Konspirasi intelijen & gerakan Islam radikal (Bahasa Indonesia)
by Umar Abduh
Publisher: Center for Democracy and Social Justice Studies
Number of Pages: 135
ISBN: 9799653428
Publication Date: 2003
Language: Bahasa Indonesia
Meski belum ada undang-undang, BIN telah melebarkan sayap intelijennya. Akankah sejarah gelap Ali Moertopo dan Benny Moerdani berulang?
by Umar Abduh
Publisher: Center for Democracy and Social Justice Studies
Number of Pages: 135
ISBN: 9799653428
Publication Date: 2003
Language: Bahasa Indonesia
Meski belum ada undang-undang, BIN telah melebarkan sayap intelijennya. Akankah sejarah gelap Ali Moertopo dan Benny Moerdani berulang?
Pengurus dan santri-santri Pondok Pesantren An Nur yang terletak di Kabupaten Sukoharjo dilanda resah. Pasalnya, belakangan pesantren ini kerap kedatangan tamu asing yang tak jelas maksudnya. Datang hilang, datang hilang, begitu seterusnya. Keresahan kian meruyak ketika orang-orang misterius menebarkan isu, bahwa pesantren ini adalah sarang teroris. Bahkan, muncul hasutan di kalangan sekitar agar warga menggropyok dan menyerbu pesantren itu saja.
Orang-orang asing yang diduga Intel ini menghasut warga sekitar agar tak turut pengajian yang diadakan pondok pesantren.
“Kata orang asing itu, saya disebut sebagai anak buah Noordin Moh. Top dan DR. Azahari, pelaku teror di Hotel JW Marriott,” keluh Ustadz Rusdi Hakim, pimpinan pesantren.
Sas-sus terus beredar dan membuat warga Desa Waru, Sukoharjo, tempat Ponpes An Nur berada, resah. Sejak isu tersebut santer, memang banyak orang asing yang sering ditemui warga. Kadang menyaru sebagai orang yang sedang larl pagi, kadang ada yang berlagak sebagai pencari rumput, atau hanya berjalan-jalan biasa. Sekali waktu warga pesantren juga mencurigai mereka menyamar sebagai pencari bekicot yang muter-muter mengawasi pesantren.
Warga pesantren yang melakukan konfirmasi ke kepolisian setempat mendapat jawaban yang mengecewakan. Kepolisian Resort Sukoharjo mengaku tidak mengetahui aktivitas intelijen di wilayahnya. Intelijen siapa juga tak ada yang tahu. Bisa jadi intel kepolisian, atau bisa juga dari TNI dan tak menutup kemungkinan mereka adalah intel-intel jaringan Badan Intelijen Negara yang sudah melebarkan sayapnya hingga ke daerah-daerah.
Dengan struktur seperti ini, pemerintah dan aparatur daerah yang seharusnya melayani dan melindungi rakyatnya bisa saja beralih fungsi memata-matai rakyatnya sendiri. Apalagi Menteri Pendayaan Aparatur Negara, Feisal Tamin memberi lampu hijau pemanfaat jalur birokrat untuk kepentingan intelijen. “Jaringannya nanti akan sampai pada tingkat provinsi dan kabupaten atau kota. Kemudian fungsi dan peranan BIN akan dikendalikan secara terpusat,” ujar Feisal Tamin usai pertemuan dengan Presiden Megawati dan Kepala Badan Intelijen Negara Hendropriyono (07/01) di Jakarta.
Feisal Tamin menjelaskan, tugas-tugas intelijen akan diatur oleh para pimpinan daerah setempat, baik gubernur, walikota atau bupati. Meski rancangan undang-undang tentang intelijen belum disetujui, perluasan jaringan intelijen ini akan memanfaatkan peraturan pemerintah yang ada dulu. Maka jangan heran jika akan berlaku lagi jargon yang beredar di masa Orde Baru, bahwa seorang gubernur harus mengetahui segala sesuatu, meski itu hanya sebuah jarum yang jatuh.
Direktur Eksekutif Imparsial, Munir menaruh syak pada izin yang diberikan oleh Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara. “Seharusnya pelaku politik dari tingkat nasional hingga lokal punya pengetahuan yang cukup bahwa itu tidak bisa dilakukan,” ujar Munir.
Pemimpin lembaga pengawas hak asasi manusia ini khawatir terjadi penyalahgunaan kekuasaan di kalangan birokrasi. “Posisi intelijen nanti rentan digunakan sebagai alat petantang-petenteng oleh para birokrat,” tegasnya. Selain itu Munir menerangkan, kerjasama antara dua perangkat ini tidak saja akan memperkuat jaringan intelijen di mana-mana tapi juga akan terjadi infiltrasi pada sistem pemerintahan hingga ke daerah. Jika sudah demikian, tujuan public service yang seharusnya diperankan oleh negara akan berganti fungsi menjadi alat represi bagi rakyatnya sendiri.
Data-data yang dimiliki oleh Imparsial, sampai saat ini BIN sudah merekrut lurah-lurah sebagai kaki tangannya, seperti yang terjadi di beberapa daerah di Sulawesi Utara. Langkah-langkah yang dilakukan oleh BIN membuat Munir merumuskan pendapat bahwa lembaga yang satu ini hendak membangun otonomi dalam sistem negara. “Kalau dulu intelijen di bawah sub militer, kini berdiri sendiri. Dan ini rentan problem of interest nantinya,” tukas Munir. Dengan kata lain BIN hendak membangun kerajaan intelijen di atas pondasi negeri ini.
Lebih jauh Munir menjelaskan, dengan struktur seperti itu, kelompok masyarakat yang rentan menjadi korban Intelijen adalah umat Islam. Itu semua karena saat ini umat Islam menjadi kekuatan otonom yang tumbuh di luar partai politik yang ada. “Basis konflik sosial diyakini sudah tidak menimbulkan kerawanan keamanan, begitu juga perang antar kekuatan ideologi yang sudah berakhir sejak pasca Perang Dingin. Satu-satunya isu yang bisa dimanfaatkan adalah isu terorisme. Ujung-ujungnya, terorisme itu sudah punya stereotipe tersendiri yang akan memakan umat Islam,” terang mantan Koordinator Kontras ini.
Apa yang disebutkan Munir bisa jadi masih permukaannya saja. Dalam RUU Intelijen yang dibuat oleh BIN, menunjukkan lembaga ini benar-benar akan menjadi gurita yang tak tersentuh jika RUU tersebut berhasil menjadi undang-undang. BIN punya kekuatan membekukan dana di rekening, menangkap dan memperpanjang seseorang tanpa keterlibatan hukum, menyadap dan membuka hak-hak privasi warga sipil lainnya. Bahkan BIN meminta punya wewenang untuk mengakses langsung produsen senjata api baik di dalam maupun di luar negeri. (Baca: Di Bawah Bayang-bayang Intelijen)
Berdasarkan fakta-fakta di lapangan dan temuan-temuan lainnya, dalam bahasanya, Munir menyebutkan BIN seolah-olah hendak membentuk Angkatan ke-IV di luar struktur organisasi militer.
Menanggapi geger perluasan jaringan intelijen, Kepala BIN, AM Hendropriyono mengatakan orang-orang seperti meributkan pepesan kosong. Usai menghadiri pembukaan pertemuan kedua stake holder bidang migas di Istana Bogor (16/01), mantan MenteriTransmigrasi di era Habibie ini menyatakan bahwa tidak ada yang perlu diributkan. Bahkan Hendro mensinyalir ada upaya-upaya tertentu yang ingin mengadu domba TNI, Polri dan BIN lewat isu pemekaran jaringan intelijen. “Dari dulu sudah ada, sudah jalan. Kok ributnya baru sekarang, heran saya,” ujar Hendro kepada wartawan.
Hendropriyono yang juga tercatat sebagai fungsionaris PDI Perjuangan ini meyakinkan bahwa dirinya tidak mungkin diadudomba dengan TNI atau Polri. “Kita tidak mungkin diadudomba! Jadi biarin saja mereka ribut sendiri, kayak orang gila!” cetus Hendro.
Kekuatan intelijen tampaknya sudah lebih besar dari yang diketahui masyarakat. Selain sudah mengantongi izin penggunaan aparat negara dari Menteri Feisal Tamin, BIN, lewat Hendropriyono tampaknya punya jalur khusus dengan RI-1. Buktinya, Megawati juga memberikan restunya pada perluasan jaringan mata-mata ini. Tak hanya itu, Megawati juga meresmikan langsung pendirian dua sekolah intelijen di Batam dan Sentul, Jawa barat.
International School of Intelligence di Batam dan Institut Intelijen Negara di Sentul ditujukan menjadi cikal bakal tenaga-tenaga intelijen yang handal di masa depan. Instrukturnya pun tak tanggung-tanggung, agen-agen rahasia dari CIA (Amerika), KGB (Rusia) bahkan Mossad (Israel) akan datang dan turut mengajar. Asal tahu saja, dua sekolah intelijen ini adalah sekolah intelijen pertama yang didirikan di dunia.
Sekarang pertanyaannya, untuk apa itu semua? Untuk menjamin keamanan warga
negara atau justru sebaliknya mengembalikan rakyat Indonesia pada masa-masa muram dalam cengkraman kekuasaan mata-mata? Dan yang jelas, langkah-langkah yang diambil oleh BIN ini jelas mendahului undang-undang dan inkonstitusional. Undang-undang belum rampung, kok pemekaran sudah dilakukan.
Menurut Munir, jika tujuan itu semua adalah mencegah secara dini terjadi aksi teroris sebetulnya ada cara yang lebih sederhana tapi cukup signifikan. “Berantas korupsi dan orang-orang bermental koruptor. Selama ada korupsi, senjata dan bahan peledak bisa saja lolos dengan mudah bagaimana pun ketatnya hukum dan pengawasan yang ada,” kiatnya. Tapi di balik itu semua, Munir mencium pertarungan kepentingan pada elit politik negeri ini.
Kabar yang beredar memang ada rivalitas yang menguat antara tiga lembaga intelijen. Tiga lembaga itu adalah BIN, Badan Intelijen Strategis yang di bawah komando TNI dan intelijen kepolisian. Ketiga lembaga ini layaknya saudara tiri dalam sebuah keluarga, nampak bersatu tapi punya rencana sendiri-sendiri dalam kepala mereka.
Rizal Darmaputra dari Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia mensinyalir memang ada semacam persaingan antara ketiganya. “Saya dapat informasi, ketiganya malah punya database yang tidak bisa digunakan lembaga lain. Padahal database intelijen yang tersusun rapi itu milik tentara. Mereka kurang memiliki koordinasi satu sama lainnya,” ungkap Rizal.
Kemungkinan kedua, menurut Rizal Darmaputra, ada kepentingan asing yang menitip tangan, terutama kepentingan modal. Berdasarkan pengalaman, investasi asing di Indonesia seperti telur di ujung tanduk. Pemerintah Indonesia tak mampu menjamin keamanan modal asing. Untuk mengatasi itu, lirikan diarahkan pada struktur keamanan yang terbukti tak terpengaruh dengan gonjang-ganjing fluktuasi politik Indonesia. “Kalau sekarang ada yang mengandalkan Megawati, lalu dia jatuh, siapa lagi yang bisa dipegang. Yang tidak jatuh itu struktur keamanan, bisa militer, bisa polisi bisa juga badan intelijen,” tutumya pada Eman Mulyatman dari SABILI.
Jadi, jika ditimbang, kepentingan modal lebih kuat dibanding dengan warna ideologi paham tertentu. Jika benar kepentingan modal yang lebih hendak dijaga, lalu kenapa bisa ada screening khutbah Jum’at dan pengawasan pesantren dan ulama? Apakah ada sentimen negara adi kuasa seperti Amerika yang bermain di dalamnya?
“Kalau ada intelijen yang memantau khutbah Jum’at atau mengawasi pengajian-pengajian, itu salah satu tingkah overacting mereka. Pejabat intelijen hendak menunjukkan pada Amerika bahwa mereka sudah bekerja dengan baik. Biasa, program cari muka!” tandas Rizal dengan nada gusar. Menurut Rizal, para intel harus melakukan hal itu karena dana bantuan yang mereka telan sudah terlanjur besar.
Tapi selain dua hal yang diungkapkan Rizal ada rumor lain yang patut pula dicermati. Beredar kabar, AM Hendropriyono diam-diam mengincar kursi kepresidenan. Dengan membangun jaringan intelijen yang ia harapkan bisa dijadikan bekal. Jika benar demikian, Hendro tampaknya terinspirasi oleh Vladimir Putin, Perdana Menteri Rusia yang kini berkuasa. Putin mengawali karirnya dari dinas intelijen. Sebelum menduduki kursi nomor satu di Rusia pun, posisi Putin sama dengan Hendropriyono sekarang, Kepala Badan Intelijen Negara. Benarkah Hendro berambisi untuk menjadi presiden?
Dua orang pengamat, Munir dan Rizal Darmaputra menyatakan pendapatnya. Menurut Rizal, sosok Hendro tak cukup kuat untuk menuju ke arah sana. “Saya pikir susah, dia itu (Hendropriyono, red) bukan mastermind seperti LB Moerdani atau Ali Moertopo,” ujar Rizal. Sementara itu, Munir mengatakan, Hendro mau jadi apa itu terserah. Tapi yang jelas, hak-hak sipil jangan lagi dianiaya.
Kini tinggal bagaimana wakil-wakil umat di dalam Gedung DPR memperjuangkan aspirasi konstituennya. Secara konstitusi, jika produk undang-undang, khususnya intelijen, lolos maka para wakil rakyat yang paling bertanggung jawab.
Ahmad Soemargono, anggota komisi I dari fraksi Bulan Bintang menegaskan bahwa komisinya tidak akan membiarkan hal yang mengancam kedaulatan rakyat terjadi. “Sampai saat ini tidak terjadi itu. Kebetulan saya di Panitia Anggaran, dan belum ada anggaran BIN untuk pembelian senjata. Tapi kadang-kadang, saya juga merasa, pertu juga intelijen untuk mengawasi hal itu,” ujar mantan Ketua Komite Solidaritas untuk Dunia Islam ini.
Tentang draft rancangan undang-undang intelijen yang beraroma horor itu, Ahmad Soemargono kembali meyakinkan, tidak ada yang lolos dengan mudah tanpa perdebatan. “Itu baru draft, masih terus dibahas. DPR tidak akan semena-mena begitu saja, masih ada Ahmad Soemargono,” tandasnya saat diwawancara SABILI. Ia juga meminta kepada masyarakat untuk melaporkan semua hal yang mengancam keselamatan mereka kepada wakil rakyat.
Jika itu semua masih saja dianggap belum mampu mengontrol kekuatan-kekuatan ilegal yang mengancam umat, ada baiknya kita menyimak nasihat pengamat intelijen, Suripto. Mantan Sekjen Dephutbun ini meyakinkan, bahwa saat ini yang paling berkuasa dalam politik Indonesia adalah wakil-wakil rakyat yang duduk sebagai anggota dewan. “Tapi itu juga tak bisa dibiarkan saja, DPR jangan ngantukdan umat juga tidak bisa tinggal diam,” ujar Suripto.
Lalu bagaimana umat harus berbuat? Kontrol dan beri dukungan wakil-wakil umat yang duduk sebagai anggota dewan. Selain itu, Suripto menyarankan umat Islam harus meningkatkan kesadaran intelijennya lebih tinggi lagi. “Kalau umat ini punya kesadaran yang tinggi terhadap tugas-tugas intelijen, maka tidak mudah dikerjai,” kiatnya.
Jika perlu, lebih lanjut Suripto menambahkan, membangun atau memperkuat gerakan intelijen umat Islam yang sudah ada. “Dulu pernah dibentuk untuk membendung Nasakomisasi. Kini tinggal ditingkatkan lagi dan melakukan rekrutmen baru. Sebetulnya, aktivitas intelijen itu inheren dengan gerakan dakwah. Rasulullah sejak dari Makkah sudah menerapkan kegiatan kontra intelijen dan itu salah satu yang harus kita perhatikan,” katanya lagi.
Ya, seharusnya kita tak berdiam berpangku tangan, apalagi menyesal jika sudah terjadi keterlambatan. Ada baiknya membangun kekuatan Islam untuk melindungi diri dari ancaman, sambil tak lekang-lekang memberikan kritikan pada yang berwenang.
0 komentar:
Posting Komentar
berilah komentar yang saling mendukung saling menghormati sesama