebih utuh baik sebagai sistem nilai ——doktrin normatif—— ajaran maupun Islam sebagai realitas sosial. Islam sebagai sistem nilai ajaran ia bersifat ilahiah (relasi ketuhanan) dan karenanya mengandung nilai transenden metafisis. Sedangkan Islam sebagai fakta dan realitas sosial memberikan konsep bahwa Islam tidak bisa dilepaskan atas keterlibatan segenap umatnya dalam membangun relasi sosial dalam fenomena budaya yang telah diwujudkannya di tengah arus peradaban dunia.
Fenomena budaya dan peradaban Islam tentunya mengandung arti bahwa bentuk
– bentuk amaliah ajaran Islam tidak boleh tidak akan dipengaruhi oleh dimensi ruang dan waktu. Dimensi ruang dan waktu inilah yang akan memberikan corak dan karakteristik ummat Islam dalam memahami dan sekaligus menerjemahkan ajaran normatifitas Islam sebagai bentuk keyakinan yang tertancap dalam jiwa seorang muslim. Ajaran Islam —yang terkandung dalam al–qur’an dan sunnah — merupakan pesan – pesan Moral Islami yang menuntun perilaku segenap muslim untuk comit terhadap ajaran agamanya. Pesan moral Islami ini sarat akan kandungan nilai–nilai kemanusiaan (humanitas) dan universalitas yang mengacu pada konsep rahmatan lil
‘alamin.
Dalam khazanah kajian Islam dipahami bahwa konsep Islam tersusun atas tiga sistem utama yakni Iman, Islam dan Ihsan. Iman merupakan sistem keyakinan yang melekat pada diri seorang muslim yang telah ber-syahadat (persaksian) dengan kalimah tauhid sehingga ia secara yakin bahwa tiada tuhan (Ilah) lain selain Allah dan Muhammad sebagai utusannya. Ini kemudian menjadi identitas pertama sebagai seorang muslim untuk memahami secara lebih jauh ajaran Islam. Sebagai seorang Muslim (orang yang menyerahkan diri) ia dituntut untuk melaksanakan segenap aturan dan hukum Islam secara konsisten yang dibimbing oleh keimanan dan keyakinan yang telah melekat dalam pribadinya. Perwujudan dari konsep Islam dengan segala acuan moral etik itulah akan melahirkan manusia muslim yang Muhsin (pembuat kebajikan) dengan bentuk – bentuk ke-ihsanan (kebaikan) prilaku dan sikap yang
membawa kemaslahatan dan kesejahteraan ummat. Hal itu disebabkan ia memiliki komitmen terhadap ajaran Islam yang sarat dengan nilai moralitas sebagaimana tersebut diatas.
Islam semenjak kelahirannnya —lima belas abad yang lalu— telah menghasilkan sistem peradaban dengan karakteristik yang sarat dengan fenomena pasang surut. Islam dan fenomena sejarah telah memberi gambaran riil kepada ummatnya untuk berkenan menyimak sejarahnya dan mengambil hikmah dari pengalaman masa lalu. Dengan menyimak realitas sejarah peradaban Islam maka kita akan mengambil sebuah asumsi bahwa realitas ajaran dan realitas budaya telah terjadi kesenjangan yang luar biasa. Untuk itu sebuah keniscayaan bagi segenap ummat Islam untuk memahami sinergisitas ajaran dan realitas sejarah ummat Islam yang dalam bentuk nyatanya telah menghasilkan Sejarah Peradaban Islam.
Ketika mengkaji peradaban Islam setiap kita akan mengkaitkannya dengan perjalanan historis pembentukan kota Madinah, yang menurut asumsinya bahwa peradaban memiliki akar kata tamaddun yang identik dengan pembentukan masyarakat perkotaan (urbanized) di Madinah. Konsep masyarakat Madinah yang dibangun pada masa kerasulan Muhammad yang hijrah dari Mekkah senantiasa menjadi rujukan utama bagi terbentuknya masyarakat mutamaddun (berperadaban). Dalam konsep selanjutnya para pakar mengkajinya lebih jauh dan menyandingkan konsep masyarakat mutamaddun ini dengan konsep civilization (civilized) ataupun civil society. Fenomena kajian tersebut untuk saat ini menjadi khazanah yang menarik bagi kalangan akademisi ataupun intelektual di tanah air terlebih jika mereka concern terhadap pendampingan dan pemberdayaan rakyat tertindas dan kaum mustadz’afin, walaupun pada tahap tertentu nampak juga konsep kajian mengenai masyarakat mutamaddun ataupun civil society ini telah merambah pada tingkat birokrasi dan elit- elit politik di tanah air sebagai konsep propaganda yang elegan dalam konteks reformasi. Namun dalam kenyataannya kadang banyak kita temukan telah terjadi distorsi dan deviasi dari makna hakikiah dari kerangka berfikir yang sebenarnya.
Persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana dengan kondisi dan realitas empirik ummat Islam saat ini, sudahkan konsep keberadaban itu menjadi sebuah tradisi kolektif, ataukah justru sebaliknya umat Islam sendiri yang menjadi sebab hadirnya berbagai perilaku destruktif yang merusak citra keberadaban Islam itu sendiri. ? Apalagi jika secara jujur kita mengakui selama ini telah terjadi kesenjangan sinergisitas sebagai ummah. Telah muncul secara kasat mata kesenjangan antara idealitas normatif ajaran dengan realitas sosial ummat Islam. Telah banyak kita rasakan dalam kehidupan nyata ummat Islam secara perlahan akan tetapi pasti umat Islam mulai meninggalkan ajarannya dan mengambil norma – norma lain yang —— kadang sadar ataukah tidak—— itu justru menjerumuskan ummat Islam dalam keterpurukan yang sangat jauh dari etik dan moral Islam itu sendiri.
Secara jujur dapatlah dikatakan kita perlu memberi koreksi atas kenyataaan sejarah kita sendiri sebagai ummat yang tertinggi (Al Islam ya’lu wala yu’la alaihi) dengan segala perangkat yang telah diberikan oleh Tuhan untuk menjadi khalifah (pemimpin) di muka bumi ditengah tuntutan modernitas yang semakin kita rasakan dampak dan fenomenanya di sekeliling. Hanya dengan demikian inilah kita akan mampu menerjemahkan ajaran Islam yang sarat akan nilai nilai humanitas dan universalitas dengan konsep rahmatan lil ‘alamin dapat kita bumikan.
Setiap individu muslim memiliki peran strategis dalam mengemban amanat ajaran
Islam agar mewujud dalam bentuknya yang lebih praksis. Tidak tergantung pada posisi
dan kondisi apapun setiap muslim diharapkan mampu memberikan kontribusi yang riil dalam membentuk suatu peradaban dan kebudayaan dari ajaran Islam yang telah diyakini kebenarannya ini. Terlebih bagi seorang akademisi muslim yang secara institusional menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam membangun dan mengembangkan kerangka konseptual kepada ummat.
Peran diatas tidak mungkin dilepaskan atas posisi strategis yang harus dimainkan oleh lembaga atau institusi semisal IAIN. Institusi IAIN sebagai wadah dimana segenap akademisi muslim berkiprah dan mengembangkan paradigma keilmuan Islam tentunya tidak bisa dilepaskan akan peran strategisnya dalam membangun masyarakat yang lebih berperadaban (mutamaddun). Dalam bentuknya yang lebih aplikatif IAIN pada hakekatnya memiliki komitmen untuk senantiasa melakukan berbagai upaya transformasi dan perubahan menuju terbentuknya peradaban muslim. IAIN berusaha secara maksimal untuk memiliki kemampuan yang memadai dengan kedudukan dan posisinya ditengah masyarakat muslim di tanah air sebagai pencetus gagasan metodologis. Gagasan metodologis dimaksud dapat dilakukan dalam memberikan acuan strategis kepada masyarakat secara lebih luas. Hal itu akan lebih nyata jika kita berkenan menengok peran pastisipasi aktif dari segenap alumni IAIN yang menyebar dan bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat.
Berbagai upaya terus dilakukan oleh Institusi IAIN sebab diakui bahwa institusi pendidikan Islam dalam membangun masa depan peradaban Islam memiliki signifikansi dan peran yang tak terbantahkan. Untuk itu melalui Tri Darma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat, IAIN dituntut memiliki kemampuan yang memadai dalam mengembangkan kemampuan diatas. Melalui program yang terarah dan kebijakan yang terencana IAIN senantiasa melakukan berbagai terobosan untuk meningkatkan peran dan fungsinya dalam memberikan kontribusi kepada ummat secara lebih empirik.
Menilik dari apa yang telah dikemukakan diatas, saya menyambut baik tulisan saudara Ibnu Anshori sebagai upaya pengembangan dan peningkatan khazanah intelektual pada institusi IAIN dan khususnya IAIN Sunan Ampel Surabaya yang masih jauh dari realitas ideal sebagaimana yang kita harapkan. Untuk itu harapan lebih jauh dari usaha ini adalah agar dapatnya untuk masa yang akan datang tidak hanya terbatas pada upaya untuk sekedar materi acuan perkuliahan namun lebih luas dari itu. Mudah-mudahan segenap niatan baik dari kita sekalian untuk senantiasa memberikan kontribusi kepada ummat senantiasa mendapat ridlo dari Allah Swt. Amiin, Wallahu a’lam bisy syawab
Surabaya, Desember 2006
Prof. Dr. H.M. Ridlwan Nasir,MA
Rektor IAIN Sunan Ampel
0 komentar:
Posting Komentar
berilah komentar yang saling mendukung saling menghormati sesama