JURNAL PENELITIAN AGAMA
PLURALISME AGAMA:
STUDI TENTANG KEARIFAN LOKAL
DI DESA KARANGBENDA
KECAMATAN ADIPALA
KABUPATEN CILACAP
Attabik & Sumiarti
*) Attabik adalah Magister Agama (M.Ag.), dosen tetap di Jurusan Tarbiyah (Pendidikan) STAIN Purwokerto.
*) Sumiarti adalah Magister Agama (M.Ag.), dosen tetap di Jurusan Tarbiyah (Pendidikan) STAIN Purwokerto.Abstract: The purpose of this research is to reveal fact and comprehensive and detail data about religious pluralism form and values that being its basis and practiced as local genius at Karangbenda Village Adipala Sub district. That local genius values include; knowledge, faith, understanding and perception, and custom (tradition) or ethic enacted by society. Result of this research will give valuable information for people and decision maker about religious pluralism and local genius values on religious pluralism context. Beside, its can became inspiration and input for social problem soling related with conflict and interaction on religious plurality. The result is there are two pluralism forms, namely internal pluralism and external pluralism. Whereas local genius values is the concept of Gusti Kawulo-Kawulo Gusti, Syahadat lan Adat, and Iman lan
Oman. Keywords: religious pluralism, local genius value, Karangbenda Village.I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Peta dunia sekarang ditandai oleh konflik dengan warna keagamaan. Meskipun agama bukan merupakan
satu-satunya faktor, namun jelas sekali bahwa pertimbangan keagamaan dalam konflik-konflik itu dalam
eskalasinya banyak memainkan peran.1 John Naisbitt dan Patricia Aburdene mengemukakan semboyan:
Spirituality Yes, Organized Religion No. Semboyan ini mengandung makna bahwa mereka menginsyafi perlunya
spiritualisme dalam hidup manusia, tetapi mereka sangat kritis terhadap agama mapan, bahkan menolaknya.
Eisntein pernah menyatakan hal serupa, dan jauh sebelumnya Thomas Jefferson juga menganut pandangan
serupa. Jefferson mengaku percaya kepada Tuhan (Deisme), kepada Ke-Maha Esa-an Tuhan (Unitarianisme), dan kepada Kebenaran Universal (Universalisme) tanpa merasa perlu mengikatkan diri kepada salah satu agama formal yang ada. Apa yang diamati oleh Naisbitt dan Aburdene tidak lain dari apa yang diamati oleh Alfin Tofler sebagai gejala kultus (cult), yaitu gerakan spiritual (dan keagamaan) dengan sistem pengorganisasian yang ketat, penuh disiplin, absolutistik, dan dengan sendirinya kurang toleran terhadap kelompok lain. Kultus biasanya berpusat pada ketokohan pribadi yang menarik, berdaya pikat retorik yang memukau, dan dengan sederhana, namun penuh keteguhan, menjanjikan keselamatan dan kebahagiaan. Gerakan ini menurut Toffler bisa diterangkan jika kita melihat gejala-gejala negatif masyarakat industri, yaitu kesepian, hilangnya struktur kemasyarakatan yang kukuh, dan ambruknya makna yang berlaku. Industri telah mengakibatkan alienasi pada diri pribadi para anggotanya.
JURNAL PENELITIAN AGAMA
Alienasi menyebabkan orang tertarik pada kultus-kultus karena alienasi menimbulkan rasa yang
mencekam, yang merindukan perkawanan akrab dan hangat yang mendambakan penjelasan tentang apa dan
ke mana hidup ini. Biasanya kultus bersifat palliative, yaitu memberi hiburan cepat dan jangka pendek
sehingga
ada unsur kepalsuan di dalamnya.2 Sebuah kultus, meskipun diberi label agama formal (Budhisme, Hindu,
Islam, Kristen, dan lainnya) sesungguhnya religio illicita atau erzats religion, agama palsu. Kultus merupakan bentuk pelarian spiritual karena kebingungan dan kesepian yang tidak dapat diselesaikan oleh agama formal atau terorganisasi.3 Suatu tujuan pengabdian atau objek sesembahan (object of devotion) yang terdiri dari sesama wujud nisbi seperti manusia sendiri dan benda-benda alam lainnya, pasti akan berakibat pembelengguan jiwa dan ruhani manusia yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, suatu tujuan pengabdian yang tidak benar akan selalu berwajah tiranik, menguasai jiwa manusia, dan merampas kemerdekaan dirinya yang merupakan inti harkat dan martabat manusia. Pluralisme agama atau pluralitas agama atau kebhinekaan agama merupakan kenyataan aksiomatis (tidak bisa dibantah), dan merupakan keniscayaan sejarah (historical necessary) yang bersifat universal.4 Pluralitas agama harus dipandang sebagai bagian dari kehidupan manusia, yang tidak dapat dilenyapkan, tetapi harus disikapi. Pluralisme agama berpotensi melahirkan benturan, konflik, kekerasan, dan sikap anarkis terhadap penganut agama lain.5 Potensi ini disebabkan karena setiap ajaran agama memiliki aspek ekslusif berupa truth claim, yaitu pengakuan bahwa agamanya yang paling benar. Tuhan yang disembah, Nabi yang membawa wahyu, syariat atau ajaran agama yang dimiliki dan diyakini sebagai yang paling benar. Konsekuensinya adalah agama lain dianggap tidak benar dan sesat. Agama yang benar harus meluruskan dan mengembalikan manusia ke jalan yang benar, masuk dalam agama mereka. Tidak mengherankan jika seluruh agama berlombalomba melakukan dakwah untuk mendapatkan pengikut sebanyak-banyaknya.
Menurut Komaruddin Hidayat, tipologi sikap keagamaan terdiri dari lima tipe, yaitu ekslusivisme, inklusivisme, pluralisme, ekstektivisme, dan universalisme. Ekslusivisme adalah sikap keagamaan yang memandang bahwa ajaran yang paling benar adalah agama yang dipeluknya, yang lainnya sesat. Insklusivisme
adalah sikap keagamaan yang berpandangan bahwa di luar agama yang dipeluknya, juga terdapat kebenaran,
meskipun tidak seutuh dan sesempurna agama yang dianutnya. Pluralisme adalah sikap keagamaan yang
adalah sikap keagamaan yang berpandangan bahwa di luar agama yang dipeluknya, juga terdapat kebenaran,
meskipun tidak seutuh dan sesempurna agama yang dianutnya. Pluralisme adalah sikap keagamaan yang
berpandangan bahwa secara teologis, pluralitas agama dipandang sebagai realitas niscaya yang masing-masing
berdiri sejajar sehingga semangat misionaris dan dakwah dianggap “tidak relevan”. Eklektivisme adalah sikap
berdiri sejajar sehingga semangat misionaris dan dakwah dianggap “tidak relevan”. Eklektivisme adalah sikap
keagamaan yang berusaha memilih dan mempertemukan berbagai ajaran agama yang dipandang baik dan
cocok untuk dirinya sehingga format akhir dari sebuah agama menjadi semacam mozaik eklektik. Universalisme adalah sikap keagamaan yang berpandangan bahwa pada dasarnya semua agama adalah satu dan sama, hanya karena faktor historis yang menyebabkan agama tampil dalam format yang plural.6
cocok untuk dirinya sehingga format akhir dari sebuah agama menjadi semacam mozaik eklektik. Universalisme adalah sikap keagamaan yang berpandangan bahwa pada dasarnya semua agama adalah satu dan sama, hanya karena faktor historis yang menyebabkan agama tampil dalam format yang plural.6
Dalam menyikapi pluralitas agama tersebut, lahirlah konsep-konsep mengenai sikap keagamaan yang
diusung oleh beberapa tokoh. Misalnya, Hans Kung yang mempromosikan ide global ethics, John Hick
mengusulkan global theology. Pemikiran eksklusif dari agama-agama diglobalkan dan dilebur agar dikenal
dengan gagasan yang disebut teologi inklusif. Teologi ini menekankan bahwa semua agama pada esensinya
adalah sama, semuanya benar karena tanpa kecuali seluruhnya mengajarkan kebaikan dan ketundukan kepada
Yang Mahakuasa dan Mahabenar. Oleh sebab itu, tidak ada satu pun di antara agama yang ada pada saat ini,mengusulkan global theology. Pemikiran eksklusif dari agama-agama diglobalkan dan dilebur agar dikenal
dengan gagasan yang disebut teologi inklusif. Teologi ini menekankan bahwa semua agama pada esensinya
adalah sama, semuanya benar karena tanpa kecuali seluruhnya mengajarkan kebaikan dan ketundukan kepada
lebih superior dibandingkan yang lain. Dalam konteks Islam, mereka menolak interpretasi ulama atau umat
Islam atas surat Ali Imran: 197 yang menekankan superioritas Islam atas agama lainnya. Sebagian pihak
menafsirkan Islam yang terkandung dalam kedua surah tersebut bukan sebagai agama (proper name) bagi
sebuah agama, tetapi hanya bentuk ekspresi sikap kepasrahan (submission). Oleh sebab itu, siapapun yang melakukan
penyerahan, maka seseorang tersebut dapat dikategorikan muslim. Ide inilah yang kemudian dipakai
untuk menjustifikasi gagasan teologi inklusif dan pluralisme agama. Menurut Muhammad Legenhausen, ide
pluralisme agama pada awalnya adalah ide yang digagas sebagai respons teologis atas perkembangan yang
berlaku di masyarakat Barat ketika itu. Konflik agama terjadi di mana-mana sehingga menimbulkan ribuan
korban jiwa. Atas nama agama, masing-masing pihak menghabisi pihak lain yang berseberangan dengannya.
Dalam kondisi seperti inilah kemudian lahir gerakan liberalisme. Gerakan liberalisme pada awalnya bersifat
politis karena tujuannya hanya untuk membatasi intervensi gereja dalam administrasi pemerintahan. Akanpluralisme agama pada awalnya adalah ide yang digagas sebagai respons teologis atas perkembangan yang
berlaku di masyarakat Barat ketika itu. Konflik agama terjadi di mana-mana sehingga menimbulkan ribuan
korban jiwa. Atas nama agama, masing-masing pihak menghabisi pihak lain yang berseberangan dengannya.
Dalam kondisi seperti inilah kemudian lahir gerakan liberalisme. Gerakan liberalisme pada awalnya bersifat
tetapi, pada abad 19, gerakan liberalisme menular ke barisan Kristen Protestan sehingga melahirkan apa yang
disebut Protestan Liberalisme.
Tidak bisa dinafikan, gerakan ini sangat kuat dipengaruhi oleh konsep modernisme yang juga sedang
berkembang saat itu. Di antara penggagas gerakan ini adalah teolog Protestan Fredrich Schleiermacher (1768-
1834), yang pikiran-pikirannya banyak mempengaruhi John Hick. Ide-ide dasar pluralisme agama dapat
ditelusuri dari tulisan Schleiermacher. Schleiermacher menilai bahwa agama adalah urusan privat; esensinya
terletak pada jiwa dan diri manusia dalam interaksinya dengan Yang Mutlak, bukan pada institusi tertentu dari
agama atau bentuk-bentuk eksternalnya. Selain Schleiermacher, Rudolf Otto (1869-1937), seorang teolog Jerman
mempunyai pandangan bahwa pada prinsipnya agama memiliki satu esensi yang sama, yaitu kesucian (The
Holy). The holy ini mencakup hal-hal yang rasional dan hal-hal yang irrasional. Akan tetapi, unsur terakhirlah
sesungguhnya yang permanen dalam agama dan yang disebutnya sebagai numinous. Di samping
Schleiermacher dan Otto, asal-usul ide pluralisme agama dapat dilacak pada pemikir-pemikir seperti Ernst
Troeltch (1865-1923), Wilhem Dilthey (1833-1911), Arnold Toynbee (1889-1975) dan para pemikir Romantisisme.
Argumen yang diusung para tokoh filsafat perenialis seperti Fritjof Schuon, Rene Guenon, dan Syed
Hossein Nasr hampir sama dengan argumen yang digunakan Hick bahwa seluruh agama sesungguhnya
sama-sama benar dan absah, dan dapat digunakan untuk mencapai kebenaran. Perbedaan antaragama di
dunia ini hanya pada perbedaan dalam pengungkapan kesatuan transendental. Untuk memperkuat ide ini,
statemen para sufi terkenal selalu dikutip, antara lain statemen dari Jalaludin al-Rumi: “Al-malabil mukhtalifah
walakin al-law walid” (Lentera mungkin berbeda, tetapi cahayanya tetap satu).
Dengan demikian, pluralisme menyimpan potensi positif maupun negatif dalam konteks hubungan
manusia dan masyarakat. Upaya membangun common platform (kalimatun sawa’) dengan perjumpaan dan
dialog yang konstruktif dan berkesinambungan dengan agama lain merupakan tugas manusia yang perennial,
abadi.8 Jika hal tersebut tidak dilakukan, maka alih-alih agama menjadi sumber bagi penciptaan dunia yang
damai, justru menjadi sumber konflik dan kekerasan. Sebagaimana dikemukakan oleh Wim Beuken dan Kar-
Josef Kusc, dkk, bahwa kekerasan yang disebabkan oleh agama karena adanya; (1) klaim sebuah agama sebagai
satu-satunya agama yang benar, (2) agama dianggap jaminan langsung kesejahteraan masyarakat, (3) agama
yang dianut dianggap sebagai perjanjian dan pilihan Tuhan.9 Pada intinya, agama menjadi sumber konflik dan
kekerasan disebabkan oleh ekslusivitas dan fanatisme agama sehingga menyebabkan suatu agama merasa
paling benar dan merasa berhak memperlakukan agama lain sebagai pihak yang sesat. Bahkan, perilaku
kekerasan kadangkala dianggap sebagai bagian dari “tugas suci” agama.10
Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis, menyangkut hubungan antara individu, antara
individu dengan kelompok, maupun antara kelompok dengan kelompok yang lain. Interaksi sosial tidak
mungkin terjadi jika tidak memenuhi dua syarat, yaitu adanya kontak sosial (social contact), dan adanya
komunikasi.11 Interaksi sosial dalam masyarakat Indonesia bersifat intens mengingat masyarakat Indonesia
memiliki ciri berupa eratnya kedekatan sosial dan emosional antarwarga masyarakat. Adapun bentuk-bentuk
interaksi sosial dapat berupa kerjasama (cooperation), persaingan (competition), bahkan berbentuk pertentangan
atau pertikaian (conflict).12 Demikian pula interaksi antarumat beragama di Indonesia dapat berupa kerjasama,
persaingan atau pertikaian. Interaksi sosial yang diharapkan tentu saja yang menuju ke arah yang positif, tidak
berujung kepada konflik dan tindakan kekerasan.
Dalam konteks interaksi antaragama, masyarakat Indonesia dikenal sudah memiliki sistem nilai tersendiri
sehingga dapat melakukan toleransi dengan berbagai macam kebhinekaan yang ada dalam masyarakat.
Masing-masing masyarakat memiliki sistem nilai yang diyakini, dipatuhi, dan dilaksanakan demi menjaga
harmonisasi dalam masyarakat. Nilai-nilai inilah yang dikenal sebagai kearifan lokal (traditional wisdom).
Menurut Nicholas Maxwell yang dimaksud traditional wisdom adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan,
pemahaman atau wawasan, serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam
kehidupan komunitas ekologis yang menyangkut relasi yang baik di antara sesama manusia, juga di antara
semua penghuni komunitas ekologis.13 Seluruh kearifan tradisional tersebut biasanya dihayati, dipraktikkan,
diajarkan, dan diwariskan dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Religiositas masyarakat berikut tradisi
dan kearifan lokal yang masih berlaku di masyarakat memiliki peran untuk mendorong kerukunan hidup dan
damai antaragama. Oleh karena biasanya kearifan lokal mengajarkan perdamaian dengan Tuhan, sesama
manusia, dan lingkungan. Hakikatnya, dalam hal memandang agama, biasanya masyarakat melihat dari dua
aspek, yaitu aspek ketuhanan dan aspek kemanusiaan.14 Aspek ketuhanan dari agama mengatur hubungan
manusia dengan Tuhannya, yang caranya sudah ditentukan oleh masing-masing agama. Aspek kemanusiaan
berkaitan dengan interaksi manusia beragama dengan sesamanya (in-group-nya) dan dengan penganut agama
lain (out-group-nya).
Potensi konflik dalam interaksi antaragama dapat disebabkan karena unsur internal dari agama. Setiap
agama selalu memiliki klaim kebenaran (truth claim) yang berisi keyakinan bahwa agamanyalah yang paling
benar. Konsekuensinya, agama yang lain pastilah dikategorikan salah atau sesat sehingga harus diluruskan.
Oleh karena itu, upaya melakukan dakwah agama menjadi keniscayaan dalam rangka “meluruskan”
masyarakat agar kembali “ke jalan yang benar”. Sikap ekslusivitas dan sensitivitas beragama menjadikan
masyarakat gampang terpicu oleh propaganda yang menyebabkan terjadinya konflik antaragama. Jika
keyakinan tersebut tidak dikontrol dan diatur, yang akan terjadi adalah perbenturan dan konflik antaragama
atas nama truth claim tersebut. Kearifan masyarakat mengekspresikan klaim kebenaran itulah yang menjadi hal
penting mengingat masyarakat kita terdiri dari berbagai penganut agama, dan terbelah dalam berbagai aliran
keagamaan. Sikap saling menghormati dan bersikap santun terhadap the Other merupakan hal yang
ditekankan agar agama membawa kedamaian, bukan kekerasan dan konflik.
Demikian pula yang terjadi di Desa Karangbenda Kecamatan Adipala Kabupaten Cilacap. Secara formal,
penduduk desa Karangbenda adalah penganut agama Islam. Dari 2.896 penduduk, hanya 7 orang yang
beragama Katholik dan 5 beragama Budha. Bentuk-bentuk prluralisme agama di Karangbenda muncul dalam
wujud adanya penganut Islam dengan berbagai aliran (NU, Muhammadiyah, dan Kejawen), Katholik, dan
Budha. Penganut Islam mayoritas adalah dari ormas Nahdlatul Ulama. Dari 9 musholla, hanya satu yang
JPA | Vol. 9 | No. 2 | Jul-Des 2008 | 271-291 4 P3M STAIN Purwokerto | Attabik & Sumiarti
JURNAL PENELITIAN AGAMA
merupakan musholla dari ormas Muhammadiyah. Sebagian adalah penganut “Islam KTP” karena sebenarnya
mereka melaksanakan ajaran dan praktik Kejawen. Banyaknya kaum Nahdliyin di Karangbenda
dimungkinkan karena dalam ajaran dan praktiknya NU dianggap lebih akomodatif terhadap tradisi masyarakat
Karangbenda.15 Sementara itu, penganut Muhammadiyah hanya sedikit, yaitu ada di satu musholla di
Babakan. Di dusun Congot terdapat penganut HPK sekitar 200 orang. Para penganut HPK umumnya terdiri
dari orang tua yang berumur di atas 40-an tahun karena secara tidak tertulis ada aturan bahwa yang boleh
menuntut ngelmu Kejawen adalah mereka yang dianggap sudah cukup umurnya.
Di samping itu, pluralisme agama dan kepercayaan di wilayah desa Karangbenda dan sekitarnya terdapat
beberapa wisata spiritual yang banyak didatangi peziarah dari berbagai wilayah Indonesia. Desa yang berlokasi
di pesisir Pantai Selatan Jawa ini memiliki hutan lindung milik pemerintah yang berada di bawah pengelolaan
Dinas Perhutani Wilayah Banyumas Timur. Hutan lindung ini terkenal dengan sebutan Gunung Srandil dan
Gunung Selok, yang merupakan salah satu tempat wisata hutan dan pantai di Kabupaten Cilacap. Di samping
wisata alam, gunung Selok dan Gunung Srandil terkenal juga sebagai tempat wisata spiritual lintas agama.
Wilayah di sekitarnya diyakini sebagai tempat yang tepat untuk ngalap berkah karena dekat dengan kekuasaan
Ratu Laut Selatan (Nyi Roro Kidul), dan adanya keyakinan bahwa Kyai Semar, Sang pamomong juga
bersemayam di sekitar Gunung Srandil dan Selok. Oleh karena itu, wilayah di sekitar gunung Srandil, Selok,
dan di beberapa gua yang terletak di tepi pantai laut selatan merupakan tempat wisata spiritual yang ramai
didatangi peziarah, terutama pada malam-malam tertentu (biasanya malam Jumat Kliwon dan malam Selasa
Kliwon), dan bulan-bulan tertentu (misalnya bulan Sura/Muharam). Beberapa tempat yang dijadikan sebagai
tempat, yaitu Jambe Lima, Jambe Pitu, Makam K.H. Makhfud Abdurrahman, Vihara, Pura, dan Kendran.
Semua lokasi wisata spiritual ini letaknya di sekitar Gunung Srandil dan Gunung Selok. Keduanya saling
berdekatan satu sama lain.
Berbagai penganut agama yang mengadakan ritual di beberapa tempat yang ada di Gunung Srandil dan
Selok tersebut, baik mereka yang berasal dari Desa Karangbenda maupun yang berasal dari luar Desa
Karangbenda hidup secara harmonis. Masyarakat bersikap toleran dan saling menghormati antara pemeluk
agama dan kepercayaan yang berbeda-beda sehingga tidak pernah terjadi pertikaian atau konflik serius yang
berbasis agama. Bahkan, para pendatang atau peziarah yang datang dari berbagai agama dan kepercayaan, dan
datang dari segenap penjuru tanah air, tidak pernah mendapatkan halangan dari warga Karangbenda dan
sekitarnya. Para peziarah melakukan berbagai ritual sesuai dengan keyakinannya, misalnya membakar
kemenyan, menabur bunga (nyekar), bertapa, bersemedi, melaksanakan tahlil, dan sebagainya.
Pluralisme agama yang terdapat dalam masyarakat Karangbenda selama ini tidak menimbulkan masalah
yang berarti, baik dalam interaksi internal masyarakat, maupun antara masyarakat Karangbenda dengan
masyarakat yang datang dari berbagai agama dan wilayah. Prinsip menghormati ajaran agama dan praktik keagamaan
yang berbeda-beda sudah menjadi keseharian masyarakat sehingga interaksi sosial yang menuju ke
arah kompetisi yang tidak sehat dan konflik tidak terjadi.
Dari kenyataan tersebut, sangat menarik untuk mengetahui berbagai nilai kearifan lokal yang dimiliki
masyarakat Karangbenda dalam konteks pluralisme agama. Penulis merasa tertarik untuk melakukan
penelitian tentang pluralisme agama, menggali dan mengungkapkan berbagai bentuk kearifan lokal yang
mendasari dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari warga Desa Karangbenda, yaitu pengetahuan,
keyakinan, pemahaman atau wawasan, serta adat kebiasaan atau etika yang berlaku dalam kehidupan
JPA | Vol. 9 | No. 2 | Jul-Des 2008 | 271-291 5 P3M STAIN Purwokerto | Attabik & Sumiarti
JURNAL PENELITIAN AGAMA
masyarakat sehingga mereka senantiasa hidup guyub rukun dengan berbagai perbedaan agama dan keyakinan
yang mereka miliki.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah, penulis merumuskan masalahnya sebagai berikut.
1. Bagaimana bentuk-bentuk pluralisme agama di Desa Karangbenda Kecamatan Adipala?
2. Apa sajakah nilai-nilai kearifan lokal di Desa Karangbenda Kecamatan Adipala dalam konteks
pluralisme agama?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan penelitian ini ingin mengungkapkan fakta dan data yang mendalam dan terinci tentang bentukbentuk
pluralisme agama dan nilai-nilai yang mendasari dan dipraktikkannya sebagai kearifan lokal di Desa
Karangbenda Kecamatan Adipala dalam konteks pluralisme agama. Nilai-nilai kearifan lokal tersebut berupa;
pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan, serta adat kebiasaan (tradisi) atau etika yang berlaku
dalam masyarakat.
Kegunaan penelitian ini untuk memberi informasi yang sangat berharga bagi masyarakat dan para
penentu kebijakan (decision maker) tentang berbagai bentuk pluralisme agama dan nilai-nilai kearifan lokal
dalam konteks pluralisme agama. Di samping itu, hasil penelitian ini dijadikan inspirasi dan masukan bagi
penanganan persoalan masyarakat yang berkaitan dengan konflik dan interaksi dalam pluralitas agama.
II. METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Subjek Penelitian
Penelitian ini dilakukan Desa Karangbenda Kecamatan Adipala. Desa Karangbenda dan sekitarnya
memiliki pluralitas agama, yaitu dari sisi ajaran maupun praktiknya. Desa Karangbenda memiliki bentukbentuk
pluralisme agama dan nilai-nilai yang mendasari dan dipraktikkan sebagai kearifan lokal dalam konteks
pluralisme agama. Nilai-nilai kearifan lokal tersebut berupa pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau
wawasan, serta adat kebiasaan (tradisi) atau etika yang berlaku dalam masyarakat.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian etnografi, yang di dalamnya mempelajari peristiwa kultural, yang
menyajikan pandangan hidup, keyakinan, pola interaksi, makna physical setting, dan kegiatan subjek penelitian.
Dalam penelitian ini, akan dideskripsikan tentang bentuk pluralisme agama di Desa Karangbenda dan nilai
kearifan lokal yang mendasari interaksi masyarakat dalam konteks pluralisme agama. Dimensi konseptual
metodologis yang dipakai dalam penelitian ini bercorak etnografi, dan lebih cenderung menggunakan induksigeneratif-
konstruktif. Artinya, penelitian ini mengarah pada penemuan konstruksi bentuk-bentuk pluralisme
agama dan nilai-nilai kearifan lokal untuk merumuskan preposisi (pernyataan sebagai teori) dengan
menggunakan data sebagai evidensi, khususnya berkaitan dengan pluralisme agama dan kearifan lokal yang
mendasarinya.
B. Teknik Penentuan Sumber Data
JPA | Vol. 9 | No. 2 | Jul-Des 2008 | 271-291 6 P3M STAIN Purwokerto | Attabik & Sumiarti
JURNAL PENELITIAN AGAMA
Untuk memperoleh data yang diinginkan, maka diperlukan sumber informasi yang memadai. Penetapan
sumber informasi (informan) yang digunakan adalah creation based selection (seleksi berdasarkan kriteria).
Penelitian ini akan mengambil sampel sebagai sumber data atau informan secara purposive (purposive
sampling), yaitu teknik pengambilan sumber data dengan kriteria tertentu. Ciri-ciri sampel purposive adalah (1)
emergent sampling design/sementara, (2) serial selection of sample units/menggelinding seperti bola salju (snowball),
(3) continuous adjustment or focusing of the sample/disesuaikan dengan kebutuhan, dan (4) selection to the point of
redundancy/dipilih sampai jenuh.16
Kriteria pengambilan sumber data didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut.
1. Orang yang menguasai atau memahami tradisi slametan melalui proses enkulturasi sehingga bukan
sekadar mengetahui, tetapi benar-benar meresapi dan menghayati nilai-nilai kearifan lokal di
masyarakat Desa Karangbenda.
2. Orang yang sedang berkecimpung atau terlibat dalam berbagai tradisi slametan, yaitu mereka para
pelaku (actor) dalam interaksi antaragama dan aliran kepercayaan di desa Karangbenda.
C. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Observasi: penulis melakukan pengamatan dengan mendatangi berbagai tempat, melihat beberapa
upacara keagamaan, dan pengamatan terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat Karangbenda.
b. Wawancara bebas dan mendalam (indepth interview): melakukan wawancara mendalam kepada
sumber data, yaitu tokoh agama dan tokoh masyarakat Desa Karangbenda yang menghayati,
melakukan dan melaksanakan hubungan interaksi dalam konteks pluralisme agama.
c. Studi dokumentasi, digunakan untuk memperoleh data yang bersumber dari berbagai catatan, gambar,
dan benda-benda yang relevan dengan fokus penelitian.
D. Metode Analisis Data
Setelah wawancara, observasi, dan analisis dokumentasi yang merupakan cara pengumpulan data,
selanjutnya data dicatat secara deskripstif dan reflektif yang kemudian dianalisis. Analisis data ini dilakukan
dalam rangka mencari dan menata (mengkonstruk) secara sistematis catatan (deskripsi) hasil wawancara,
observasi, dan lainnya, untuk meningkatkan pemahaman dan pemaknaan peneliti tentang objek penelitian.
II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Sikap masyarakat secara umum memiliki toleransi yang sangat tinggi terhadap penganut agama dan
kepercayaan lain. Ada beberapa nilai yang terinternalisasi dalam keseharian masyarakat, yang diyakini dan
dijadikan sebagai landasan bersikap dan berperilaku sehari-hari sehingga hidup guyub tanpa ada konflik yang
berarti. Beberapa nilai yang tampaknya menjadi pedoman hidup masyarakat Karangbenda, antara lain
tersimpul dari ajaran tentang Gusti Kawulo-Kawulo Gusti, Syahadat-Adat, Iman-Oman.
A. Gusti Kawulo - Kawulo Gusti
Ajaran Gusti Kawulo berisi ajaran bahwa masyarakat harus percaya kepada Gusti Allah, pangeran ingkang
murbeng dumadi. Orang Jawa membedakan antara rasa dengan akal sehat (nalar; akal), yaitu sarana memahami
dunia fenomenal dan persoalan duniawi. Rasa sebagai “perasaan” hati intuitif berupaya untuk menangkap
JPA | Vol. 9 | No. 2 | Jul-Des 2008 | 271-291 7 P3M STAIN Purwokerto | Attabik & Sumiarti
JURNAL PENELITIAN AGAMA
pengetahuan sejati, yaitu pemahaman personal mengenai kodrat sejati benda-benda yang tidak dapat
dirumuskan secara objektif. Hanya dalam dan dari diri sendirilah “kebenaran” dapat diraih dengan melatih
kepekaan intuitif. Orang Jawa menyebut sebagai “nggayuh ngelmu” menggunakan “rasa atau jalan ruhani”
dalam mencapai kesempurnaan, mengenal dan bersatu dengan Tuhan sebagai tujuan akhirnya (manunggaling
kawula-Gusti).17 Pencapaian kesempurnaan ini tentu saja tidak dalam arti fisik sebagaimana paham “hulul”
dalam tasawuf Islam, melainkan pada rasa menyatu dengan Tuhan sehingga segala keyakinan dan perilakunya
sesuai dengan kehendak Tuhan.
Kepercayaan ini merupakan manifestasi hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhannya sehingga
manusia harus tunduk dan taat terhadap Gusti Allah dengan cara selalu eling terhadap-Nya. Eling kepada
Gusti Allah diwujudkan dengan berbagai ritual yang dilaksanakan sesuai agama dan kepercayaan masingmasing.
Bagi pemeluk Islam, ada kewajiban untuk menjalankan syariat Islam, seperti shalat lima waktu, puasa,
zakat, bahkan haji. Bentuk ketundukan masyarakat yang mengakui Tuhan sebagai Gusti Kawulo harus
diwujudkan pula dalam bentuk kesadaran dan perilaku bahwa semua manusia adalah kawulo gusti, makhluk
Tuhan. Kesadaran manusia sebagai makhluk Tuhan ditandai dengan adanya sikap yang saling menghormati
dan menghargai, bahkan tidak hanya kepada sesama manusia, tetapi juga kepada makhluk Tuhan yang lain
berupa hewan, tumbuhan, dan seluruh alam semesta. Sikap ini menandakan bahwa hubungan vertikal dengan
Gusti Allah harus diimbangi dengan hubungan yang baik dengan sesama kawulanipun Gusti Allah, yaitu sesama
manusia dan makhluk lain di muka bumi. Dengan keyakinan Gusti Kawulo-Kawulo Gusti dalam pengertian
tersebut menandakan bahwa masyarakat Karangbenda memiliki keyakinan bahwa Tuhan, pencipta seluruh
makhluk, menciptakan makhluknya dengan kedudukan yang sederajat, tidak boleh ada yang merasa paling
benar, paling istimewa. Oleh karena kedudukan yang sederajat, maka harus ada kemauan untuk bekerja sama
dan saling menghormati, meskipun memiliki agama dan kepercayaan yang berbeda-beda. Prinsip rukun dan
hormat, yaitu hidup damai berdampingan dan menghormati ajaran agama dan praktik dari agama lain sangat
dijunjung tinggi oleh masyarakat Karangbenda sebagai perwujudan konsep Gusti Kawulo-Kawulo Gusti tersebut.
B. Keselarasan antara Syahadat dan Adat
Sebagai desa yang penuh nuansa adat dan mistik, masyarakat Karangbenda sampai sekarang masih taat
dalam melaksanakan berbagai tradisi yang dipraktikkan turun-temurun. Berbagai tradisi dan ritus dilaksanakan
di Karangbenda dengan suasana Kejawen yang kental. Misalnya, adanya tradisi dzikir jujug pada slametan
kematian, dzikir junjung yang dilaksanakan pada bulan Syawal, Sura dan Sya’ban (Sadran), sesajen pada acara
tertentu (hajatan, malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon), sedekah bumi, sedekah laut, laku prihatin berupa puasa
mutih, bertapa dan bermeditasi di tempat-tempat tertentu, dan sebagainya. Ada pula tradisi petungan dina
berdasarkan perhitungan Aboge untuk menghitung peruntungan dan kerugian pada hari-hari tertentu dianggap
sebagai tradisi yang baik jika dilaksanakan. Masyarakat juga memiliki keyakinan bahwa seluruh hari
sesungguhnya baik, tetapi manusia harus berikhtiar untuk mencari yang terbaik melalui petung dina. Adanya
ritual sesajen pada momen-momen tertentu masih dilaksanakan oleh masyarakat sebagai wujud ketaatan
mereka terhadap naluri jawa yang ingin melaksanakan hidup yang selaras dengan alam. Pada acara mbaranggawe
(hajatan), sudah menjadi tradisi yang mengakar bahwa tuan rumah harus membuat sesaji kembang
telon, wedang telon dan jajan pasar. Sesaji tersebut diyakini sebagai bentuk penghormatan kepada para leluhur,
dan sebagai “wasilah” atau perantara doa manusia kepada Gusti Allah.
Tradisi tersebut bernuansa Kejawen masih dilaksanakan oleh sebagian besar masyarakat, meskipun
JPA | Vol. 9 | No. 2 | Jul-Des 2008 | 271-291 8 P3M STAIN Purwokerto | Attabik & Sumiarti
JURNAL PENELITIAN AGAMA
mereka merupakan penganut Islam yang menjalankan syariat. Ada keyakinan dalam masyarakat bahwa
meskipun sudah mengucap syahadat, dalam arti sudah menganut agama Islam, tetapi diharapkan mereka tidak
meninggalkan adat, yaitu tradisi yang sudah dilaksanakan dari generasi ke generasi. Pada dasarnya, adat tradisi
tujuannya baik, yaitu menciptakan keselarasan dengan semua makhluk Tuhan, baik makhluk yang maujud
(wujud, konkrit), maupun yang tanpa wujud (makhluk ghaib, makhluk halus). Sesajen ditujukan kepada
makhluk halus karena seperti manusia pula, mereka akan marah jika merasa terusik atau terganggu. Jika terusik
atau terganggu, mereka dapat melampiaskan kemarahannya kepada manusia dengan cara menyusup atau
merasuk kepada manusia. Akibatnya, akan terjadi kesurupan dan berbagai hal yang tidak baik kepada manusia.
Di samping itu, sesajen dianggap sebagai syarat (wasilah, perantara) doa manusia kepada Tuhan. Ada
keyakinan, doa yang tanpa syarat diyakini akan tidak dikabulkan, sebaliknya doa yang dibarengi dengan syarat
tertentu akan dikabulkan. Jadi, keyakinan bahwa syahadat dan adat harus selaras adalah dalam pengertian
tersebut, tidak ada kontradiksi antara keyakinan agama dengan adat tradisi dalam masyarakat.
Keyakinan, pemikiran, dan tradisi yang dipraktikkan masyarakat Karangbenda sebagaimana yang
dilaksanakan tersebut menunjukkan bahwa pemikiran dan pola perilaku masyarakat masih sangat diwarnai
oleh kepercayaan Jawa berupa animisme-dinamisme. Adanya sesajen dalam berbagai acara dimaksudkan
untuk mencegah timbulnya hal-hal yang tidak baik yang disebabkan oleh ruh-ruh halus. Orang Jawa juga
mempercayai bahwa ruh-ruh halus itu berfungsi sebagai pangemong dan pelindung keluarga sehingga harus
dihormati. Ketika agama Islam datang ke Karangbenda, keyakinan animisme-dinamisme masih berakar di
masyarakat dengan semboyan syahadat dan adat harus selaras tersebut. Akar animisme-dinamisme tersebut
tampaknya dipengaruhi daya magis dan mistik yang dimiliki wilayah Pantai Selatan, khususnya Gunung
Srandil, dan Gunung Selok yang diyakini oleh para peziarah sebagai tempat yang wingit, dan dijadikan tujuan
wisata spiritual dari berbagai penjuru tanah air.
Keyakinan dan praktik yang mencerminkan keselarasan syahadat dan adat mencerminkan masyarakat
Karangbenda memiliki nilai-nilai dan keyakinan lama yang tetap dihormati sekaligus bersedia menerima nilainilai
asing, berupa ajaran agama Islam. Bahkan, para pengikut HPK di Karangbenda masih berpegang teguh
kepada ajaran Kejawen warisan nenek moyang. Dalam aktivitas sehari-hari mereka tetap melaksanakan ajaran
agama Islam berupa shalat, zakat, puasa, dsb.
Sebagaimana masyarakat lain, slametan dan sesajen yang dilaksanakan di Desa Karangbenda bisa
bermakna penyucian (purification), mensucikan masyarakat dari dosa dan kesalahan agar kembali ke jalan yang
benar, jalannya Tuhan. Adanya sesajen mencerminkan adanya ritus pengorbanan (sacrifice) dari masyarakat
dengan memberikan benda-benda tertentu sebagai “pemberian” kepada Tuhan dan kepada para leluhur agar
senantiasa menjaga dan melindungi manusia.
C. Keselarasan antara Iman lan Oman
Masyarakat Jawa percaya terhadap ukum pinesthi (sunnatullah) yang menentukan bahwa semua ciptaan
harus meniti jalan hidup yang telah ditentukan sebelumnya. Manusia memiliki kewajiban moral untuk
menghargai tatanan hidup, menyerah kepada hidup (nrima) sambil mengembangkan kedamaian hati dan
ketenangan emosional. Nrima berarti mengetahui tempatnya, menerima nasib, dan penuh syukur dan terima
kasih kepada Tuhan. Namun, nrima di sini tidak dalam pengertian fatalisme, seseorang tetap harus berjuang
untuk berbuat yang terbaik karena ia hanya dapat mengetahui buah takdirnya dengan melihat hasil usahanya.
Iman atau kepercayaan kepada Tuhan dalam masyarakat Karangbenda berarti mempercayai bahwa Gusti
JPA | Vol. 9 | No. 2 | Jul-Des 2008 | 271-291 9 P3M STAIN Purwokerto | Attabik & Sumiarti
JURNAL PENELITIAN AGAMA
Allah ada dan mempercayai bahwa Nabi Muhammad adalah Rasul-Nya. Ikrar ini, yaitu syahadat
menunjukkan keimanan mereka kepada Tuhan. Dengan prinsip ikhtiar, yaitu masyarakat harus melakukan
sesuatu agar dapat memenuhi kebutuhannya. Keimanan tersebut tidak boleh menjadikan manusia sebagai
hamba yang pasif, melainkan harus menyelaraskannya dengan usaha. Artinya, iman harus mendorong
manusia untuk mencari oman. Oman dalam pengertian masyarakat Karangbenda yang secara sempit berarti
pangan, makanan, dimaksudkan agar masyarakat bekerja keras untuk dapat menghidupi dirinya dan
keluarganya. Jadi, sikap berpasrah diri tanpa upaya adalah hal yang tercela karena menyalahi keselarasan iman
lan oman. Adanya ajaran keselarasan antara iman dan oman menuntut masyarakat untuk bersikap aktif dalam
mencari nafkah demi kelangsungan hidup keluarganya. Ungkapan ana dina ana upa tidak dimaknai sebagai
sikap fatalis yang menyebabkan manusia bermalas-malasan. Ana dina ana upa berarti dalam kehidupan
manusia harus berusaha mencari upa (makan, nafkah) karena upa tidak akan datang tanpa adanya upaya
manusia.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka kesimpulan dari penelitian ini sebagai berikut.
1. Bentuk-bentuk pluralisme agama di Desa Karangbenda Kecamatan Adipala adalah pluralisme internal
masyarakat Karangbenda, dan pluralisme masyarakat eksternal Karangbenda.
2. Adapun nilai-nilai kearifan lokal yang mendasari pola pikir, sikap, dan perilaku masyarakat dalam
konteks pluralisme agama, antara lain:
a. Gusti Kawulo-Kawulo Gusti;
b. Syahadat lan Adat;
c. Iman lan Oman.
ENDNOTE
1 Lihat tulisan Nurcholish Madjid, “Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan untuk Generasi Mendatang”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an,
No 1, Vol IV, th. 1993, hal. 7. Tulisan ini merupakan transkripsi ceramahnya di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 20 Oktober 1992 yang diselenggarakan
dalam rangka memperingati 20 tahun pembaharuan Islam.
2 Di kalangan Islam juga muncul masalah yang cukup serius, yaitu dengan munculnya berbagai aliran yang dianggap sesat oleh Pemerintah, MUI,
NU, dan Muhammadiyah. Misalnya kasus Lia Eden yang mendakwahkan diri sebagai jelmaan Ruhul Kudus dan menamakan kelompoknya sebagai
“agama Salamullah”, Ahmad Mushadek yang mengangkat dirinya sebagai Nabi yang melahirkan aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyyah, ada aliran Al-Qur’an
Suci, Hidup di Balik Hidup, dan sebagainya. Munculnya aliran yang dianggap sesat oleh kelompok mainstream Indonesia menimbulkan berbagai
tindakan yang anarkis, bahkan menjurus kepada kekerasan. Munculnya berbagai aliran yang dianggap sesat dalam Islam, misalnya, tidak terlepas dari
gejala alienasi tersebut. Klaim Lia Aminuddin dan Ahmad Mushadek yang mengangkat dirinya sebagai Nabi, sebagai al-masih al-mauw’ud, dan
berbagai aliran serupa yang tidak terpublikasi secara luas menunjukkan bahwa religio illicita atau agama palsu menjadi problem yang perlu ditangani
secara serius dan sistematis. Fatwa dari MUI dan berbagai ormas yang menyatakan aliran-aliran tersebut sesat kemudian ditindaklanjuti oleh sebagian
masyarakat untuk melakukan kekeraran kepada anggota aliran sesat tersebut. Bahkan, polisi (pemerintah) menangkap dan memenjarakan mereka
dengan tuduhan penodaan agama sebagaimana diatur dalam KUHP pasal 156a. Penanganan tersebut tentu saja belum menyelesaikan masalah
secara fundamental karena persoalan keyakinan agama tidak dapat diselesaikan secara sambil lalu dan formalistis. Persuasi dan dialog intensif mestinya
akan menjadi penyelesaian yang memuaskan semua pihak.
3 Nurcholish Madjid, “Beberapa Renungan,”, hal. 8-9.
4 Pluralisme bukan hanya berati actual plurality (kemajemukan atau keanekaragaman) yang menggambarkan kesan fragmentasi (perpecahan),
bukan pula dalam pengertian “kebaikan negatif” sebagai lawan fanatisisme, melainkan sebagai “pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan
keadaban (genuine engagement of diversity within the bonds of civility). Lihat Hendar Riyadi, Melampaui Pluralisme: Etika Al-Qur’an tentang Keragaman
Agama (Jakarta: RMBOOKS &PSAP, 2006), hal. 59-60.
JPA | Vol. 9 | No. 2 | Jul-Des 2008 | 271-291 10 P3M STAIN Purwokerto | Attabik & Sumiarti
JURNAL PENELITIAN AGAMA
5 Benturan antara umat beragama banyak terjadi di dalam sejarah. Kita tidak dapat menilai bahwa perang atas nama agama lebih mulia
dibandingkan dengan perang memperebutkan harta, kecuali kita masuk dalam golongan agama yang berperang. Jika kita tidak termasuk dalam
golongan agama yang berperang, kita akan tersenyum dan mengejek bahwa peperangan yang terjadi antardua agama (yang bukan agama kita) adalah
suatu ironi dan tragedi karena perang adalah upaya saling menghancurkan, bahkan sama-sama palsu karena perang atas nama agama misalnya apa
yang kemudian dikenal sebagai perang Salib, yang terjadi antara umat Islam dan Kristen. Bahkan, “perang dingin” antara umat beragama juga terjadi di
Indonesia. Misalnya, beberapa kasus kerusuhan massa dan bentrokan antar kelompk masyarakat di Indonesia secara terbuka tidak diakui sebagai
benturan antaragama, tetapi pada kenyataannya, agama dijadikan sebagai sentimen dan legitimasi untuk melakukan “kekerasan” kepada pihak lawan.
Misalnya, bentrokan antara Islam-Kristen di Ambon, di Poso, dan sebagainya.
6 Lihat dalam Sunardi, “Dialog: Cara Baru Beragama, Sumbangan Hans Kung bagi Dialog antar-Agama,” dalam Seri DIAN I/Tahun I: Dialog Kritik
dan Identitas Agama (Yogyakarta: Dian, 1994), hal. 69.
7 Qurasih Shihab menerjemahkan Q.S. Ali Imran: 19, sebagai berikut, “Sesungguhnya agama (yang disyariatkan) di sisi Allah adalah Islam. Tidak
berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka karena kedengkian (yang ada) di antara mereka.
Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya”. Menurut Shihab, kata din memiliki banyak arti,
antara lain “ketundukan, ketaatan, perhitungan, dan balasan”. Kata ini juga beararti agama, karena dengan agama seseorang harus bersikap tunduk dan
taat, serta akan diperhitungkan seluruh amalnya yang atas dasar itu ia akan memperoleh balasan dan ganjaran. Sedangan Islam adalah agama para
Nabi. Karenanya istilah muslim digunakan pula untuk umat-umat terdahulu, bukan hanya kepada umat Nabi Muhammad SAW. Lihat Quraish Shihab,
Tafsir Al-Mishbah, Volume 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2000), hal. 38-39.
8 M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar ,1997), hal. 72.
9 Wim Beuken & Kar-Josef Kuschel, Agama sebagai Sumber Kekerasan? Terj. Imam Baihaqie (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 243-245.
10 Kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok agama kadangkala dianggap sebagai bagian dari “memerangi kaum kafir”
Misalnya, kasus berbagai peledakan bom di Indonesia yang terjadi mulai era 2000-an yang terjadi di berbagai tempat; di gereja, fasilitas umum
(supermarket, kafe, dll), kasus sweeping yang dilakukan oleh kelompok tertentu di hotel, tempat hiburan, dsb. Dalam konsep Islam, perjuangan tersebut
diklaim merupakan manifestasi konsep “jihad”, yaitu perjuangan untuk menegakkan kebenaran, amar ma’ruf nahi munkar.
11 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: RajaGrafindo 1998), hal. 115.
12 Ibid., hal. 17.
13 Nicholas Maxwell, From Konowledge to Wisdom, A Revolution in The Aims and Methods of Science (Oxford: Basil Blackwell, 1984), hal. 12.
14 Dalam konsep Islam dikenall dengam konsep hablun min Allah (hubungan vertikal dengan Allah ) dan hablun min al-nas (hubungan horizontal
dengan sesama manusia).
15 Menurut Sekretaris Desa (Sekdes), yaitu Martodihardjo bertempat tinggal di Dusun Sodong, ajaran dan tradisi NU-lah yang lebih banyak
dilaksanakan di Karangbenda, misalnya adanya kelompok tahlil dan yasin yang setiap malam jumat melaksanakan tahlilan dan yasinan secara bergiliran
dari rumah ke rumah. Marto sedang membangun musholla yang cukup besar. Menurut pengamatan penulis, Musholla yang bernama Purnama Sulthon
lebih layak disebut sebagai masjid. Musholla ini dibangun di atas tanah wakaf dari salah seorang pengusaha di Jakarta, dan nama musholla tersebut
merupakan pemberian dari pemberi wakaf. Ketika ditanyakan kenapa tidak disebut masjid? Marto mengatakan bahwa untuk menjaga persatuan warga,
Karangbenda hanya mengenal masjid Jami’ sebagai tempat untuk melaksanakan ibadah shalat jum’at secara bersama-sama. Wawancara dengan
Bapak Sekdes pada 24 Oktober 2007.
16 Sebagaimana dikutip oleh Sugiyono, Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2007), hal. 301.
17 Soesilo, Kejawen: Filosofi dan Ajaran...hal. 15.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin. 1997. Falsafah Kalam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
. 2004. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Abdullah, Taufik dan M. Rusli Karim. 1998. Metodologi Penelitian Agama. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Azwar, Saifudin. 1998. Sikap Manusia. Yogyakarta: Penerbit Pustaka.
Arikunto, Suharsimi. 1993. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Beatty, Andrew. 2001. Variasi Agama di Jawa. Terj. A.M. Saefuddin. Jakarta: RajaGrafindo.
Beuken, Wim & Kuschel Kar-Josef. 2003. Agama Sebagai Sumber Kekerasan? Terj. Imam Baihaqie. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Brannen, Julia. 1997. Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bull, Roland Alan Lukens. 1997. A Peacefull Jihad: Javanesse Islamic Education and Religious Identity Concruction. Arizona State University.
Geertz, Clifford. 1989. Abangan, Santri, Priyayi. Terj. Aswab Machasin. Jakarta: Pustaka Jaya.
JPA | Vol. 9 | No. 2 | Jul-Des 2008 | 271-291 11 P3M STAIN Purwokerto | Attabik & Sumiarti
JURNAL PENELITIAN AGAMA
Goddard, Hugh. 2004. Menepis Standar Ganda: Membangun Saling Pengertian Muslim-Kristen. Terj. Ali Noer Zaman. Yogyakarta: Qalam.
Gross, George B. & Hubbard, Benjamin J. 1998. Tiga Agama Satu Tuhan. Terj. Santi Indra Astuti. Bandung: Mizan.
Helja, Antola Robinson. 1994. The Ethnography of Empowement. London: The Falmer Press.
Hidayat, Komaruddin. 1996. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik. Jakarta: Paramadina.
Kahmad, Dadang. 2000. Sosiologi Agama. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Kincaid, D. Lawrence & Schramm. 1948. Asas-asas Komunikasi antar Manusia. Terj. Agus Setiadi. Jakarta: LP3ES.
Kuntowijoyo. 1994. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan.
. 1999. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Koentjaraningrat. 1985. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Laksono, P. M. 1985. Tradisi dalam Struktur Masyarakat Jawa Kerajaan dan Pedesaan: Alih-Ubah Model Berpikir Jawa. Yogyakarta: UGM
Press.
Legenhausen, Muhammad. 2000. Al-Islam Wa al-Ta’aduddiyah al-Dinniyah. Iran: Muassasah al-Huda.
Madjid, Nurcholish. 1993. Jurnal Ulumul Qur’an, Nomor 1, Vol. IV, th. 1993
. 1993. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Jakarta: Mizan.
Magnis-Suseno, Franz. 2001. Etika Jawa: sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Maliki, Zainuddin. 2004. Agama Priyayi: Makna Agama di Tangan Elite Penguasa. Yogyakarta: Pustaka Marwa.
Maran, Rafael Raga. 2000. Manusia dan Kebudayaannya dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Rineka Cipta.
Maxwell, Nicholas. 1984. From Konowledge to Wisdom, A Revolution in The Aims and Methods of Science. Oxford: Basil Blackwell.
Mile & Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. TTP: TP.
Moleong, Lexy. 1994. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mufid, Choirul. 2006. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muhadjir, Noeng. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Mulder, Niels. 1999. Agama, Hidup Sehari-hari dan Perubahan Budaya Jawa, Muangthai dan Filipina. Terj. Satrio Widiatmoko. Jakarta:
Gramedia.
Mudzhar, M. Atho. 1998. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nasr, Syed Hossein. 1994. Islam Tradisi. Terj. Luqman Hakim. Bandung: Pustaka.
Nawawi, Hadari. 1998. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: UGM Press.
Nawawi, Hadari dan Martini Hadari. 1995. Instrumen Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: UGM Press.
Pruitt, Dean G & Rubin, Jeffrey Z. 2004. Teori Konflik Sosial. Terj. Helly P. Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Purwadi. 2005. Dakwah Sunan Kalijaga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rahman, Fazlur. 1985. Islam dan Modernitas: tentang Transformasi Intelektual. Bandung: Pustaka.
Rakhmat, Jalaluddin. 2006. Islam dan Pluralisme: Akhlak Qur’an Menyikapi Perbedaan. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta
Riyadi, Hendar. 2006. Melampaui Pluralisme: Etika al-Qur’an tentang Keragaman Agama. Jakarta: RMBOOKS &PSAP.
Silverman, David. 1995. Interpreting Qualitative Data. California: SAGE.
Simuh. 2003. Islam dan Pergumulan Budaya Jawa. Jakarta: Teraju.
. 1999. Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Subagya, Rahmat. 1976. Kepercayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius.
Soekanto, Soerjono. 1998. Sosiologi suatu Pengantar. Jakarta: RajaGrafindo.
Sunardi. 1994. “Dialog: Cara Baru Beragama, Sumbangan Hans Kung bagi Dialog antar Agama”, dalam Seri DIAN I/Tahun I, Dialog: Kritik
dan Identitas Agama. Yogyakarta: Dian
Soesilo. 2004. Kejawen: Filosofi dan Perilaku. Jakarta: Yayasan Yusula.
Suparlan, Parsudi. 1984. Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungannya. Jakarta: Rajagrafindo.
Suseno, Franz Magnis. 2001. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia.
Tobroni & Arifin, Syamsul. 1996. Islam: Pluralisme Budaya dan Politik. Yogyakarta: SIPRESS.
Wahid, Marzuki, dkk. 2004. Sinopsis dan Indeksasi Hasil Penelitian Kompetitif Dosen PTAI tahun 1999-2003. Jakarta: Ditpertais.
Woodward, Mark R. 2006. Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan. Yogyakarta: LKiS.
Yaqin, M. Ainul. 2005. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media.
0 komentar:
Posting Komentar
berilah komentar yang saling mendukung saling menghormati sesama