top down
Bisnis Dahsyat tanpa modal
CLICK TITLE TO READ MORE/AYO GABUNG DI BISNIS ONLINE 100%GRATIS SILAHKAN CLICK BENER DI ATAS

8 Juni 2011

Potensi Dasar Manusia

Salah satu fungsi diturunkan al-Qur’ân ialah sebagai pembeda (al-furqân), yakni membedakan dualisme yang paradoksi, hak dan batil, baik dan buruk, halal dan haram, dan sebagainya. Di samping itu, Allah juga memberikan dua kesadaran bagi manusia, kesadaran kejahatan dan kesadaran kebaikan, gunanya adalah untuk mempertegas dualisme yang paradoksi itu. Di balik itu, dua hal yang paradoksi itu jelas eksistensi di dalam diri dan di tengah kehidupan manusia. Dua kesadaran ini dikemukakan dalam salah satu surat makiyah tepatnya surat al-Syams/91: 7-10:

وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا(7)فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا(8)قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا(9)وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا

Artinya: Demi pribadi manusia dan bagaimana Dia (Tuhan) menyempurnakanya. maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Maka sungguh berbahagialah orang yang mensucikannya. dan sesungguh celakalah orang yang mengotorinya. (QS. Al-Syams/91: 7-10)

Perlu dipertegas makna nafs. Kata ini seringkali diungkapkan oleh al-Qur’ân dalam subtsansi makna yang berlainan. Muhammad Husain al-Tabâthabâ’iy dalam al-Mizân-nya, membagi makna nafs secara garis besar pada tiga bentuk: pertama: makna asal al-nafs menunjuk pada zat sesuatu yang disandarkan kepadanya. Seperti: nafs al-insân mengandung arti zat manusia itu sendiri. Berdasarkan hal ini kata nafs serta bentuk lainnya, di dalam al-Qur’ân digunakan sebagai taukîd (kata penegas),[1] seperti penegasan Allah atas diri-Nya “Dia telah menetapkan atas Diri-Nya kasih sayang“.[2]

Kedua: kata nafs yang menunjuk pada pribadi manusia secara khusus dan utuh, yakni manusia yang tersusun dari ruh dan jasad. Walaupun nafs tidak disandarkan pada kata al-insân, kata nafs menujukkan makna diri manusia,[3] misalnya: “bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu”.[4]

Ketiga: kata nafs yang digunakan untuk ruh kemanusiaan (al-rûh al-insaniy). Makna ini dalam pandangan umum diartikan dengan jiwa atau spiritual manusia, makna ketiga inilah yang dimaksud oleh kaum sufi sebagai medan samantik bagi qalb. Berdasarkan ayat al-Qur’ân, sufi membagi nafs pada nafs amarah,[6] nafs,[7] lawwâmah, dan nafs muthma’innah.[8]

Ketika menafsirkan ayat di atas al-Thabâthabâ’iy menggunakan makna ketiga, yakni al-ruh al-insaniyah.[9]

Studi tentang manusia, menurut Khair al-Dîn al-Zarkali yang dikutip oleh Abdul Mujib, dapat dilihat melalui tiga sudut, yaitu: fisik (jasad/biologis), jiwa (ruh/psikis), dan fisik dan jiwa (nafs/psikofisik); berupa: akhlak, perbuatan, gerak, dan sebagainya.[10] Pada kesempatan ini Abdul Mujib ingin membedakan antara jasâd, rûh, dan nafs. Menurutnya, nafs adalah aspek yang menghubungkan antara jasâd dan rûh sehingga masing-masing kebutuhan jasâd dan rûh dalam diri manusia dapat terpenuhi.[11] Dalam hal ini Abdul Mujib sepakat dengan pemaknaan kedua oleh al-Thabâthabâ’iy.

M. Quraish Shihab melihat nafs dalam ayat di atas sebagai potensi manusia. Menurutnya, mengilhamkan berarti memberikan potensi agar manusia melalui nafs dapat menangkap makna baik dan buruk, serta dapat mendorongnya untuk melakukan kebaikan dan keburukan. Nafs diciptakan Allah secara sempurna untuk menampung dan mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan. Meskipun demikian, potensi positif manusia lebih dominan dari pada potensi negatif, hanya saja daya tarik keburukan lebih kuat dari pada kebaikan.[12] Pendapat ini tidak jauh berbeda dengan penafsiran Thabâthabâ’iy.

Dari ayat kesembilan dan ke-10 diperoleh gambaran bahwa nafs itu harus disucikan agar bisa meraih kebahagiaan yang seutuhnya. Sebaliknya nafs yang tidak disucikan akan celaka dan tidak dapat membawa pemiliknya kepada kebahagiaan yang sejati. Dari interpretasi ini, memunculkan isyarat bahwa potensi itu pada mulanya bersifat pasif, tidak aktif. Apabila diasah dengan berbagai tindakan kebaikan, maka kebaikanlah yang aktif mendominasi, namun apabila dikotori, maka yang aktif dan dominan adalah keburukan. Oleh sebab itu nafs mesti di asah dengan stimulan-stimulan kebaikan.

Menarik disimak ungkapan psikolog terkemuka, Freud: bahwa ada tiga hal yang amat penting disimak dalam psikis manusia: (1) kekuatan jiwa yang menentukan perilaku, (2) karekter dari kekuatan itu yang umumnya berciri di bawah sadar, dan (3) kesadaran merupakan faktor yang dapat membawa perubahan penyaluran energi dan sebagai arah tujuan dorongan tersebut.[13]

Beranjak dari paparan di atas, potensi dasar yang pasif dan diam itu, apabila diransang dengan sifat sabar, misalnya, maka sifat sabar akan menguasai dan tumbuh menjadi karakter manusia yang sabar, demikian juga dengan sifat-sifat positif lainnya. Amarah, apabila potensi itu dipupuk dengan perangai buruk, maka karekter burukpun akan tumbuh dengan suburnya. Artinya potensi yang pasif itu memerlukan pembiasaan.

Sayid Mujtaba Musawi Lari mengatakan:Perangai moral yang baik dan buruk berakar di dalam batin manusia sebagai akibat latihan dan pengulangan. Walaupun semua itu adalah karakter yang diperoleh, pengaruhnya sama kuat dan menjangkau jauh sebagaimana sifat-sifat batin dan alami. Bilamana dibentuk oleh kebiasaan menjadi sifat dan perilaku yang stabil, dengan bekerja seperti naluri, sifat dan perilaku itu menimbulkan refleksi-refleksi batin yang dengan kuat mengarahkan perilaku manusia.

Aspek positif dan negatif dari kebiasaan memainkan peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan nafs manusia, kerusakan dan kemerosotannya. Adat-istiadat yang pada hakikatnya terdiri dari kebiasan-kebiasaan kolektif merupakan suatu faktor yang efektif dan penting dalam menentukan nasib manusia ke depan. Kekuatan sabar dan ketekunan spiritual dalam menghadapi kesulitan, kesukaran dan bencana, suatu resistensi alami terhadap aspek-aspek negatif suatu peristiwa, dan kemampuan untuk mengatasi efek-efeknya, adalah hasil dari aspek-aspek positif. [14]

Dalam kehidupan manusia kebiasaan memiliki pengaruh yang amat penting. Hampir setiap orang digerakan oleh kebiasaan yang lahir dari stimulus-stimulus potensi nafs, baik atau buruk. Kebiasaan mengambil porsi yang cukup besar dari usaha manusia, yaitu mengubah usaha itu menjadi mudah. Oleh sebab itu rekontruksi nafs dengan format-format kebajikan tidak bisa diabaikan dalam pembentukan perilaku manusia. Kebiasaan adalah stimulus yang paling ampuh yang dapat menyuburkan potensi dasar manusia.

Potensi manusia harus disucikan. Proses penyucian mesti dijalani sesuai dengan kondisinya. Jika dalam kondisi stabil dan masih murni, seperti layaknya anak kecil, maka tahapan penyuciannya dengan mengasahnya dengan stimulus-stimulus kebajikan. Jika dalam kondisi labil atau terdapat noda-noda, ia mesti dikembalikan ketitik nol terlebih dahulu melalui taubat, kemudian senantiasa memupuknya dengan amal kebajikan agar ia tetap eksis dalam memantau pertumbuhan spritual manusia. Dari dua kondisi ini, tentu kondisi pertama yang lebih efektif, oleh sebab itu sedari kecil ia mesti senantiasa di asah dengan tarbiyah yang dilandasi oleh kebenaran mutlak, yaitu al-Qur’ân dan Sunnah.

[1]Muhammad Husain al-Thabâthabâ’iy (selanjutnya disebut dengan Al-Thabâthabâ’iy), al-Mizân fiy Tafsîr al-Qur’an, (Bairût: Muassasah al-A’lâmiy, 1991), Jilid XVI, h. 286-287

[2]Lihat: QS. Al-An’âm/6: 12

[3]al-Thabâthabâ’iy, 287

[4]Lihat: QS. Al-Nisâ’/4: 1

[6]Lihat: QS. Yusuf/12: 53

[7]Lihat: QS. al-Qiyâmah/75: 2

[8]Lihat: QS. al-Fajr/89:27

[9]al-Thabâthabâ’iy, op. cit., Jilid XX, h. 338

[10]Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 56

[11]Ibid., h. 57

[12]Lebih lanjut lihat: M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’ân;Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2005), Cet. Ke-16, h. 286

[13]Erich Fromm, Akar Kekerasan: Analisis Sosio-psikologis atas Watak Manusia, judul asli: The Anatomi of Human Destructiveness, penerjemah: Imam Muttaqin, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003) Cet. Ke-3, h. 47-48

[14]Sayyid Mujtaba Musawi Lari, Menumpas Penyakit Hati, judul asli: Youth and Morals, penerjemah: M. Hashem, (Jakarta: Lentera, 1998), Cet. Ke-4, h. 24

0 komentar:

Posting Komentar

berilah komentar yang saling mendukung saling menghormati sesama

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Posting Terbaruku

Jika Artikel Atau Apa Yang Ada Di Blog Ini Bermanfaat Bagi Anda Jangan Lupa Komentarnya!! Di Bawah Ini Atau Di Buku Tamu Yang Ada Di Samping Kanan, Demi kemajuan Blog Ini

Buku Tamu Facebook

SELAMAT DATANG DI BLOG SHERING ILMU JANGAN LUPA KOMENTAR ANDA DI SINI!!
Widget by: Facebook Develop by:http://wwwsaidahmad.blogspot.com/

Entri Populer