BAHASA INDONESIA
UNTUK PENULISAN KARYA ILMIAH
Untuk kalangan sendiri
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Sejarah Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern, paling tidak dalam bentuk informalnya. Bentuk bahasa sehari-hari ini sering dinamai dengan istilah Melayu Pasar. Jenis ini sangat lentur sebab sangat mudah dimengerti dan ekspresif, dengan toleransi kesalahan sangat besar dan mudah menyerap istilah-istilah lain dari berbagai bahasa yang digunakan para penggunanya.
Bentuk yang lebih resmi, disebut Melayu Tinggi, pada masa lalu
BAHASA INDONESIA
UNTUK PENULISAN KARYA ILMIAH
Susandi Didin Widyartono
Untuk kalangan sendiri
DAFTAR ISI
1. Pendahuluan
a. Sejarah Bahasa Indonesia
b. Fungsi dan Kedudukan
c. Ragam Bahasa
d. Pembakuan Bahasa
i. Bahasa Baku
ii. Proses Pembakuan
iii. Fungsi Pembakuan
e. Bahasa yang Baik dan Benar
2. Penulisan Huruf dan Kata
a. Penulisan Huruf
b. Penulisan Kata
3. Kata dan Diksi
a. Kata
b. Diksi
4. Frase dan Klausa
a. Frase
b. Klausa
5. Kalimat Efektif
a. Kalimat
b. Jenis-jenis Kalimat
c. Kalimat Efektif
6. Pengembangan Paragraf
a. Paragraf
b. Pengembangan Paragraf
7. Karya Ilmiah
a. Makalah
b. Skripsi
DAFTAR RUJUKAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Sejarah Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern, paling tidak dalam bentuk informalnya. Bentuk bahasa sehari-hari ini sering dinamai dengan istilah Melayu Pasar. Jenis ini sangat lentur sebab sangat mudah dimengerti dan ekspresif, dengan toleransi kesalahan sangat besar dan mudah menyerap istilah-istilah lain dari berbagai bahasa yang digunakan para penggunanya.
Bentuk yang lebih resmi, disebut Melayu Tinggi, pada masa lalu digunakan kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Malaya, dan Jawa. Bentuk bahasa ini lebih sulit karena penggunaannya sangat halus, penuh sindiran, dan tidak seekspresif bahasa Melayu Pasar.
Pemerintah kolonial Belanda yang menganggap kelenturan Melayu Pasar mengancam keberadaan bahasa dan budaya Belanda berusaha meredamnya dengan mempromosikan Bahasa Melayu Tinggi, di antaranya dengan penerbitan karya sastra dalam Bahasa Melayu Tinggi oleh Balai Pustaka. Tetapi Bahasa Melayu Pasar sudah telanjur diambil oleh banyak pedagang yang melewati Indonesia.
Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia yang sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Dasar RI 1945, Pasal 36. Ia juga merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia sebagaimana disiratkan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Meski demikian, ia hanya sebagian kecil dari penduduk Indonesia yang benar-benar menggunakannya sebagai bahasa ibu karena dalam percakapan sehari-hari yang tidak resmi masyarakat Indonesia lebih suka menggunakan bahasa daerahnya masing-masing sebagai bahasa ibu seperti bahasa Melayu pasar, bahasa Jawa, bahasa Sunda, dll. Untuk sebagian besar lainnya bahasa Indonesia adalah bahasa kedua dan untuk taraf resmi bahasa Indonesia adalah bahasa pertama. Bahasa Indonesia ialah sebuah dialek bahasa Melayu yang menjadi bahasa resmi republik Indonesia.
Bahasa Indonesia diresmikan pada kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1945. Bahasa Indonesia merupakan bahasa dinamis yang hingga sekarang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan, maupun penyerapan dari bahasa daerah dan asing. Bahasa Indonesia adalah dialek baku dari bahasa Melayu yang pokoknya dari bahasa Melayu Riau sebagaimana diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara dalam Kongres Bahasa Indonesia I tahun 1939 di Solo, Jawa Tengah, "jang dinamakan 'Bahasa Indonesia' jaitoe bahasa Melajoe jang soenggoehpoen pokoknja berasal dari 'Melajoe Riaoe', akan tetapi jang soedah ditambah, dioebah ataoe dikoerangi menoeroet keperloean zaman dan alam baharoe, hingga bahasa itoe laloe moedah dipakai oleh rakjat di seloeroeh Indonesia; pembaharoean bahasa Melajoe hingga menjadi bahasa Indonesia itoe haroes dilakoekan oleh kaoem ahli jang beralam baharoe, ialah alam kebangsaan Indonesia" atau sebagaimana diungkapkan dalam Kongres Bahasa Indonesia II 1954 di Medan, Sumatra Utara, "... bahwa asal bahasa Indonesia ialah bahasa Melaju. Dasar bahasa Indonesia ialah bahasa Melaju jang disesuaikan dengan pertumbuhannja dalam masjarakat Indonesia".
Secara sejarah, bahasa Indonesia merupakan salah satu dialek temporal dari bahasa Melayu yang struktur maupun khazanahnya sebagian besar masih sama atau mirip dengan dialek-dialek temporal terdahulu seperti bahasa Melayu Klasik dan bahasa Melayu Kuno. Secara sosiologis, bolehlah kita katakan bahwa bahasa Indonesia baru dianggap "lahir" atau diterima keberadaannya pada tanggal 28 Oktober 1928. Secara yuridis, baru tanggal 18 Agustus 1945 bahasa Indonesia secara resmi diakui keberadaannya.
Fonologi dan tata bahasa dari bahasa Indonesia cukuplah mudah. Dasar-dasar yang penting untuk komunikasi dasar dapat dipelajari hanya dalam kurun waktu beberapa minggu. Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang digunakan sebagai penghantar pendidikan di perguruan-perguruan di Indonesia.
Melayu Kuna
Penyebutan pertama istilah "Bahasa Melayu" sudah dilakukan pada masa sekitar 683-686 M, yaitu angka tahun yang tercantum pada beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuna dari Palembang dan Bangka. Prasasti-prasasti ini ditulis dengan aksara Pallawa atas perintah raja Sriwijaya, kerajaan maritim yang berjaya pada abad ke-7 dan ke-8. Wangsa Syailendra juga meninggalkan beberapa prasasti Melayu Kuna di Jawa Tengah. Keping Tembaga Laguna yang ditemukan di dekat Manila juga menunjukkan keterkaitan wilayah itu dengan Sriwijaya. Berbagai batu bertulis (prasasti) yang ditemukan itu seperti:
1. Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, tahun 683
2. Prasasti Talang Tuo di Palembang, tahun 684
3. Prasasti Kota Kapur di Bangka Barat, tahun 686
4. Prasasti Karang Brahi antara Jambi dan Sungai Musi, tahun 688
Yang kesemuanya bertuliskan Pra-Nagari dan bahasanya bahasa Melayu Kuno memeberi petunjuk bahwa bahasa Melayu dalam bentuk bahasa Melayu Kuno sudah dipakai sebagai alat komunikasi pada zaman Sriwijaya.
Prasasti-prasasti lain yang bertulis dalam bahasa Melayu kuno juga terdapat di
1. Jawa Tengah, Prasasti Gandasuli, tahun 832
2. Bogor, Prasasti Bogor, tahun 942
Kedua prasasti di pulau Jawa itu memperkuat pula dugaan bahwa bahasa Melayu Kuno pada ketika itu bukan saja dipakai di pulau Sumatra, melainkan juga ia dipakai di pulau Jawa.
Berikut ini kutipan sebagian bunyi batu bertulis Kedukan Bukit.
Swastie syrie syaka warsaatieta 605 ekadasyii syuklapaksa wulan waisyaakha dapunta hyang naayik di saamwan mangalap siddhayaatra di saptamie syuklapaksa wulan jyestha dapunta hyang marlapas dari minanga taamwan...
Terjemahan dalam bahasa Melayu sekarang (bahasa Indonesia): Selamat! Pada tahun saka 605 hari kesebelas pada masa terang bulan Waisyaakha, tuan kita yang mulia naik di perahu menjemput Siddhayaatra. Pada hari ketujuh, pada masa terang bulan Jyestha, tuan kita yang mulia berlepas dari Minanga Taamwan...)
Penelitian linguistik terhadap sejumlah teks menunjukkan bahwa paling sedikit terdapat dua dialek bahasa Melayu Kuna yang digunakan pada masa yang berdekatan.
Melayu Klasik
Karena terputusnya bukti-bukti tertulis pada abad ke-9 hingga abad ke-13, ahli bahasa tidak dapat menyimpulkan apakah bahasa Melayu Klasik merupakan kelanjutan dari Melayu Kuna. Catatan berbahasa Melayu Klasik pertama berasal dari Prasasti Terengganu berangka tahun 1303.
Seiring dengan berkembangnya agama Islam dimulai dari Aceh pada abad ke-14, bahasa Melayu klasik lebih berkembang dan mendominasi sampai pada tahap di mana ekspresi “Masuk Melayu” berarti masuk agama Islam.
Bahasa Indonesia
Bahasa Melayu di Indonesia kemudian digunakan sebagai lingua franca (bahasa pergaulan), namun pada waktu itu belum banyak yang menggunakannya sebagai bahasa ibu. Biasanya masih digunakan bahasa daerah (yang jumlahnya bisa sampai sebanyak 360).
Awal penciptaan bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa bermula dari Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Di sana, pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, dicanangkanlah penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa untuk negara Indonesia pascakemerdekaan. Soekarno tidak memilih bahasanya sendiri, Jawa (yang sebenarnya juga bahasa mayoritas pada saat itu), namun beliau memilih bahasa Indonesia yang beliau dasarkan dari bahasa Melayu yang dituturkan di Riau.
Bahasa Melayu Riau dipilih sebagai bahasa persatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia atas beberapa pertimbangan sebagai berikut:
1. Jika bahasa Jawa digunakan, suku-suku bangsa atau puak lain di republik Indonesia akan merasa dijajah oleh suku Jawa yang merupakan puak (golongan) mayoritas di republik Indonesia.
2. Bahasa Jawa jauh lebih sukar dipelajari dibandingkan dengan bahasa Melayu Riau. Ada tingkatan bahasa halus, biasa, dan kasar yang dipergunakan untuk orang yang berbeda dari segi usia, derajat, ataupun pangkat. Bila pengguna kurang memahami budaya Jawa, ia dapat menimbulkan kesan negatif yang lebih besar.
3. Bahasa Melayu Riau yang dipilih, dan bukan bahasa Melayu Pontianak, atau Banjarmasin, atau Samarinda, atau Maluku, atau Jakarta (Betawi), ataupun Kutai, dengan pertimbangan pertama suku Melayu berasal dari Riau, Sultan Malaka yang terakhirpun lari ke Riau selepas Malaka direbut oleh Portugis. Kedua, ia sebagai lingua franca, bahasa Melayu Riau yang paling sedikit terkena pengaruh misalnya dari bahasa Cina Hokkien, Tio Ciu, Ke, ataupun dari bahasa lainnya.
4. Pengguna bahasa Melayu bukan hanya terbatas di republik Indonesia. Pada tahun 1945, pengguna bahasa Melayu selain republik Indonesia masih dijajah Inggris. Malaysia, Brunei, dan Singapura masih dijajah Inggris. Pada saat itu, dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, diharapkan di negara-negara kawasan seperti Malaysia, Brunei, dan Singapura bisa ditumbuhkan semangat patriotik dan nasionalisme negara-negara jiran di Asia Tenggara.
5. Dengan memilih bahasa Melayu Riau, para pejuang kemerdekaan bersatu lagi seperti pada masa Islam berkembang di Indonesia, namun kali ini dengan tujuan persatuan dan kebangsaan.
6. Bahasa Indonesia yang sudah dipilih ini kemudian distandardisasi (dibakukan) lagi dengan nahu (tata bahasa), dan kamus baku juga diciptakan. Hal ini sudah dilakukan pada zaman Penjajahan Jepang.
Perkembangan Bahasa Indonesia.
Secara terperinci, perkembangan bahasa Indonesia dijelaskan dalam uraian berikut ini.
1. Pada tahun 1901 disusunlah ejaan resmi bahasa Melayu oleh Ch. A. van Ophuijsen dan ia dimuat dalam Kitab Logat Melayu.
2. Pada tahun 1908 Pemerintah mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku bacaan yang diberi nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat), yang kemudian pada tahun 1917 ia diubah menjadi Balai Pustaka. Balai itu menerbitkan buku-buku novel seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.
3. Tanggal 28 Oktober 1928 merupakan saat-saat yang paling menentukan dalam perkembangan bahasa Indonesia karena pada tanggal itulah para pemuda pilihan mamancangkan tonggak yang kukuh untuk perjalanan bahasa Indonesia.
4. Pada tahun 1933 secara resmi berdirilah sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana dan kawan-kawan.
5. Pada tarikh 25-28 Juni 1938 dilangsungkanlah Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu.
6. Pada tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang Dasar RI 1945, yang salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
7. Pada tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan Ejaan Republik (Ejaan Soewandi) sebagai pengganti Ejaan van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.
8. Kongres Bahasa Indonesia II di Medan pada tarikh 28 Oktober s.d. 2 November 1954 juga salah satu perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk terus-menerus menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai bahasa kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa negara.
9. Pada tanggal 16 Agustus 1972 H. M. Soeharto, Presiden Republik Indonesia, meresmikan penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD) melalui pidato kenegaraan di hadapan sidang DPR yang dikuatkan pula dengan Keputusan Presiden No. 57, tahun 1972.
10. Pada tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara).
11. Kongres Bahasa Indonesia III yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 28 Oktober s.d. 2 November 1978 merupakan peristiwa penting bagi kehidupan bahasa Indonesia. Kongres yang diadakan dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda yang ke-50 ini selain memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan bahasa Indonesia sejak tahun 1928, juga berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.
12. Kongres bahasa Indonesia IV diselenggarakan di Jakarta pada tarikh 21-26 November 1983. Ia diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda yang ke-55. Dalam putusannya disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia harus lebih ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang mewajibkan kepada semua warga negara Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dapat tercapai semaksimal mungkin.
13. Kongres Bahasa Indonesia V di Jakarta pada tarikh 28 Oktober s.d. 3 November 1988. Ia dihadiri oleh kira-kira tujuh ratus pakar bahasa Indonesia dari seluruh Nusantara (sebutan bagi negara Indonesia) dan peserta tamu dari negara sahabat seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Belanda, Jerman, dan Australia. Kongres itu ditandatangani dengan dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa kepada pencinta bahasa di Nusantara, yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
14. Kongres Bahasa Indonesia VI di Jakarta pada tarikh 28 Oktober s.d. 2 November 1993. Pesertanya sebanyak 770 pakar bahasa dari Indonesia dan 53 peserta tamu dari mancanegara meliputi Australia, Brunei Darussalam, Jerman, Hongkong, India, Italia, Jepang, Rusia, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Syarikat. Kongres mengusulkan agar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Bahasa Indonesia, serta mengusulkan disusunnya Undang-Undang Bahasa Indonesia.
15. Kongres Bahasa Indonesia VII diselenggarakan di Hotel Indonesia, Jakarta pada tanggal 26-30 Oktober 1998. Kongres itu mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan Bahasa dengan ketentuan sebagai berikut.
a. Keanggotaannya terdiri dari tokoh masyarakat dan pakar yang mempunyai kepedulian terhadap bahasa dan sastra.
b. Tugasnya memberikan nasihat kepada Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa serta mengupayakan peningkatan status kelembagaan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Penyempurnaan Ejaan
Ejaan-ejaan untuk bahasa Melayu/ Indonesia mengalami beberapa tahapan sebagai berikut.
a. Ejaan van Ophuijsen
Ejaan ini ditetapkan pada tahun 1901 yaitu ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin. Van Ophuijsen merancang ejaan itu yang dibantu oleh Engku Nawawi Gelar Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Ciri-ciri dari ejaan ini yaitu:
a. Huruf j untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang, dsb.
b. Huruf oe untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer, dsb.
c. Tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata ma’moer, ’akal, ta’, pa’, dinamai’, dsb.
b. Ejaan Soewandi
Ejaan ini diresmikan pada tanggal 19 Maret 1947 menggantikan ejaan sebelumnya. Ejaan ini lebih dikenal dengan nama ejaan Republik. Ciri-ciri ejaan ini yaitu:
a. Huruf oe diganti dengan u pada kata-kata guru, itu, umur, dsb.
b. Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k pada kata-kata tak, pak, rakjat, dsb.
c. Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2 seperti pada kanak2, ber-jalan2, ke-barat2-an.
d. Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mendampinginya.
c. Ejaan Melindo (Melayu Indonesia)
Konsep ejaan ini dikenal pada akhir tahun 1959. Karena perkembangan politik selama tahun-tahun berikutnya, diurungkanlah peresmian ejaan ini.
d. Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD)
Ejaan ini diresmikan pemakaiannya pada tanggal 16 Agustus 1972 oleh Presiden Republik Indonesia. Peresmian itu berdasarkan Putusan Presiden No. 57, Tahun 1972. Dengan EYD, ejaan dua bahasa serumpun, yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia, semakin dibakukan.
Indonesia
(pra-1972) Malaysia
(pra-1972) Sejak 1972
tj ch c
dj j j
ch kh kh
nj ny ny
sj sh sy
j y y
oe* u u
Catatan: Tahun 1947 "oe" sudah digantikan dengan "u".
Pengaruh Terhadap Perbendaharaan Kata
Ada empat tempo penting dari hubungan kebudayaan Indonesia dengan dunia luar yang meninggalkan jejaknya pada perbendaharaan kata bahasa Indonesia.
a. Hindu (antara abad ke-6 sampai 15 M)
Sejumlah besar kata berasal dari Sanskerta Indo-Eropa. (Contoh: samudra, suami, istri, raja, putra, pura, kepala, mantra, cinta, kaca)
b. Islam (dimulai dari abad ke-13 M)
Pada tempo ini diambillah sejumlah besar kata dari bahasa Arab dan Persia (Contoh: masjid, kalbu, kitab, kursi, doa, khusus, maaf, selamat, kertas).
c. Kolonial
Pada tempo ini ada beberapa bahasa yang diambil, di antaranya yaitu dari Portugis (contohnya: gereja, sepatu, sabun, meja, jendela) dan Belanda (contohnya: asbak, kantor, polisi, kualitas)
d. Pasca-Kolonialisasi (Kemerdekaan dan seterusnya)
Pada masa ini banyak kata yang diambil berasal dari bahasa Inggris. (Contoh: konsumen, isu). Dan ada juga Neo-Sanskerta yaitu neologisme yang didasarkan pada bahasa Sanskerta, (contoh: dasawarsa, lokakarya, tunasusila)
Selain daripada itu bahasa Indonesia juga menyerap perbendaharaan katanya dari bahasa Cina (contoh: pisau, tauge, tahu, loteng, teko, tauke, cukong).
Ciri-ciri lain dari bahasa indonesia kontemporer yaitu kesukaannya menggunakan akronim dan singkatan.
Senarai Jumlah Kata Serapan dalam Bahasa Indonesia
a. Kata serapan dalam bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia adalah bahasa yang terbuka. Maksudnya ialah bahwa bahasa ini banyak menyerap kata-kata dari bahasa lainnya.
Asal Bahasa Jumlah Kata
Arab 1.495 kata
Belanda 3.280 kata
Cina 290 kata
Hindi 7 kata
Inggris 1.610 kata
Parsi 63 kata
Portugis 131 kata
Sanskerta-Jawa Kuna 677 kata
Tamil 83 kata
Sumber: Senarai Kata Serapan dalam Bahasa Indonesia (1996) yang disusun oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (sekarang bernama Pusat Bahasa).
Penggolongan
Indonesia termasuk anggota dari bahasa melayu-polinesia barat subkelompok dari bahasa melayu-polinesia yang pada gilirannya merupakan cabang dari bahasa Austronesia. Menurut situs Ethnologue, bahasa Indonesia didasarkan pada bahasa Melayu dialek Riau yang dituturkan di timur laut Sumatera.
Distribusi geografis
Bahasa Indonesia dituturkan di seluruh Indonesia, walaupun lebih banyak digunakan di area perkotaan (seperti di Ibukota Jakarta yang digunakan bahasa Indonesia dengan dialek Betawi serta logat Betawi).
Penggunaan bahasa di daerah biasanya lebih resmi, dan seringkali terselip dialek-dialek dan logat-logat di daerah bahasa Indonesia itu dituturkan. Untuk berkomunikasi dengan sesama orang sedaerah kadang bahasa daerahlah yang digunakan sebagai pengganti untuk bahasa Indonesia.
Kedudukan resmi
Bahasa Indonesia memiliki kedudukan yang sangat penting seperti yang tercantum dalam:
a. Ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 dengan bunyi, ”Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
b. Undang-Undang Dasar RI 1945 Bab XV (Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan) Pasal 36 menyatakan bahwa ”Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”.
Dari Kedua hal tersebut, maka kedudukan bahasa Indonesia sebagai:
a. Bahasa kebangsaan, kedudukannya berada di atas bahasa-bahasa daerah.
b. Bahasa negara (bahasa resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Bunyi
Berikut adalah fonem dari bahasa indonesia mutakhir
Vokal
Depan Madya Belakang
Tertutup iː uː
Tengah e ə o
Hampir Terbuka (ɛ) (ɔ)
Terbuka a
Bahasa Indonesia juga mempunyai diftong /ai/, /au/, dan /oi/. Namun, di dalam suku kata tertutup seperti air kedua vokal tidak diucapkan sebagai diftong
Konsonan
Bibir Gigi Langit2
keras Langit2
lunak Celah
suara
Sengau M n ɲ ŋ
Letup p b t d c ɟ k g ʔ
Desis (f) s (z) (ç) (x) h
Getar/Sisi l r
Hampiran W j
Vokal di dalam tanda kurung adalah alofon sedangkan konsonan di dalam tanda kurung adalah fonem pinjaman dan hanya muncul di dalam kata serapan.
Bunyi /k/, /p/, dan /t/ tidak diaspirasikan /t/ dan /d/ adalah konsonan gigi bukan konsonan rongga gigi seperti di dalam bahasa Inggris. /k/ pada akhir suku kata menjadi konsonan letup celah suara.
Penekanan ditempatkan pada suku kata kedua dari terakhir dari kata akar. Namun apabila suku kata ini mengandung pepet maka penekanan pindah ke suku kata terakhir.
Tata bahasa
Dibandingkan dengan bahasa-bahasa Eropa, bahasa Indonesia tidak banyak menggunakan kata bertata bahasa dengan jenis kelamin. Sebagai contoh kata ganti seperti "dia" tidak secara spesifik menunjukkan apakah orang yang disebut itu lelaki atau perempuan. Hal yang sama juga ditemukan pada kata seperti "adik" dan "pacar" sebagai contohnya. Untuk memerinci sebuah jenis kelamin, sebuah kata sifat harus ditambahkan, "adik laki-laki" sebagai contohnya.
Ada juga kata yang berjenis kelamin, seperti contohnya "putri" dan "putra". Kata-kata seperti ini biasanya diserap dari bahasa lain (pada kasus di atas, kedua kata itu diserap dari bahasa Sanskerta melalui bahasa Jawa Kuno.
Untuk mengubah sebuah kata benda menjadi bentuk jamak digunakanlah reduplikasi (perulangan kata), tapi hanya jika jumlahnya tidak terlibat dalam konteks. Sebagai contoh "seribu orang" dipakai, bukan "seribu orang-orang". Perulangan kata juga mempunyai banyak kegunaan lain, tidak terbatas pada kata benda.
Bahasa Indonesia menggunakan dua jenis kata ganti orang pertama jamak, yaitu "kami" dan "kita". "Kami" adalah kata ganti eksklusif yang berarti tidak termasuk sang lawan bicara, sedangkan "kita" adalah kata ganti inklusif yang berarti kelompok orang yang disebut termasuk lawan bicaranya.
Susunan kata dasar yaitu Subyek - Predikat - Obyek (SPO), walaupun susunan kata lain juga mungkin. Kata kerja tidak di bahasa berinfleksikan kepada orang atau jumlah subjek dan objek. Bahasa Indonesia juga tidak mengenal kala (tense). Waktu dinyatakan dengan menambahkan kata keterangan waktu (seperti, "kemarin" atau "esok"), atau petunjuk lain seperti "sudah" atau "belum".
Dengan tata bahasa yang cukup sederhana bahasa Indonesia mempunyai kerumitannya sendiri, yaitu pada penggunaan imbuhan yang mungkin akan cukup membingungkan bagi orang yang pertama kali belajar bahasa Indonesia.
1.2 Fungsi dan Kedudukan
Sumpah Pemuda 1928 berisi pengakuan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa Nasional. Hal ini merupakan langkah yang menentukan di dalam perumusan garis-garis kebijaksanaan mengenai bahasa nasional kita. Undang-undang Dasar 1945, Bab XV, Pasal 36, menyatakan bahwa ”Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”, memberikan dasar yang kuat dan resmi bagi pemakaian bahasa Indonesia bukan saja sebagai bahas perhubungan pada tingkat nasional tetapi juga sebagai bahasa resmi kenegaraan. Kongres bahasa Indonesia 1954 di Medan yang mengaku bahwa bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu, dan bahwa di dalam pertumbuhan dan perkembangannya itu bahasa Indonesia telah dipercaya oleh bahasa-bahasa lain, terutama bahasa-bahasa daerah yang terdapat di Indonesia merupakan langkah maju yang berdasarkan kenyataan.
Salah satu fungsi politik bahasa Nasional adalah memberikan dasar dan pengarahan bagi perencanaan serta pengembangan bahasa nasional dan pada waktu yang sama memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan pokok yang berhubungan dengan
1. fungsi dan kedudukan bahasa nasional dibandingkan dengan bahasa-bahasa lain
2. penentuan ciri-ciri bahasa indonesia baku
3. tata cara pembakuan dan pengembangan bahasa nasional
4. pengembangan pengajaran bahasa Nasional pada semua jenis dan tingkah lembaga pendidikan, mulai dari tingkat sekolah dasar sampai tingkat perguruan tinggi.
Politik bahasa nasional juga memberikan dasar dan pengarahan bagi masalah bahasa nasional di dalam hubungannya dengan
1. pendidikan dan pengajaran di dalam dan diluar lembaga-lembaga pendidikan
2. pelaksanaan administrasi pemerintahan
3. pengembangan ketenagaan baik dikalangan pemerintah maupun dikalangan swasta
4. pengembangan kesusastraan nasional
5. pengembangan kebudayaan nasional
6. peningkatan mutu dan jumlah bahan bacaan umum
7. peningkatan mutu pesuratkabaran dan siaran radio serta televisi
8. penulisan buku-buku ilmu pengetahuan, baik dalam bentuk karangan asli maupun dalam bentuk terjemahan.
Masalah fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia sudah banyak disebut-sebut. Selain ketentuan-ketentuan yang termuat di dalam dokumen-dokumen resmi seperti Sumpah Pemuda 1928, Undang-undang Dasar 1945 Bab XV Pasal 36 dan Keputusan Kongres Bahasa Indonesia 1954, kita dapati kenyataan bahwa masalah ini sudah dibahas dengan bermacam-macam cara dan gaya di dalam berbagai tulisan dalam bentuk kertas kerja, tesis, skripsi, pidato pengukuhan jabatan guru besar, dan karangan di dalam surat kabar serta majalah.
Pada dasarnya tulisan-tulisan itu menunjukkan adanya kesepakatan mengenai fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia itu. Pertama bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah lambang kebulatan semangat kebangsaan Indonesia, alat penyatuan berbagai macam masyarakat yang berbeda-beda latar belakang kebahasaan, kebudayaan, dan kesukuannya kedalam satu masyarakat nasional Indonesia dan alat perhubungan antarsuku, antardaerah serta budaya.
Kedua, di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia adalah bahasa resmi pemerintahan, bahasa pengantar di dalam dunia pendidikan, alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional, serta alat pengembangan kebudayaan. Penguasaan ini mencakup:
1. kesanggupan memahami apa yang dikatakan atau dituliskan oleh orang lain di dalam bahasa Indonesia
2. kesanggupan memanfaatkan bahasa Indonesia untuk menyatakan perasaan, pikiran dan keinginan dan secara lisan maupun secara tertulis dengan tepat, sesuai dengan keadaan, bahan yang dikemukakan dan hubunga sosial budaya yang terlibat, dengan tidak mempergunakan unsur-unsur bahasa asing atau bahasa lain yang tidak benar-benar diperlukan.
Jalan yang dapat ditempuh untuk tujuan itu adalah pengajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa yang hidup di segala jenis dan tingkat lembaga-lembaga pendidikan, mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi. Supaya mencapai tujuannya dengan sebaik-baiknya, pengajaran bahasa Indonesia itu perlu dilanjutkan sampai dengan tingkat perguruan tinggi, dan tidak berhenti dalam akhir pendidikan tingkat menengah atas.
Salah satu masalah kebahasaan yang perumusan dan dasar penggarapannya perlu dicakup oleh kebijaksanaan nasional di dalam bidang kebahasaan adalah fungsi dan kedudukan bahasa nasional kita, bahasa Indonesia. Yang dimaksud dengan fungsi bahasa di dalam hubungannya ini adalah nilai pemakaian bahasa yang dirumuskan sebagai tugas pemakaian bahasa itu di dalam kedudukan yang diberikan kepadanya. Yang dimaksud dengan kedudukan bahasa adalah status relatif bahasa sebagai sistem lambang nilai budaya, yang dirumuskan atas dasar nilai sosial yang dihubungkan dengan bahasa yang bersangkutan.
Masalah fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia adalah salah satu diantara masalah kebahasaan yang kita hadapi. Yang merupakan satu bagian dari keseluruhan jaringan masalah kebahasaan kita. Oleh karena itu, kebijaksanaan bahasa nasional yang lengkap harus mencakup juga masalah fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia.
Di dalam memberikan dasar dan pengarahan untuk kepentingan pengembangan pengajaran bahasa Indonesia itu, politik bahasa nasional perlu memperhitungkan kenyataan bahwa :
1. bahasa Indonesia diajarkan diseluruh Indonesia, kepada anak-anak didik yang berbeda-beda latar belakang sosial budaya serta bahasa ibunya
2. hanya sebagian kecil rakyat Indonesia yang memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa itu
3. perkembangan teknik dan sarana perhubungan adalah sedemikian rupa sehingga surat kabar, majalah, siaran radio dan televisi telah sanggup menjangkau hampir seluruh pelosok tanah air kita
Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Negara
Di dalam hubungan dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara istilah bahasa resmi sengaja tidak dipakai. Penghindaran istilah bahasa resmi itu disebabkan oleh kenyataan bahwa tidak semua bahasa resmi adalah bahasa negara. Bahasa daerah dapat juga menjadi bahasa resmi di dalam lingkungan sosial budayanya sendiri.
Upacara-upacara resmi keraton di Jawa Tengah, misalnya dilaksanakan dengan mempergunakan dengan bahasa Jawa tidak dengan memakai bahasa Indonesia. Demikian pula halnya dengan pemakaian bahasa Sunda di dalam upacara-upacara adat di Jawa Barat, dan pemakaian bahasa Minang Kabau di dalam upacara-upacara adat di Sumatera Barat.
Malah bahasa Indonesia dapat dikatakan merupakan alat bahasa resmi selama masa penjajahan karena ia dipakai baik oleh Belanda maupun Jepang sebagai bahasa pemerintah di dalam menghadapi penduduk asli di samping bahasa Belanda selama masa-masa penjajahan Belanda dan bahasa Jepang selama masa penjajahan Jepang.
Namun jelaslah bahwa bahasa Indonesia pada waktu itu tidak memiliki kedudukan sebagai bahasa Negara.
Salah satu fungsi bahasa Indonesia di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara adalah pemakaiannya sebagai bahasa resmi kenegaraan. Di dalam hubungan dengan fungsi ini bahasa Indonesia dipakai dalam segala upacara dan kegiatan kenegaraan baik secara lisan maupun dalam bentuk tulisan.
Dokumen-dokumen dan keputusan-keputusan serta surat-menyurat yang dikeluarkan oleh pemerintah dan badan-badan kenegaraan lainnya seperti DPR dan MPR ditulis dalam bahasa Indonesia. Pidato-pidato terutama pidato kenegaraan ditulis dan diucapkan di dalam bahasa Indonesia hanya dalam keadaan tertentu demi kepentingan komunikasi antar bangsa kadang-kadang pidato resmi dan diucapkan di dalam bahasa asing terutama bahasa Inggris.
Demikian pula halnya dengan pemakaian Bahasa Indonesia oleh warga masyarakat kita di dalam hubungan dengan upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan dengan kata lain komunikasi timbal balik antara pemerintah dan masyarakat berlangsung dengan mempergunakan bahasa Indonesia.
Untuk melaksanakan fungsinya sebagai bahasa resmi kenegaraan dengan sebaik-baiknya, pemakaian bahasa Indonesia di dalam pelaksanaan administrasi pemerintahan perlu senantiasa dibina dan dikembangkan, penguasan bahasa Indonesia perlu dijadikan salah satu faktor yang menentukan di dalam pengembangan ketenagaan seperti penerimaan karyawan baru, kenaikan pangkat, baik sipil maupun militer, dan pemberian tugas-tugas khusus baik di dalam, maupun di luar negeri.
Di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara bahasa Indonesia berfungsi pula sebagai bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi di seluruh Indonesia kecuali di daerah-daerah bahasa seperti bahasa Aceh, Batak, Sunda, Jawa, Madura, Bali, dan Makassar. Daerah-daerah bahasa ini bahasa daerah yang bersangkutan dipakai sebagai bahasa penghantar sampai dengan tahun ketiga pendidikan dasar.
Masalah pemakaian bahasa Indonesia sebagai satu-satunya bahasa pengantar di segala jenis dan tingkat pendidikan diseluruh Indonesia tampaknya masih merupakan masalah yang meminta perhatian.
Fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di dalam dunia pendidikan berhubungan erat dengan fungsinya sebagai alat perhubungan pada tingkat nasional dan untuk kepentingan pelaksanaan pemerintahan.
Di dalam hubungan dengan fungsi ini, bahasa Indonesia dipakai bukan saja sebagai alat komunikasi timbal balik antara pemerintah dan masyarakat luas, dan bukan saja sebagai alat perhubungan antar daerah dan antar suku, tetapi juga sebagai alat perhubungan di dalam masyarakat yang sama latar sosial dan budaya dan bahasanya.
Dari ilmu sosiolinguistik kita ketahui bahwa pemilihan bahasa apa yang dipakai dalam keadaan tertentu di dalam masyarakat yang mengenal pemakaian dua buah bahasa atau lebih adalah salah satu pokok permasalahan yang diperkatakan. Jadi, apabila pokok persoalan yang diperkatakan itu adalah masalah yang menyangkut tingkat nasional bukan tingkat daerah maka terdapatlah kecenderungan untuk mempergunakan bahasa nasional bukan bahasa daerah apalagi apabila di antara orang-orang yang bersangkutan terdapat jarak sosial yang cukup besar.
Akhirnya, di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai alat pengembangan kebudayaan nasional, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Di dalam hubungan ini bahasa Indonesia adalah satu-satunya alat yang memungkinkan kita membina serta mengembangkan kebudayaan nasional sedemikian rupa sehingga ia memiliki ciri-ciri dan identitasnya sendiri yang membedakannya dari kebudayan daerah.
Pada waktu yang sama bahasa Indonesia kita pergunakan sebagai alat untuk menyatakan nilai-nilai sosial budaya nasional kita.
Di samping itu bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa pendukung ilmu pengetahuan dan teknologi modern untuk kepentingan nasional kita. Penyebarluasan ilmu pengetahuan dan teknologi modern serta manfaat yang dapat diberikannya kepada perencanaan dan pelaksanaan kita baik melalui penulisan dan penerjemahan buku-buku teks serta penyajian-penyajian pelajaran di lembaga-lembaga pendidikan maupun melalui penulisan buku-buku untuk masyarakat umum dan melalui sarana-sarana lain di luar lembaga-lembaga pendidikan dilaksanakan dengan mempergunakan bahasa Indonesia.
Dengan demikian masyarakat bangsa kita tidak tergantung sepenuhnya kepada bahasa-bahasa asing di dalam usahanya untuk mengikuti perkembagan ilmu pengetahuan dan teknologi modern serta untuk ikut serta dalam usaha pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern itu sendiri.
Di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara bahasa Indonesia mempunyai fungsi sebagai
1. bahasa resmi kenegaraan
2. bahasa pengantar di dalam dunia pendidikan
3. alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional serta kepentingan pemerintahan
4. alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi.
1.3 Ragam Bahasa
Pada keadaannya bahasa Indonesia menumbuhkan banyak varian yaitu varian menurut pemakai yang disebut sebagai dialek dan varian menurut pemakaian yang disebut sebagai ragam bahasa.
Dialek dibedakan atas hal ihwal berikut:
a. dialek regional, yaitu rupa-rupa bahasa yang digunakan di daerah tertentu sehingga ia membedakan bahasa yang digunakan di suatu daerah dengan bahasa yang digunakan di daerah yang lain meski mereka berasal dari eka bahasa. Oleh karena itu, dikenallah bahasa Melayu dialek Ambon, dialek Jakarta (Betawi), atau bahasa Melayu dialek Medan.
b. dialek sosial, yaitu dialek yang digunakan oleh kelompok masyarakat tertentu atau yang menandai tingkat masyarakat tertentu. Contohnya dialek wanita dan dialek remaja.
c. dialek temporal, yaitu dialek yang digunakan pada kurun waktu tertentu. Contohnya dialek Melayu zaman Sriwijaya dan dialek Melayu zaman Abdullah.
Idiolek, yaitu keseluruhan ciri bahasa seseorang. Sekalipun kita semua berbahasa Indonesia, kita masing-masing memiliki ciri-ciri khas pribadi dalam pelafalan, tata bahasa, atau pilihan dan kekayaan kata.
Ragam bahasa dalam bahasa Indonesia berjumlah sangat banyak dan tidak terdata dengan baik. Maka itu, ia dibagi atas dasar pokok pembicaraan, perantara pembicaraan, dan hubungan antarpembicara.
Ragam bahasa menurut pokok pembicaraan meliputi:
1. ragam undang-undang
2. ragam jurnalistik
3. ragam ilmiah
4. ragam sastra
Ragam bahasa menurut hubungan antarpembicara dibagi atas:
1. ragam lisan, terdiri dari:
a. ragam percakapan
b. ragam pidato
c. ragam kuliah
d. ragam panggung
2. ragam tulis, terdiri dari:
a. ragam teknis
b. ragam undang-undang
c. ragam catatan
d. ragam surat-menyurat
Dalam kenyataannya, bahasa baku tidak dapat digunakan untuk segala keperluan, tetapi hanya untuk:
1. komunikasi resmi
2. wacana teknis
3. pembicaraan di depan khalayak ramai
4. pembicaraan dengan orang yang dihormati
Selain keempat penggunaan tersebut, dipakailah ragam bukan baku.
1.4 Pembakuan Bahasa
Ide tentang standardisasi atau pembakuan bahasa itu adalah paralel dan merupakan salah satu segi dari jangkauan yang akan dicapai oleh perencanaan bahasa dan kebijaksanaan bahasa. Sedangkan tujuan akhir dari usaha itu ialah untuk memperoleh alat komunikasi yang sebaik-baiknya dan seefisien-efisiennya segala kegiatan hidup dan aktivitas sosial pemakainya. Untuk mendapatkan alat semacam itu dianggap perlu adanya kebakuan bahasa atau kestandaran bahasa.
Sebenarnya masalah kebakukan bahasa atau kestandaran bahasa sendiri merupakan hasil dari suatu proses, yang akan terjadi lewat dua macam cara yaitu
1. kebakuan yang diperoleh karena proses alami atau natural
2. kebakuan yang merupakan akibat atau hasil dari suatu perencanaan (artifisial).
Kebakuan alami diperoleh secara alamiah, merupakan akibat dari suatu proses yang terjadi di dalam bahasa itu sendiri, tanpa pengerahan apapun yang sifatnya disengaja. Kebakuan demikian memang mungkin terjadi, sebab pada hakikatnya bahasa itu mempunyai kemampuan potensial untuk mengatur dirinya sendiri.
Aturan yang diperoleh dari potensi yang demikian itulah yang sebenarnya aturan yang hakiki dalam bahasa. Tetapi kapan dan bilamana suatu bahasa mencapai aturan dan sampai ke keadaan demikian itu tidak dapat diramalkan, tidak dapat dipastikan. Dalam hal ini pemakai dan pemilik bahasa hanya harus menunggu, harus menanti datangnya anugerah yang sungguh-sungguh berharga tetapi tidak berketentuan datangnya.
Apabila bahasa yang dipakai dan yang dimilikinya itu kebetulan bahasa yang sudah cukup dewasa dan secara historis menguntungkan, mungkin tiba saatnya keteraturan dan kebakuannya memang tidak terlampau lama. Tetapi manakala bahasa yang menjadi milik budayaanya yang dipakainya itu kebetulan bahasa yang masih muda usianya dan sejarah perkembangannya tidak begitu menguntungkan, maka tidak mustahil bahwa apa yang diharapkan itu sangat lambat datangnya atau tidak akan pernah sama sekali.
Atau lebih dari itu, bahasa tidak saja tidak menuju ke keteraturan, tetapi lebih mengarah kepada ke ketidakteraturan atau kekacauan. Apabila sampai terjadi demikian maka sesungguhnyalah apa yang disebut kebakuan alami itu benar-benar hanya merupakan sesuatu yang ada dalam ide saja, dan peristiwanya tidak pernah terjadi di dalam bahasa itu.
Bagi bahasa-bahasa tertentu sikap menanti dan membiarkan bahasa seperti itu mungkin memang dapat dimengerti, meskipun belum tentu dapat dibenarkan. Misalnya sikap orang Inggris dan Amerika terhadap bahasa Inggris, yang seakan-akan membiarkan bahasa itu membakukan dirinya sendiri, bukan berarti bahwa sikap orang terhadap bahasa lain harus pula demikian.
Berbagai faktor dan alasan rupa-rupanya mendasari dan mengharuskan mereka ersikap demikian terhadap bahasanya. Pertama pemakaian yang demikian luasnya mengenai bahasa Inggris hampir-hampir tidak memungkinkan orang memikirkan perencanaan dan penstandaran bahasa itu.
Jika pun ada seseorang yang mempunyai ide seperti itu, mungkin mereka akan tertumbuk kepada persoalan-persoalan teknis yang sangat kompleks dan sukar sekali dipecahkan. Seperti kita ketahui, pembakuan bahasa mempunyai akibat yang sangat luas dan menyangkut hampir segala segi kehidupan.
Jika yang distandarkan itu bahasa yang pemakainnya demikian luas seperti bahasa Inggris, maka akibat itu hampir-hampir tidak dapat dibayangkan besarnya. Tidak seorangpun, bahkan negarapun, yang berani menanggung akibat yang demikian itu. Tidak terkecuali negara maupun bangsa yang menjadi pemiliknya. Dengan demikian maka tidak ada sikap yang lebih baik dari pada membiarkan bahasa itu hidup dan berkembang secara alamiah tanpa perencanaan dan pengerahan. Jalan lain tidak ada. Kedua: Menganggap bahwa bahasa Inggris merupakan bahasa yang sudah cukup dewasa yang sanggup mengatur dirinya sendiri tanpa pengerahan. Karena aturan yang demikian itu pada hakikatnya harus ada dalam bahasa, maka orang bersikap memuliakan dan menunggu sampai bahasa itu membakukan dirinya sendiri.
Dengan pendirian seperti itu maka pemilik bahasa itu tidak merasa berkewajiban untuk membakukan bahasanya. Tetapi apa yang ada pada bahasa Inggris tidak menunjukkan gejala-gejala seperti itu. Banyak sekali unsur-unsur dan aspek bahasa Inggris yang masih perlu diarahkan, ditinjau dari kacamata keilmubahasaan.
Terlalu banyak dan kurang pada tempatnya kiranya untuk menyebut satu persatu peristiwa-peristiwa tersebut pada kesempatan yang sangat terbatas ini oleh sebab itu hanya akan disimpulkan bahwa alasan yang kedua ini mungkin bukan alasan yang kuat dasar-dasarnya, sehingga tidak dapat dijadikan pegangan.
Kebakuan artifisial ialah kebakuan bahasa yang direncanakan, kebakuan sebagai hasil usaha manusia. Kebijaksanaan ini diambil karena adanya asumsi, bahwa betapapun orang yakin akan adanya aturan yang alami pada setiap bahasa, pada hal-hal tertentu dan peristiwa-peristiwa tertentu tidak jarang bahasa menunjukkan ketidakteraturannya.
Asumsi seperti itu lebih diperkuat lagi dengan adanya kenyataan seperti yang telah kita utarakan di depan bahwa dalam perkembangannya sering kali bahasa menunjukkan gejala-gejala yang tidak wajar, tidak terarah dan kadang-kadang bahkan menjurus kekacauan. Apa yang terjadi di dalam bahasa Indonesia mungkin dapat dijadikan argumen tentang adanya gejala seperti itu.
Itulah salah satu sebab utamnya maka setelah berkonsultasi dan bertukar pikiran dengan berbagai pihak yang kompeten dalam persoalan ini, pemerintah Indonesia menganggap perlu adanya pembakuan yang direncanakan. Bahkan kemudian perencanaan diatur dalam suatu kebijaksanaan bahasa atau politik bahasa. Dengan demikian maka jelas bahwa kita tidak akan menunggu bahasa itu membakukan dirinya sendiri secara alami, sebab sikap demikian dianggap kurang bijaksana yang tidak sesuai dengan sifat-sifat dan peristiwa-peristiwa yang telah dan sedang di dalam bahasa Indonesia dewasa ini.
Baik kebakuan alami maupun kebakuan sebagai hasil perencanaan masing-masing mengandung kebaikan dan kelemahan. Kebaikan kebakuan alami terletak pada kealamiahannya. Dengan membiarkan bahasa membakukan dirinya sendiri berarti membiarkan bahasa itu berkembang sesuai dengan sifat hakikinya. Dengan demikian jika pada suatu saat ia sampai pada tingkat standarnya, kestandarannya itu benar-benar akibat dari kedewasaanya.
Kebakuan yang diperoleh dengan cara seperti itu biasanya benar-benar menyakinkan, stabil dan tidak mudah berubah. Sedangkan kelemahannya adalah tidak adanya ketentuan dan kepastian sampai kapan kebakuan seperti itu dapat diperoleh. Dan bagi suatu negara yang menghendaki segera adanya alat komunikasi yang sebaik-baiknya, tentu saja sikap menunggu demikian itu sungguh-sungguh dirasakan sebagai tindakan yang tidak bijaksana.
Apa yang diuraikan tentang perencanaan bahasa dan kebijaksanaan bahasa di depan, sebagian besar memberi gambaran tentang kebaikan-kebaikan adanya kebakuan bahasa akibat suatu perencanaan. Sedangkan kelemahannya antara lain ialah, kebakuaan yaitu diperolah secara secara tidak wajar, setengah dipaksakan dan tidak dapat diterima. Akibat dari itu semua adalah tidak jarang kebakuan semacam itu hanya berhenti kepada aturan sampai kepada peraturan saja.
Sementara standardisasi dibicarakan dan disebarkan para pemakai dengan bebas mempergunakan bahasa menurut seleranya sendiri. Jika sampai terjadi demikian maka ini berarti apa yang distandarkan itu tidak ada artinya dan kebakuan bahasa tidak tercapai. Sebenarnyalah kebakuan bahasa itu dibakukan sebagian besar ada di tengah masyarakat sedang usaha pembakuan bahasa hanyalah salah satu sarana untuk mengarahkan pemakaian bahasa itu supaya tertib dan teratur. Sehingga dapat diperoleh efek komunikatif yang setinggi-tingginya.
Masalah standardisasi bahasa ialah pemilihan acuan yang dianggap paling wajar dan paling baik dalam pemakaian bahasa, tetapi karena masalah kewajaran pemmakaian bahasa itu sendiri ditentukaan oleh berbagai faktor (situasi, tempat, lawan bicara, status penuturnya dan masih banyak lagi), maka sebelum menentukan acuan yang dianggap sebagai bahasa baku terlebih dahulu harus dikenal berbagai variasi pemakaian bahasa sesuai dengn faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Sebab tanpa mengetahui varasi-variasi pemakaian bahasa semacam itu sulit menentukan dasar bahasa, sangat sukar atau mungkin sama sekali tidak diperoleh ukuran tentang acuan yang standar. Berbagai variasi pemakaian bahasa semacam itu merupakan masalah tersendiri dalam bidang kebahasaan.
Adanya berbagai variasi dalam pemakaian bahasa berhubungan erat dengan daengan masalah fungsi bahasa sebagai alat komunikasai sosial. Dalam fungsinya yang demikian itu bahasa tidak menunjukkan adanya satu acuan yang dipergunakan untuk berkomunikasi segala fungsinya. Setiap acuan tentu cenderung untuk dipergunakan sesuai dwengan faktor tertentu yang mempengaruhi, mungkin situasi tuturannya, tempat tuturannya berlangsung, lawan bicaranya, status sosialnya dan sebagainya.
Karena adanya acuan seperti itu, maka masalah pokok standardisasi bahasa ialah acuan manakah yang harus dipilih diantara berbagai acuan yang ada di dalam berbagai variasi pemakaian sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhianya, yang akan ditetapkan sebagai acuan standar. Variasi-variasi lain diluar acuan itu dengan dianggap tidak standar atau nonstandar.
Dalam hubungan ini ada berbagai teori dan pandangan yang dianggap dapat dipakai sebagai dasar untuk menetapkan acuan manakah yang sebaiknya dapat dipilih sebagai acuan yang standar, yaitu:
1. dasar keresmian, dasar ini menganggap bahwa bahasa yang dipakai dalam komunikasi resmi merupakan acuan yang standar. sedangkan yang dimaksud dengan komunikasi misalnya surat menyurat resmi, surat-surat dinas, pembicaraan-pembicaraan resmi, pengumuman-pengumuman resmi, berita-berita dalam radio dan televisi dan sebagainya.
2. dasar keilmiahan yaitu dasar ini menganggap bahwa manusia yang dipergunakan di dalam menguraikan sesuatu ilmu ilmiah adalah acuan yang standar, termasuk dasar ini pula ialah laporan-laporan penelitian ilmiah dan segala wacana teknik yang sejenis dengan itu.
3. dasar kesusastraan yaitu dasar ini menganggap bahwa bahasa yang dipergunakan di dalam hasil-hasil karya sastra adalah acuan yang standar, termasuk ini ialah bahasa-bahasa di dalam roman, novel, esai, kritik sastra, cerpen, dan sebagainya terutama yang ditulis oleh penulis-penulis terkenal.
4. dasar kegramatikalan yaitu dasar ini menganggap bahwa bahasa itu merupakan acuan yang standar dan apabila mengikuti kaidah-kaidah gramatikal yang berlaku di dalam bahasa tersebut. Termasuk di dalam hal ini ialah ketertiban di dalam bidang pengucapan, sistem bunyi, pemakaian bentuk-bentuk kata, kata kalimat, dan sebagainya.
5. dasar keteladanan dasar ini menganggap bahwa bahasa yang dipergunakan oleh orang-orang terkemuka dan pemimpin-pemimpin yang berpengaruh merupakan acuan yang standar. Dasar ini diambil karena bahasa orang-orang seperti itu biasanya merupakan teladan yang akan diikuti secara meluas oleh masyarakat pemakai bahasa.
6. dasar keterpelajaran maksud dasar ini bahwa bahasa yang dipergunakan oleh orang-orang terpelajar (yang berpendidikan) dianggap sebagai acuan yang standar.
1.5 Bahasa yang Baik dan Benar
Seringkali kita mendengar bahwa pemakaian bahasa Indonesia harus baik dan benar. Definisi baik dan benar memiliki tekanan unsur tertentu. Berikut ini akan dijelaskan bagaimana penggunaan bahasa yang baik dan benar.
Misalnya seorang ibu rumah tangga hendak menawar tukang sayur atau sopir taksi dengan memakai bahasa baku seperti berikut.
(1) Bapak tukang sayur, berapa bapak menjual satu kilogram tomat yang berwarna merah ini?
(2) Apakah bapak sopir bersedia mengantar saya ke kabupaten? Berapa ongkos yang harus saya bayar?
(3) Pak, berapa satu kilogram tomat merah ini?
(4) Ke kabupaten, berapa ongkosnya, Pak?
Pemakaian bahasa yang mengikuti kaidah yang dibakukan atau yang dianggap baku seperti kalimat (1) dan (2) disebut pemakaian bahasa yang benar. Contoh kalimat (1) dan (2) merupakan pemakaian bahasa yang baku, tetapi tidak baik dan tidak efektif dalam situasi pemakaiannya.
Pemanfaatan ragam yang tepat dan serasi menurut golongan penutur dan jenis pemakaian seperti kalimat (3) dan (4) disebut pemakaian bahasa yang baik. Dengan situasi di atas, seorang ibu rumah tangga dapat menggunakan alternatif pilihan bahasa yang lain seperti kalimat (3) dan (4).
Anjuran berbahasa Indonesia tidak hanya terkait dengan kebenaran (standar baku), namun juga terkait dengan kebaikan. Jadi, gunakanlah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Baik menurut situasi pemakaian dan benar menurut kaidah bahasa. Artinya, pemakaian ragam bahasa harus serasi dengan sasarannya dan di samping itu mengikuti kaidah bahasa yang benar. Ungkapan anjuran di atas mengacu pada ragam bahasa yang sekaligus memenuhi syarat baik dan benar.
1.6 Perencanaan Bahasa
Perencanaan bahasa adalah perubahan bahasa yang disengaja, yaitu perubahan dalam sistem-sistem kode bahasa atau ujaran atau kedua-duanya yang direncanakan oleh organisasi-organisasi yang didirikan untuk tujuan itu atau diberi mandat untuk memenuhi tujuan-tujuan itu.
Perencanaan bahasa mengacu pada seperangkat kegiatan yang disengaja dirancang secara sistematik untuk mengorganisasi dan mengembangkan sumber-sumber bahasa dalam waktu yang direncanakan tujuan perencanaan bahasa terbatas pada saran anjungan atau rekomendasi yang aktif untuk mengatasi masalah pemakaian bahasa dengan cara yang paling baik.
Tugas perencanaan bahasa ialah mencari norma yang ideal yang didasarkan atas prisip kejelasan, kehematan, dan keindahan. Bahasa itu lebih dari alat saja bahasa antara lain juga merupakan ekspresi kepribadian dan lambing identitas yang tidak tertakluk secara mutlak pada hukum logika dan matematika.
Masalah bahasa memperhatikan (1) tata hubungan antara kode bahasa dan ujaran, (2) tata hubungan antara kode bahasa dan pola perilaku kemasyarakatan yang lain dan (3) hubungan antara komunikasi verbal dan yang bukan verbal.
Dua dimensi di dalam perencanaan bahasa yaitu (1) perencanaan status bahasa, menyangkut penentuan kedudukan suatu bahasa dan tata hubungannya dengan bahasa lain (2) perencanaan korpus bahasa antara lain meliputi ejaan dan pembentukan istilah.
Perencanaan bahasa merupakan kegiatan dasar bagi usaha pengembangan bahasa dan pembinaan bahasa. Ikthisar tentang beberapa tafsiran teori perencanaan bahasa dewasa ini dan masalah kebahasaan yang menjadi sasarannya, seperti kedudukan bahasa nasional pembakuan bahasa dan ketak paduan di dalam pemakaian bahasa merupakan sistem integral perencanaan bahasa merupakan usaha untuk membimbing perkembangan bahasa ke arah yang diinginkan oleh para perencana. Perencana itu tidak semata-mata meramalkan masa depan berdasarkan apa yang diketahui masa lampau mempengaruhi masa depan itu perencanaan bahasa merupakan pengembangan bahasa yang teratur di dalam konteks perubahan sosial, budaya, dan teknologi yang lebih luas berdasarkan perencanaan yang cermat meliputi (1) pembakuan, (2) pemodrenan, dan (3) alat perlengkapan seperti buku pelajaran dan buku bacaan.
Perencanaan bahasa disebut juga ”language planning”. Orang lain menyebutnya “language engineering”, “management of language” atau “manipulation of language” semua istilah itu dimaksudkan untuk memberi pengertian tentang segala usaha dan tindakan yang dilakukan orang agar komunikasi di dalam suatu negara dapat berlangsung secara lancar dengan bahasa sebagai alat utamanya.
Untuk mencapai tujuan itu maka bahasa harus diusahakan dapat merupakan alat yang efektif, efisien, dan luwes tanpa meninggalkan keteraturan dan ketertiban di dalam pemakaiannya. Jadi, di dalam perencanaan bahasa diusahakan tidak saja harus mudah dimengerti tetapi harus pula tertib di sini tampak adanya sifat kelonggaran di samping keterbatasan, dan keterbatasan disamping kelonggaran.
Dengan kata lain perencanaan bahasa dimaksudkan untuk mengelola bahasa sedemikian rupa sehingga dapat diperoleh efek komunikatif sebesar-besarnya dengan tujuan agar supaya hubungan antarpenuturnya dapat berlangsung secara lancar dan tertib.
Ketentuan-ketentuan seperti itu dianggap perlu sebab dalam perkembangannya bahasa kadang-kadang menunjukkan adanya kelonggaran yang tidak terarah jika gejala-gejala seperti itu tidak segera ditangani secara terencana tidak mustahil keadaannya akan menjadi lebih parah, sehinggas menjurus kepada ketidakteraturan, kesimpangsiuran, dan keanarkian.
Sebaliknya penormaan yang begitu ketat terhadap kehidupan bahasa biasanya membuat bahasa itu menjadi kerdil tertutup kaku dan tidak luwes apa yang sering kita dengar dengan ucapan pokoknya dapat dimengerti atau yang penting adalah isinya dan sebagiannya merupakan gejala yang mencerminkan peristiwa pertama; sedangkan apa yang disebut “bahasanya terlalu indah “ atau “ bahasanya terlalu baik “ merupakan pencerminan dari gejala kedua. Baik peristiwa yang pertama maupun yang kedua, semuanya menunjukkan gejala-gejala yang tidak wajar, gejala-gejala yang menunjukkan tidak adanya perencanaan bahasa.
Dengan adanya perencanaan bahasa perisdtiwa–peristiwa semacan itu dapat segera ditangani, sebab dalam “language planning “ termasuk juga pengevaluasian terhadap pemakaian bahasa. Apabila pada suatu saat pemakaian bahasa dinilai tidak wajar, maka perencanaan bahasa itu dapat segera dapat memberikan saran-sarannya untuk sedapat mungkin mengarahkannya. Di sini letak aspek inovatif darti suatu perencanaan bahasa, suatu aspek dengan unsur memajukan dan membangun bahasa tampak menonjol.
Apa yang diuraikan di atas adalah perencanaan bahasa yang sifatnya membina dan mengarahkan perkembangan bahasa, suatu perencanaan yang ditujukan kepada pemeliharaan bahasa atau “language treatment”. Di samping itu perencanaan bahasa memiliki pula peranan yang sifatnya menentukan atau memilih bahasa.
Peranan demikian terjadi apabila suatu negara pada suatu saat harus menentukan atau memilih bahasa nasionalnya, bahasa resminya atau bahasa pengantar pendidikannya. Pada hakikatnya setiap negara menghendaki adanya satu bahasa yang dapat sebagai alat komunikasi bagi seluruh warganya, baik dalam rangka pembinaan kebangsaannya, dalam administrasi pemerintahannya maupun dalam bidang pendidikannya.
Dengan adanya satu bahasa untuk seluruh negara hubungan antara pemerintah dan yang diperintah, antara instansi-instansi yang ada dalam Negara itu serta antara pendidik dan anak didiknya akan berlangsung dengan lancar dan tidak mengalami kesulitan. Tetapi kehendak semacam itu rupa-rupanya tidak selamanya dapat dicapai dengan mudah meskipun usaha ke arah itu pada umumnya telah ada pada setiap negara.
Perencanaan bahasa yang sifatnya menentukan pemilihan semacam itu hampir-hampir tidak terasa bagi negara kita, padahal di negara-negara lain merupakan masalah yang gawat, genting dan seringkali berbahaya. Kemudahan itu diperoleh berkat peristiwa sejarah penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa resmi dan kemudian berkembang sebagai bahasa pengantar pendidikan seolah-olah telah selesai dengan sendirinya sejak diikrarkan pada sumpah pemuda pada tahun 1928 berkat peristiwa itu maka ketika Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia itu harus mencantumkan ketetapan tersebut di dalam undang-undang dasar 1945 boleh dikatakan hampir tidak ada masalah yang harus dipersoalkan lagi denagn demikian maka kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi Negara benar-benar mempunyai kekuatan sejarah dan kekuatan hukum yang sangat tangguh.
Dengan landasan hukum dasar itulah maka kemudian timbul undang-undang nomor 5 tahun 1950 dan undang nomor 12 tahun 1954 yang menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pendidikan sejak sekolah dasar sampai perguruan tinggi dan berlaku untuk seluruh Indonesia dan juga pada saat ini kita sibuk membina dan mengembangkan bahasa Indonesia tidak lain hanyalah menjalankan sesuatu yang telah diamanatkan oleh sumber hukum yang tertinggi bagi Negara kita itu.
Tetapi apa yang terjadi di negara kita rupanya tidak dialami oleh tetangga-tetangga kita, terutama India, Filipina dan Malaysia. Di negara-negara tersebut tidak terjadi peristiwa historis yang merintis jalan ke arah pemilihan bahasa nasionalnya, sehingga perencanaan bahasa yang berhubungan dengan hal itu tidak selancar di negara kita.
Sejak memperoleh kemerdekaannya dari Inggris pada tahun 1947 India telah berusaha menetukan bahasa nasionalnya untuk menggantikan bahasa Inggris yang dirasakan tidak cocok lagi sebagai negara yang telah merdeka. Atas pertimbangan yang dianggapnya telah bijaksana, pemerintah India menetapkan bahasa Urdu atau bahasa Hindi sebagai calon bahasa nasionalnya yang akan segera diajukan ke parlemen. Tetapi tindakan itu rupa-rupanya tidak disetujui sebagian rakyatnya sehinga timbul huru-hara. Masing-masing daerah menuntut supaya bahasa daerahnya dijadikan sebagai bahasa nasional.
Dengan adanya reaksi semacam itu terpaksa pemerintah India menangguhkan penetapannya. Dan sampai saat ini kita saksikan bahwa negara itu tetap tidak memilik bahasa nasional sendiri dan bahasa Inggris tetap menguasai lapangan kebahasaan negara itu. Keadaan semacam itu dialami juga oleh Filipina, meskipun tak sehebat dan setajam di India.
Di Filipina setidak-tidaknya terdapat dua bahasa yang menguasai komunikasi secara luas yaitu: bahasa spanyol sebagai warisan penjajahan lama, dan bahasa Inggris sebagai akibat didudukinya oleh Amerika Serikat. Setelah Filipina merdeka tidak luput negara itu harus menetukan bahasa nasionalnya sebagai alat komunikasi untuk seluruh negara dan merupakan salah satu lambang identitas bangsanya. Namun penetuan bahasa Tagalog, salah satu bahasa daerah di pulau Luzon yang dianggap paling memenuhi syarat, ternyata belum berhasil. Jika pada saat ini dikatakan bahwa bangsa Filipina telah memilik bahasa nasional, keadaannya tidak lebih dari bersifat yuridis daripada praktis.
Sebab di dalam undang-undangnya memang berbunyi demikian, tetapi dalam prakteknya sehari-hari orang lebih suka berbahasa inggris (atau mungkin bahasa Spanyol) untuk keperluan–keperluan resmi, dan bahasa daerahnya untuk kepentingan yang bersifat pribadi dan kekeluargaan. Hal seperti itu akan kita jumpai pula di Malaysia terhadap pemakaian bahasa Melayu yang telah tegas-tegas dinyatakan sebagai bahasa nasional di negara itu. Di sana dapat kita rasakan batapa kuatnya peranan bahasa Inggris dan bahasa Cina ( dan mungkin Tamil) dalam komunikasi umum sehari-hari.
Dari uraian singkat dan beberapa contoh di atas dapat kita rasakan betapa pentingnya dan gawatnya penentuan bahasa nasional itu bagi suatu bangsa dan betapa pentingnya pula perencanaan bahasa bagi suatu negara. dengan adanya perencanaan bahasa setidak-tidaknya akan dapat dikurangi kemungkinan pertentangan bahasa, sebab pemilihan bahasa telah diperhitungkan dari segala segi yang mungkin dapat menimbulkan ketegangan. Jika diperkirakan akan timbul peristiwa semacam itu perencanaan bahasa dapat segera bertindak dan mengajukan saran-sarannya, sehingga peristiwa dapat dibatasi sampai sekecil-kecilnya.
Dari peristiwa-peristiwa di atas dapat juga diambil beberapa pelajaran dan peringatan. Pertama: dalam perkembangannya, bahasa memerlukan pengarahan dan pembinaan sebab kita memerlukan bahasa yang tertib dan teratur yang mempunyai daya komunikatif yang setinggi-tingginya. Kedua: masalah pemilihan bahasa (nasional) biasanya merupakan masalah yang besar dan gawat, sehingga dalam menentukannya diperlukan kebijaksanaan yang sebaik-baiknya. Ketiga: untuk mengelola masalah pengarahan perkembangan bahasa dan menentukan pemilihan bahasa diperlukan perencanaan bahasa, sebab dengan adanya perencanaan semacam itu segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah kebahasaan dapat ditampung dan di tangan sebagaimana mestinya.
Keempat: perencanaan bahasa meliputi aspek dalam bidang kebahasaan antara lain dalam hal: pemilihan bahasa, pembinaan dan pengembangan bahasa, menentukan fungsi dan kedudukan bahasa, pembakuan bahasa dan lain-lain hal yang berhubungan dengan masalah kebahasaan.
Bahasa Indonesia sering dijadikan sebagai contoh keberhasilan di dalam perencanaan bahasa, khususnya di dalam fungsinya sebagai bahasa kebangsaan. Tidak dapat diingkari bahwa kedudukannya di dalam sejarah bahasa, sosial dan politik Indonesia sangat penting. Iktisar tentang beberapa tafsiran teori perencanaan bahasa dewasa ini dan masalah kebahasaan yang menjadi sasarannya, seperti kedudukan bahasa nasional, pembakuan bahasa, dan ketakpaduan di dalam pemakaian bahasa, merupakan kegiatan dasar bagi usaha pengembangan bahasa dan pembinaan bahasa.
Perencanaan bahasa merupakan usaha untuk membimbing perkembangan bahasa ke arah yang diinginkan oleh perencanaan. Perencanaan itu semata-mata meramalkan masa depan ke arah yang berdasarkan apa yang diketahui di masa lampau, tetapi perencanaan tersebut merupakan usaha yang terarah untuk mempengaruhi masa depan itu. Tujuan perencanaan bahasa terbatas pada saran atau anjungan atau rekomendasi yang aktif untuk mengatasi masalah pemakaian bahasa dengan cara yang baik. Tugas perencana bahasa yaitu mencari norma yang ideal yang didasarkan pada prinsip kejelasan, kehematan, dan keindahan. Bahasa itu lebih dari alat saja, bahasa antara lain juga merupakan ekspresi kepribadian dan lambang identitas yang tidak tunduk secara mutlak pada hukum logika dan matematika.
Bahasa dan Kebudayaan
Dalam teori dan pratek ilmu linguistik, bahasa sebagai objek penelitian dianggap sebagai sistem yang otonom, yang berdiri sendiri dengan ciri dan aturannya yang tersendiri. Perlakuan bahasa seperti ini menghasilkan suatu gambaran bahwa bahasa itu memang terwujud sebagai sesuatu dengan kehidupan sendiri yang tunduk kepada hukum-hukum sendiri. Gambaran ini diperkuat lebih lanjut oleh kenyataan bahwa bahasa dapat dikonkretkan dalam bentuk tulisan di atas kertas sehingga berada di luar penuturnya atau di luar kerangka interaksi sosial.
Oleh karena, itu ilmu yang mempelajari bahasa memperoleh kemungkinan untuk berkembang ke arah yang berlainan dengan ilmu-ilmu yang mempelajari yang bukan segi-segi bukan bahasa. Namun, anggapan bahwa bahasa itu adalah fenomena kebudayaan juga tidak pernah diingkari orang, tetapi dipertahankan sebagai sesuatu kebenaran.
Oleh karena antara bahasa dengan kebudayaan pada satu pihak dianggap semacam oposisi dan pada pihak yang lain bahasa itu adalah suatu peristiwa kebudayaan pula, timbulah beberapa beberapa persoalan yang bagaimana seharusnya harus digambarkan pertalian antara bahasa dan kebudayaan. Keragu-raguan akan bentuk dan sifat pertalian itu tercermin pada ungkapan-ungkapan dan masyarakat, “bahasa sebagai aspek kebudayaan”, ”bahasa dan aspek-aspek lain dari kebudayaan”, “bahasa sebagai pendukung kebudayaan”, atau sebaliknya.
Teori-teori yang telah dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana sebenarnya bentuk dan sifat pertalian antara bahasa dan kebudayaan itu dapatlah digolongkan menjadi
1. teori yang berpangkal tolak pada bahasa
a. struktural yang ditemukan dalam bahasa dianggap berlaku pula bagi aspek kebudayaan lainnya (Pike, 1960) dan
b. bahasa dianggap sebagai penentu utama pertaliannya dengan kebudayaan.
2. teori yang bertolak pada kebudayaan
Dalam hubungan ini, pertalian dilihat sebagai konfigurasi faktor-faktor sosial budaya yang memberikan corak terhadap kedudukan, peranan, dan penggunaan bahasa. Jikalau kita hendak memperoleh pengertian tentang bahasa menurut kerangka dua jenis teori tertera di atas gambarannya ialah bahwa pada satu pihak bahasa diartikan sebagai satu sistem yang meletakkan hubungan tetap dengan hal-hal di luar bahasa dengan alam pikiran dan alam perasaan manusia dan dengan benda, pertalian dan kejadian di luar diri manusia. Hubungan semacam ini digambarkan sebagai bersikap statis dan tetap pada pihak lain, bahasa itu diartikan sebagai suatu sistem yang melibatkan diri dengan di dalam dinamika interaksi sosial.
Hakikat dan Aspek-Aspek Bahasa
Selain konsep manusaia dan konsep ilmu, perlu kita ketahui tentang konsep hakikat bahasa. Konsep-konsep ini berkisar antara konsep bahasa sebagai rangkaian bunyi sehingga konsep bahasa sebagai segala sesuatu yang dapat dibicarakan, termasuk alat yang digunakan untuk membicarakan itu semua. Teori bahasa bisa didasarkan kepada asumsi bahwa bahasa pada hakikatnya ialah: (1) substansi, (2) bentuk, (3) Substansi dan bentuk. Bahasa sebagai substansi bisa dianggap sebagai susunan bentuk dan dapat dilihat dan didengar, dirasakan dan dipikirkan.
Teori-teori bahasa yang modern tidak lagi menganggap kata-kata sebagai benda; bahkan orang menganggap kata dan benda sebagai identik, isi substansi atau hakikat. Teori-teori bahasa yang mengutamakan penelitian materi secara khusus tentang apa yang dapat dilihat atau didengar, yaitu dengan substansi yang digunakan untuk mengunggapkan bahasa. Teori-teori bahasa pada awal pertengan abad ke-20 menganggap bahasa bukan sebagai substansi tetapi sebagai bentuk. Bahasa tidak sama dengan pikiran dan benda tentang apa yang kita bicarakan, tidak juga sama dengan bunyi dan gerakan lidah yang kita gunakan untuk berbicara tentang bunyi-bunyi dan gerak-gerak tersebut. Bahasa bisa berupa penamaan pikiran dan benda (Isi dan bentuk) dan bisa juga berupa pengelompokan abstrak atau imaji bunyi dan bentuk (Ekspresi – bentuk), atau formalisasi kedua-duanya tentang apa yang kita bicarakan dan bagaimana kita berbicara tentang hal itu (isi dan pengungkapan).
Suatu teori bahasa dapat dilihat dari tiga sudut pandang yang berbeda yaitu :
1. dari bunyi dan bentuknya
2. cara kerjanya
3. perkembangannya
Bahasa sebagai bunyi dan bentuk dapat dianggap sebagai sesuatu yang tergantung atau tidak tergantung pada apa yang dipikirkan dan dilakukan manusia. Bahasa sebagai prilaku manusia terdiri dari unit-unit perilaku dianut oleh para antropoloq dan sosiolog dan beberapa linguis seperti Pike dan Zipf. Bahasa sebagai sesuatu yang independent dipandang sebagai struktur atau dipandang sebagai sistem komunikasi. Bahasa sebagai struktur antara lain berdasarkan teori Sausure yang menganggap bahasa sebagai sebuah struktur nilai-nilai yang hubungan sistematiknya dapat di amati. Bahasa sebagai alat komunikasi, walaupun komunikasi itu sendiri bukan bahasa, bahsa dapat disebut sebagai komunikasi. Bahasa sebagai komunikasi berarti transmisi pesan-pesan.
Bahasa sebagai aktivitas, menurut pandangan ini bahasa dianggap sebagai gerak pikiran atau aktivitas otak. Bahasa sebagai aktivitas pikiran berbentuk :
1. gerak mental, bahasa sebagai gerak mental didasarkan pada postulat bahwa operasi mental dalam penggunaan bahasa memerlukan waktu
2. stimulus-respon, bahasa sebagai stimulus respon menganggap bahasa sebagai respon verbal atas stimulus eksternal.
Pembakuan Bahasa Indonesia
Ide tentang standardisasi atau pembakuan bahasa itu adalah paralel dan merupakan salah satu segi dari jangkauan yang akan dicapai oleh perencanaan bahasa dan kebijaksanaan bahasa. Sedangkan tujuan akhir dari usaha itu ialah untuk memperoleh alat komunikasi yang sebaik-baiknya dan seefisien-efisiennya segala kegiatan hidup dan aktivitas sosial pemakainya. Untuk mendapatkan alat semacam itu dianggap perlu adanya kebakuan bahasa atau kestandaran bahasa.
Sebenarnya masalah kebakukan bahasa atau kestandaran bahasa sendiri merupakan hasil dari suatu proses, yang akan terjadi lewat dua macam cara, yaitu
1. kebakuan yang diperoleh karena proses alami atau natural
2. kebakuan yang merupakan akibat atau hasil dari suatu perencanaan (artifisial).
Kebakuan alami diperoleh secara alamiah, merupakan akibat dari suatu proses yang terjadi di dalam bahasa itu sendiri, tanpa pengerahan apapun yang sifatnya disengaja. Kebakuan demikian memang mungkin terjadi, sebab pada hakikatnya bahasa itu mempunyai kemampuan potensial untuk mengatur dirinya sendiri.
Aturan yang diperoleh dari potensi yang demikian itulah yang sebenarnya aturan yang hakiki dalam bahasa. Tetapi kapan dan bilamana suatu bahasa mencapai aturan dan sampai ke keadaan demikian itu tidak dapat diramalkan, tidak dapat dipastikan. Dalam hal ini pemakai dan pemilik bahasa hanya harus menunggu, harus menanti datangnya anugerah yang sungguh-sungguh berharga tetapi tidak berketentuan datangnya.
Apabila bahasa yang dipakai dan yang dimilikinya itu kebetulan bahasa yang sudah cukup dewasa dan secara historis menguntungkan, mungkin tiba saatnya keteraturan dan kebakuannya memang tidak terlampau lama. Tetapi manakala bahasa yang menjadi milik budayaanya yang dipakainya itu kebetulan bahasa yang masih muda usianya dan sejarah perkembangannya tidak begitu menguntungkan, maka tidak mustahil bahwa apa yang diharapkan itu sangat lambat datangnya atau tidak akan pernah sama sekali.
Atau lebih dari itu, bahasa tidak saja tidak menuju ke keteraturan, tetapi lebih mengarah kepada ke ketidakteraturan atau kekacauan. Apabila sampai terjadi demikian maka sesungguhnyalah apa yang disebut kebakuan alami itu benar-benar hanya merupakan sesuatu yang ada dalam ide saja, dan peristiwanya tidak pernah terjadi di dalam bahasa itu.
Bagi bahasa-bahasa tertentu sikap menanti dan membiarkan bahasa seperti itu mungkin memang dapat dimengerti, meskipun belum tentu dapat dibenarkan. Misalnya sikap orang Inggris dan Amerika terhadap bahasa Inggris, yang seakan-akan membiarkan bahasa itu membakukan dirinya sendiri, bukan berarti bahwa sikap orang terhadap bahasa lain harus pula demikian.
Berbagai faktor dan alasan rupa-rupanya mendasari dan mengharuskan mereka bersikap demikian terhadap bahasanya. Pertama pemakaian yang demikian luasnya mengenai bahasa Inggris hampir-hampir tidak memungkinkan orang memikirkan perencanaan dan penstandaran bahasa itu.
Jika pun ada seseorang yang mempunyai ide seperti itu, mungkin mereka akan tertumbuk kepada persoalan-persoalan teknis yang sangat kompleks dan sukar sekali dipecahkan. Seperti kita ketahui, pembakuan bahasa mempunyai akibat yang sangat luas dan menyangkut hampir segala segi kehidupan.
Jika yang distandarkan itu bahasa yang pemakainnya demikian luas seperti bahasa Inggris, maka akibat itu hampir-hampir tidak dapat dibayangkan besarnya. Tidak seorangpun, bahkan negarapun, yang berani menanggung akibat yang demikian itu. Tidak terkecuali negara maupun bangsa yang menjadi pemiliknya. Dengan demikian maka tidak ada sikap yang lebih baik dari pada membiarkan bahasa itu hidup dan berkembang secara alamiah tanpa perencanaan dan pengerahan. Jalan lain tidak ada. Kedua: Menganggap bahwa bahasa Inggris merupakan bahasa yang sudah cukup dewasa yang sanggup mengatur dirinya sendiri tanpa pengerahan. Karena aturan yang demikian itu pada hakikatnya harus ada dalam bahasa, maka orang bersikap memuliakan dan menunggu sampai bahasa itu membakukan dirinya sendiri.
Dengan pendirian seperti itu maka pemilik bahasa itu tidak merasa berkewajiban untuk membakukan bahasanya. Tetapi apa yang ada pada bahasa Inggris tidak menunjukkan gejala-gejala seperti itu. Banyak sekali unsur-unsur dan aspek bahasa Inggris yang masih perlu diarahkan, ditinjau dari kacamata keilmu bahasaan.
Terlalu banyak dan kurang pada tempatnya kiranya untuk menyebut satu persatu peristiwa-peristiwa tersebut pada kesempatan yang sangat terbatas ini oleh sebab itu hanya akan disimpulkan bahwa alasan yang kedua ini mungkin bukan alasan yang kuat dasar-dasarnya, sehingga tidak dapat dijadikan pegangan.
Kebakuan artifisial ialah kebakuan bahasa yang direncanakan, kebakuan sebagai hasil usaha manusia. Kebijaksanaan ini diambil karena adanya asumsi, bahwa betapapun orang yakin akan adanya aturan yang alami pada setiap bahasa, pada hal-hal tertentu dan peristiwa-peristiwa tertentu tidak jarang bahasa menunjukkan ketidak teraturannya.
Asumsi seperti itu lebih diperkuat lagi dengan adanya kenyataan seperti yang telah kita utarakan di depan bahwa dalam perkembagannnya seringkali bahasa menunjukkan gejala-gejala yang tidak wajar, tidak terarah dan kadang-kadang bahkan menjurus kekacauan. Apa yang terjadi di dalam bahasa Indonesia mungkin dapat dijadikan argumen tentang adanya gejala seperti itu.
Itulah salah satu sebab utamanya maka setelah berkonsultasi dan bertukar pikiran dengan berbagai pihak yang kompeten dalam persoalan ini, pemerintah Indonesia menganggap perlu adanya pembakuan yang direncanakan. Bahkan kemudian perencanaan diatur dalam suatu kebijaksanaan bahasa atau politik bahasa. Dengan demikian maka jelas bahwa kita tidak akan menunggu bahasa itu membakukan dirinya sendiri secara alami, sebab sikap demikian dianggap kurang bijaksana yang tidak sesuai dengan sifat-sifat dan peristiwa-peristiwa yang telah dan sedang di dalam bahasa Indonesia dewasa ini.
Baik kebakuan alami maupun kebakuan sebagai hasil perencanaan masing-masing mengandung kebaikan dan kelemahan. Kebaikan kebakuan alami terletak pada kealamiahannya. Dengan membiarkan bahasa membakukan dirinya sendiri berarti membiarkan bahasa itu berkembang sesuai dengan sifat hakikinya. Dengan demikian, jika pada suatu saat ia sampai pada tingkat standarnya, kestandarannya itu benar-benar akibat dari kedewasaannya.
Kebakuan yang diperoleh dengan cara seperti itu biasanya benar-benar menyakinkan, stabil dan tidak mudah berubah. Sedangkan kelemahannya adalah tidak adanya ketentuan dan kepastian sampai kapan kebakuan seperti itu dapat diperoleh. Berbagi suatu negara yang menghendaki segera adanya alat komunikasi yang sebaik-baiknya, tentu saja sikap menunggu demikian itu sungguh-sungguh dirasakan sebagai tindakan yang tidak bijaksana.
Apa yang diuraikan tentang perencanaan bahasa dan kebijaksanaan bahasa di depan, sebagian besar memberi gambaran tentang kebaikan-kebaikan adanya kebakuan bahasa akibat suatu perencanaan. Sedangkan kelemahannya antara lain ialah, kebakuan yang diperolah secara secara tidak wajar, setengah dipaksakan dan tidak dapat diterima. Akibat dari itu semua ialah tidak jarang kebakuan semacam itu hanya berhenti kepada aturan sampai kepada peraturan saja.
Sementara standardisasi dilancarakan dan disebarkan para pemakai dengan bebas mempergunakan bahasa menurut seleranya sendiri. Jika sampai terjadi demikian maka ini berarti apa yang distandarkan itu tidak ada artinya dan kebakuan bahasa tidak tercapai. Sebenarnyalah kebakuan bahasa itu dibakukan sebagian besar ada di tengah masyarakaat sedang usaha pembakuan bahasa hanyalah salah satu sarana untuk mengarahkan pemakaian bahasa itu supaya tertib dan teratur. Sehingga dapat diperoleh efek komunikatif yng setinggi-tingginya.
Masalah standardisasi bahasa ialah pemilihan acauan yang dianggap paling wajar dan paling baik dalam pemakaian bahasa, tetapi karena masalah keewajaran pemmakaian bahasa itu sendiri ditentukan oleh berbagai faktor (situasi, tempat, lawan bicara, status penuturnya dan masih banyak lagi), maka sebelum menentukan acuan yang dianggap sebagai bahasa baku terlebih dahulu harus dikenal berbagai variasi pemakaian bahasa sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Sebab tanpa mengetahui varasi-variasi pemakaian bahasa semacam itu sulit menentukan dasar bahasa, sangat sukar atau mungkin sama sekali tidak diperoleh ukuran tentang acuan yang standar. Berbagai variasi pemakaian bahasa semacam itu merupakan masalah tersendiri dalam bidang kebahasaan.
Adanya berbagai variasi dalam pemakaian bahasa berhubungan erat dengan dengan masalah fungsi bahasa sebagai alat komunikasi sosial. Dalam fungsinya yang demikian itu bahasa tidak menunjukkan adanya satu acuan yang dipergunakan untuk berkomunikasi segala fungsinya. Setiap acuan tentu cenderung untuk dipergunakan sesuai dengan faktor tertentu yang mempengaruhi, mungkin situasi tuturannya, tempat tuturannya berlangsung, lawan bicaranya, status sosialnya dan sebagainya.
Karena adanya acuan seperti itu, maka masalah poko standardisasi bahasa ialah acuan manakah yang harus dipilih diantara berbagai acuan yang ada di dalam berbagai variasi pemakaian sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhianya, yang akan ditetapkan sebagai acuan standar. Variasi-variasi lain diluar acuan itu dengn dianggap tidak standar atau nonstandar.
Dalam hubungan ini ada berbagai teori dan pandangan yang dianggap dapat dipakai sebagai dasar untuk menetapkan acuan manakah yang sebaiknya dapat dipilih sebagai acauan yang standar, yaitu:
1. dasar keresmian, dasar ini menganggap bahwa bahasa yang dipakai dalam komunikasi resmi merupakan acuan yang standard. Sedangkan yang dimaksud dengan komunikasi misalnya surat menyurat resmi, surat-surat dinas, pembicaraan-pembicaraan resmi, pengumuman-pengumuman resmi, berita-berita dalam radio dan televisi dan sebagainya.
2. dasar keilmiahan yaitu dasar ini menganggap bahwa manusia yang dipergunakan di dalam menguraikan sesuatu ilmu ilmiah adalah acuan yang standard. Termasuk dasar ini pula ialah laporan-laporan penelitian ilmiah dan segala wacana teknik yang sejenis dengan itu.
3. dasar kesusastraan yaitu dasar ini menganggap bahwa bahasa yang dipergunakan di dalam hasil-hasil karya sastra adalah acuan yang standar, termausk ini ialah bahasa-bahasa di dalam roman, novel, esai, kritik sastra, cerpen dan sebagainya terutama yang ditulis oleh penulis-penulis terkenal.
4. dasar ke gramatikalan yaitu dasar ini menganggap bahwa bahasa itu merupakan acuan yang standard dan apabila mengikuti kaidah-kaidah gramatika yang berlaku di dalam bahasa tersebut. termasuk di dalam hal ini ialah ketertiban di dalam bidang pengucapan, sistem bunyi, pemakaian bentuk-bentuk kata, kata kalimat dan sebagainya.
5. dasar keteladanan dasar ini menganggap bahwa bahasa yang dipergunakan oleh orang-orang terkemuka dan pemimpin-pemimpin yang berpengaruh merupakan acuan yang standard. Dasar ini diambil karena bahasa orang-orang seperti itu biasanya merupakan teladan yang akan diikuti secara meluas oleh masyarakat pemakai bahasa.
6. dasar keterpelajaran maksud dasar ini bahwa bahasa yang dipergunakan oleh orang-orang terpelajar (yang berpendidikan) dianggap sebagai acuan yang standard.
d. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia
Sumpah Pemuda 1928 yang berisi pengakuan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa nasional kita, merupakan langkah yang menentukan di dalam perumusan garis-garis kebijaksanaan mengenai bahasa nasional kita. Undang-undang Dasar 1945, Bab XV, Pasal 36, yang menyatakan bahwa ”Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”, memberikan dasar yang kuat dan resmi bagi pemakaian bahasa Indonesia bukan saja sebagai bahas perhubungan pada tingkat nasional tetapi juga sebagai bahasa resmi kenegaraan. Kongres bahasa Indonesia 1954 di Medan yang mengaku bahwa bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu, dan bahwa di dalam pertumbuhan dan perkembangannya itu bahasa Indonesia telah dipercaya oleh bahasa-bahasa lain, terutama bahasa-bahasa daerah yang terdapat di Indonesia merupakan langkah maju yang berdasarkan kenyataan.
Salah satu fungsi politik bahasa nasional adalah memberikan dasar dan pengarahan bagi perencanaan serta pengembangan bahasa nasional dan pada waktu yang sama memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan pokok yang berhubungan dengan
1. fungsi dan kedudukan bahasa nasional dibandingkan dengan bahasa-bahasa lain
2. penentuan ciri-ciri bahasa indonesia baku
3. tata cara pembakuan dan pengembangan bahasa nasional
4. pengembangan pengajaran bahasa nasional pada semua jenis dan tingkah lembaga pendidikan, mulai dari tingkat sekolah dasar sampai tingkat perguruan tinggi.
Politik bahasa nasional juga memberikan dasar dan pengarahan bagi masalah bahasa nasional di dalam hubungannya dengan
1. pendidikan dan pengajaran di dalam dan di luar lembaga-lembaga pendidikan
2. pelaksanaan administrasi pemerintahan
3. pengembangan ketenagaan baik di kalangan pemerintah maupun di kalangan swasta
4. pengembangan kesusastraan nasional
5. pengembangan kebudayaan nasional
6. peningkatan mutu dan jumlah bahan bacaan umum
7. peningkatan mutu pesuratkabaran dan siaran radio serta televisi
8. penulisan buku-buku ilmu pengetahuan, baik dalam bentuk karangan asli maupun dalam bentuk terjemahan.
Masalah fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia sudah banyak disebut-sebut. Selain ketentuan-ketentuan yang termuat di dalam dokumen-dokumen resmi seperti Sumpah Pemuda 1928, Undang-undang Dasar 1945 Bab XV Pasal 36 dan Keputusan Kongres Bahasa Indonesia 1954, kita dapati kenyataan bahwa masalah ini sudah dibahas dengan bermacam-macam cara dan gaya di dalam berbagai tulisan dalam bentuk kertas kerja, tesis, skripsi, pidato pengukuhan jabatan guru besar, dan karangan di dalam surat kabar serta majalah.
Pada dasarnya tulisan-tulisan itu menunjukkan adanya kesepakatan mengenai fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia itu. Pertama bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah lambang kebulatan semangat kebangsaan Indonesia, alat penyatuan berbagai macam masyarakat yang berbeda-beda latar belakang kebahasaan, kebudayaan, dan kesukuannya ke dalam satu masyarakat nasional Indonesia dan alat perhubungan antar suku, antar daerah serta budaya.
Kedua, di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia adalah bahasa resmi pemerintahan, bahasa pengantar di dalam dunia pendidikan, alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional, serta alat pengembangan kebudayaan. Penguasaan ini mencakup
1. kesanggupan memahami apa yang dikatakan atau dituliskan oleh orang lain di dalam bahasa Indonesia
2. kesanggupan memanfaatkan bahasa Indonesia untuk menyatakan perasaan, pikiran dan keinginan dan secara lisan maupun secara tertulis dengan tepat, sesuai dengan keadaan, bahan yang dikemukakan dan hubunga sosial budaya yang terlibat, dengan tidak mempergunakan unsur-unsur bahasa asing atau bahasa lain yang tidak benar-benar diperlukan.
Jalan yang dapat ditempuh untuk tujuan itu adalah pengajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa yang hidup disegala jenis dan tingkat lembaga-lembaga pendidikan, mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi. Supaya mencapai tujuannya dengan sebaik-baiknya, pengajaran bahasa Indonesia itu perlu dilanjutkan sampai dengan tingkat perguruan tinggi, dan tidak berhenti dalam akhir pendidikan tingkat menengah atas.
Salah satu masalah kebahasaan yang perumusan dan dasar penggarapannya perlu dicakup oleh kebijaksanaan nasional di dalam bidang kebahasaan adalah fungsi dan kedudukan bahasa nasional kita, bahasa Indonesia. Yang dimaksud dengan fungsi bahasa di dalam hubungannya ini adalah nilai pemakaian bahasa yang dirumuskan sebagai tugas pemakaian bahasa itu di dalam kedudukan yang diberikan kepadanya. Yang dimaksud dengan kedudukan bahasa adalah status relatif bahasa sebagai sistem lambang nilai budaya, yang dirumuskan atas dasar nilai sosial yang dihubungkan dengan bahasa yang bersangkutan.
Masalah fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia adalah salah satu diantara masalah kebahasaan yang kita hadapi. Yang merupakan satu bagian dari keseluruhan jaringan masalah kebahasaan kita. Oleh karena itu, kebijaksanaan bahasa nasional yang lengkap harus mencakup juga masalah fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia.
Di dalam memberikan dasar dan pengarahan untuk kepentingan pengembangan pengajaran bahasa Indonesia itu, politik bahasa nasional perlu memperhitungkan kenyataan bahwa
1. bahasa Indonesia diajarkan di seluruh Indonesia, kepada anak-anak didik yang berbeda-beda latar belakng sosial budaya serta bahasa ibunya
2. hanya sebagian kecil rakyat Indonesia yang memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa itu
3. perkembangan teknik dan sarana perhubungan adalah sedemikian rupa sehingga surat kabar, majalah, siaran radio dan televisi telah sanggup menjangkau hampir seluruh pelosok tanah air kita.
Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Negara
Di dalam hubungan dengan Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara istilah bahasa resmi sengaja tidak dipakai dalam makalah ini. Penghindaran istilah bahasa resmi itu disebabkan oleh kenyataan bahwa tidak semua bahasa resmi adalah bahasa negara. Bahasa daerah dapat juga menjadi bahasa resmi di dalam lingkungan sosial budayanya sendiri.
Upacara-upacara resmi kraton di Jawa Tengah, misalnya dilaksanakan dengan mempergunakan dengan bahasa Jawa tidak dengan memakai bahasa Indonesia. Demikian pula halnya dengan pemakaian bahasa Sunda di dalam upacara-upacara adat di Jawa Barat, dan pemakaian bahasa Minangkabau di dalam upacara-upacara adat di Sumatera Barat.
Malah bahasa Indonesia dapat dikatakan merupakan alat bahasa resmi selama masa penjajahan karena ia dipakai baik oleh Belanda maupun Jepang sebagai bahasa pemerintah di dalam menghadapi penduduk asli disamping bahasa Belanda selama masa-masa penjajahan Belanda dan Bahasa Jepang selama masa penjajahan Jepang.
Namun jelaslah bahwa bahasa Indonesia pada waktu itu tidak memiliki kedudukan sebagai bahasa Negara.
Salah satu fungsi bahasa Indonesia di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara adalah pemakaiannya sebagai bahasa resmi kenegaraan. Di dalam hubungan dengan fungsi ini bahasa Indonesia dipakai dalam segala upacara dan kegiatan kenegaraan baik secara lisan maupun dalam bentuk tulisan.
Dokumen-dokumen dan keputusan-keputusan serta surat-menyurat yang dikeluarkan oleh pemerintah dan badan-badan kenegaraan lainnya seperti DPR dan MPR ditulis dalam bahasa Indonesia. Pidato-pidato terutama pidato kenegaraan ditulis dan diucapkan di dalam bahasa Indonesia hanya dalam keadaan tertentu demi kepentingan komunikasi antarbangsa kadang-kadang pidato resmi dan diucapkan di dalam bahasa asing terutama bahasa Inggris.
Demikian pula halnya dengan pemakaian bahasa Indonesia oleh warga masyarakat kita di dalam hubungan dengan upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan dengan kata lain komunikasi timbal balik antara pemerintah dan masyarakat berlangsung dengan mempergunakan bahasa Indonesia.
Untuk melaksanakan fungsinya sebagai bahasa resmi kenegaraan dengan sebaik-baiknya, pemakaian bahasa Indonesia di dalam pelaksanaan administrasi pemerintahan perlu senantiasa dibina dan dikembangkan, penguasan bahasa Indonesia perlu dijadikan salah satu faktor yang menentukan di dalam pengembangan ketenagaraan seperti penerimaan karyawan baru, kenaikan pangkat baik sipil maupun militer, dan pemberian tugas-tugas khusus, baik di dalam maupun di luar negeri.
Di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara bahasa Indonesia berfungsi pula sebagai bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi di seluruh Indonesia kecuali di daerah-daerah bahasa seperti bahasa Aceh, Batak, Sunda, Jawa, Madura, Bali, dan Makassar. Daerah-daerah bahasa ini bahasa daerah yang bersangkutan dipakai sebagai bahasa pengantar sampai dengan tahun ketiga pendidikan dasar.
Masalah pemakaian bahasa Indonesia sebagai satu-satunya bahasa pengantar di segala jenis dan tingkat pendidikan di seluruh Indonesia tampaknya masih merupakan masalah yang meminta perhatian.
Fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di dalam dunia pendidikan berhubungan erat dengan fungsinya sebagai alat perhubungan pada tingkat nasional dan untuk kepentingan pelaksanaan pemerintahan.
Di dalam hubungan dengan fungsi ini, bahasa Indonesia dipakai bukan saja sebagai alat komunikasi timbal balik antara pemerintah dan masyarakat luas, dan bukan saja sebagai alat perhubungan antardaerah dan antar suku, tetapi juga sebagai alat perhubungan di dalam masyarakat yang sama latar sosial, budaya, dan bahasanya.
Dari ilmu sosiolinguistik kita ketahui bahwa pemilihan bahasa apa yang dipakai dalam keadaan tertentu di dalam masyarakat yang mengenal pemakaian dua buah bahasa atau lebih adalah salah satu pokok permasalahan yang diperkatakan. Jadi apabila pokok persoalan yang diperkatakan itu adalah masalah yang menyangkut tingkat nasional bukan tingkat daerah maka terdapatlah kecenderungan untuk mempergunakan bahasa nasional bukan bahasa daerah apalagi apabila diantara orang-orang yang bersangkutan terdapat jarak sosial yang cukup besar.
Akhirnya, di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai alat pengembangan kebudayaan nasional, ilmu pengetahuan dan teknologi. Di dalam hubungan ini bahasa Indonesia adalah satu-satunya alat yang memungkinkan kita membina serta mengembangkan kebudayaan nasional sedemikian rupa sehingga ia memiliki ciri-ciri dan identitasnya sendiri yang membedakannya dari kebudayan daerah. Pada waktu yang sama bahasa Indonesia kita pergunakan sebagai alat untuk menyatakan nilai-nilai sosial budaya nasional kita.
Di samping itu bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa pendukung ilmu pengeetahuan dan teknologi modern untuk kepentingan nasional kita. Penyebarluasan ilmu pengetahuan dan teknologi modern serta manfaat yang dapat diberikannya kepada perencanaan dan pelaksanaan kita baik melalui penulisan dan penerjemahan buku-buku teks serta penyajian-penyajian pelajaran di lembaga-lembaga pendidikan maupun melalui penulisan buku-buku untuk masyarakat umum dan melalui sarana-sarana lain di luar lembaga-lembaga pendidikan dilaksanakan dengan mempergunakan bahasa Indonesia.
Dengan demikian masyarakat bangsa kita tidak tergantung sepenuhnya kepada bahasa-bahasa asing di dalam usahanya untuk mengikuti perkembagan ilmu pengetahuan dan teknologi modern serta untuk ikut serta dalam usaha pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern itu sendiri.
Di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara bahasa indonesia mempunyai fungsi sebagai
1. bahasa resmi kenegaraan
2. bahasa pengantar di dalam dunia pendidikan
3. alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional serta kepentingan pemerintahan
4. alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi.
BAB II
TANDA BACA DAN HURUF
2.1 Penulisan Tanda Baca
Tanda Titik
A. Tanda titik dipakai pada akhir kalimat yang bukan pertanyaan atau seruan.
Misalnya:
(1) Ayahku tinggal di Aceh.
(2) Anak kecil itu menangis.
(3) Mereka sedang minum kopi.
(4) Adik bungsunya bekerja di Samarinda.
B. Tanda titik dipakai di belakang angka atau huruf pengkodean suatu judul bab dan subbab
Misalnya:
III. Departemen Dalam Negeri
A. Direktorat Jendral PMD
B. Direktorat Jendral Agraria
1. Subdit ...
2. Subdit ...
3. Subdit ...
4. Subdit ...
5. Subdit ...
Sistem Huruf Sistem Angka
I. Isi Karangan 1. Isi Karangan
A. Uraian Umum 1.1 Uraian Umum
B. Ilustrasi 1.2 Ilustrasi
1. Gambar 1.2.1 Gambar
2. Tabel 1.2.2 Tabel
3. Grafik 1.2.3 Grafik
Catatan:
Tanda titik tidak dipakai di belakang angka pada pengkodean sistem digit jika angka itu merupakan yang terakhir dalam deret angka sebelum judul bab atau subbab.
C. Tanda titik dipakai untuk memisahkan angka, jam, menit, dan detik yang menunjukan waktu dan jangka waktu.
Misalnya:
(1) pukul 12.10.20 (pukul 12 lewat 10 menit 20 detik)
(2) 12.10.20 (12 jam, 10 menit, dan 20 detik)
D. Tanda titik tidak dipakai untuk memisahkan bilangan ribuan atau kelipatannya yang tidak menunjukkan jumlah.
Misalnya:
(1) Ia lahir pada tahun 1956 di Bandung.
(2) Lihat halaman 2345 dan seterusnya.
(3) Nomor gironya 5645678.
E. Tanda titik dipakai di antara nama penulis, judul tulisan yang tidak berakhir dengan tanda tanya dan tanda seru, dan tempat terbit dalam daftar pustaka.
Misalnya:
Herlambang, Dorothea. 2000. Sosiolinguistik. Jakarta: Trikata
Tanda titik dipakai untuk memisahkan bilangan ribuan atau kelipatannya.
Misalnya:
(1) Calon mahasiswa yang mendaftar mencapai 20.590 orang.
(2) Koleksi buku di perpustakaanku sebanyak 2.799.
F. Tanda titik tidak dipakai pada akhir judul, misalnya judul buku, karangan lain, kepala ilustrasi, atau tabel.
Misalnya:
(1) Catur Untuk Semua Umur (tanpa titk)
(2) Gambar 1: Bentuk Surat Resmi Indonesia Baru (tanpa titik)
G. Tanda titik tidak dipakai di belakang
1. alamat pengirim atau tanggal surat
2. nama dan alamat penerima surat.
Misalnya:
(1) Jakarta, 11 Januari 2005 (tanpa titik)
(2) Jalan Arif Rahman Hakim No. 26 (tanpa titik)
(3) Palembang 12241 (tanpa titik)
(4) Sumatera Selatan (tanpa titik)
(5) Kantor Pengadilan Negeri (tanpa titik)
(6) Jalan Teratai II/ 61 (tanpa titik)
(7) Semarang 17350 (tanpa titik)
Tanda Koma (,)
A. Tanda koma dipaki di antara unsur-unsur dalam suatu perincian atau pembilangan.
Misalnya:
(1) Reny membeli permen, roti, dan air mineral.
(2) Surat biasa dan surat khusus memerlukan prangko.
(3) Menteri, pengusaha, dan tukang becak, perlu makan.
B. Tanda koma dipakai untuk memisahkan kalimat setara yang satu dari kalimat setara berikutnya yang didahului oleh kata seperti tetapi atau melainkan.
Misalnya:
(1) Saya ingin datang, tetapi hari hujan.
(2) Didik bukan anak saya, melainkan anak Pak Daud.
C. Tanda koma dipakai untuk memisahkan anak kalimat dari induk kalimat jika anak kalimat itu mendahului induk kalimatnya.
Misalnya:
Anak Kalimat Induk Kalimat
Kalau hujan tidak reda saya tidak akan pergi
Karena sakit, kakek tidak bisa hadir
Tanda koma tidak dipakai untuk memisahkan anak kalimat dari induk kalimat jika anak itu mengiringi induk kalimatnya.
Misalnya:
Induk Kalimat Anak Kalimat
Saya tidak akan pergi kalau hujan tidak reda.
Kakek tidak bisa hadir karena sakit.
D. Tanda koma harus dipakai di belakang kata atau ungkapan penghubung antarkalimat yang terdapat pada awal kalimat, seperti oleh karena itu, jadi, lagi pula, meskipun begitu, akan tetapi.
Misalnya:
(1) Meskipun begitu, kita harus tetap jaga-jaga.
(2) Jadi, masalahnya tidak semudah itu.
E. Tanda koma dipakai untuk memisahkan kata seperti o, ya, wah, aduh, kasihan dari kata yang lain yang terdapat di dalam kalimat.
Misalnya:
(1) O, begitu?
(2) Wah, bagus, ya?
(3) Aduh, sakitnya bukan main.
F. Tanda koma dipakai untuk memisahkan petikan langsung dari bagian lain dalam kalimat.
Misalnya:
(1) Kata ibu, ”Saya berbahagia sekali”.
(2) ”Saya berbahagia sekali,” kata ibu.
Tanda koma dipakai di antara (i) nama dan alamat, (ii) bagian-bagian alamat, (iii) tempat dan tanggal, dan (iv) nama tempat dan wilayah atau negeri yang ditulis berurutan.
Misalnya:
(1) Surat ini agar dikirim kepada Dekan Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jalan Raya Salemba 6, Jakarta Pusat.
(2) Sdr. Zulkifli Amsyah
Jalan Cempaka Wangi VII/11
Jakarta Utara 10640
(3) Jakarta, 11 November 2004
(4) Bangkok, Thailand
G. Tanda koma dipakai di antara bagian-bagian dalam catatan kaki.
Misalnya:
Lamuddin Finoza, Komposisi Bahasa Indonesia, (Jakarta: Diskusi Insan Mulia, 2001), hlm. 27.
H. Tanda koma dipakai di antara orang dan gelar akademik yang mengikutinya untuk membedakannya dari singkatan nama diri, keluarga, atau marga.
Misalnya:
(1) Yasser Samad, S.S.
(2) Zukri Karyadi, M.A.
I. Tanda koma dipakai untuk mengapit keterangan tambahan yang sifatnya tidak membatasi.
Misalnya:
(1) Guru saya, Pak Malik, pandai sekali.
(2) Di daerah Aceh masih banyak orang laki-laki makan sirih.
(3) Semua siswa, baik yang laki-laki maupun yang perempuan, mengikuti praktik komputer.
Contoh kalimat (3) dapat dibandingkan dengan kalimat (4) yang tidak menggunakan keterangan pembatas yang tidak diapit oleh tanda koma.
(4) Semua siswa yang berminat mengikuti lomba penulisan resensi segera mendaftarkan namanya kepada panitia.
J. Tanda koma dipakai untuk menghindari salah baca di belakang keterangan yang terdapat pada awal kalimat.
Misalnya:
(1) Dalam pembinaan dan pengembangan bahasa, kita memerlukan sikap yang bersunguh-sungguh.
(2) Atas pertolongan Dewi, Kartika mengucapkan terima kasih.
K. Tanda koma tidak dipakai untuk memisahkan petikan langsung dari bagian lain yang mengiringinya dalam kalimat jika petikan langsung itu berakhir dengan tanda tanya atau tanda seru.
Misalnya:
(1) ”Di mana pameran itu diadakan?” tanya Sinta.
(2) ”Baca dengan teliti!” ujar Bu Guru.
Tanda Titik Koma (;)
A. Tanda titik koma untuk memisahkan bagian-bagian kalimat yang sejenis dan setara.
Misalnya:
Hari makin siang; dagangannya belum juga terjual.
B. Tanda titik koma dipakai sebagai pengganti kata penghubung untuk memisahkan kalimat yang setara di dalam kalimat majemuk.
Misalnya:
Ayah mencuci mobil; ibu sibuk mengetik makalah; adik menghapal nama-nama menteri; saya sendiri asyik menonton siaran langsung pertandingan sepak bola.
C. Tanda titik koma dipakai untuk memisahkan unsur-unsur dalam kalimat kompleks yang tidak cukup dipisahkan dengan tanda koma demi memperjelas arti kalimat secara keseluruhan.
Misalnya:
Masalah kenakalan remaja bukanlah semata-mata menjadi tanggung jawab para orang tua, guru, polisi, atau pamong praja; sebab sebagian besar penduduk negeri ini terdiri atas anak-anak, remaja, dan pemuda di bawah umur 21 tahun.
2.1 Penulisan Huruf
Huruf kapital atau huruf besar
A. Huruf kapital atau huruf besar dipakai sebagai huruf pertama kata pada awal kalimat.
Misalnya:
(1) Kami menggunakan barang produksi dalam negeri.
(2) Siapa yang datang tadi malam?
(3) Ayo, angkat tanganmu tinggi-tinggi!
B. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama petikan langsung.
Misalnya:
(1) Adik bertanya, ”Kapan kita ke Taman Safari?”
(2) Bapak menasihatkan, ”Jaga dirimu baik-baik, Nak!”
C. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama ungkapan yang berhubungan dengan nama Tuhan dan nama kitab suci, termasuk ganti untuk Tuhan.
Misalnya:
(1) Allah, Yang Mahakuasa, Islam, Alkitab, Quran, Weda, Injil.
(2) Tuhan akan menunjukkan jalan yang benar kepada hambanya.
(3) Bimbinglah hamba-Mu, ya Tuhan, ke jalan yang Engkau beri rahmat.
D. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur nama gelar kehormatan, keturunan, dan keagamaan yang diikuti nama orang.
Misalnya:
Haji Agus Salim, Imam Syafii, Nabi Ibrahim, Raden Wijaya.
E. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur nama jabatan dan pangkat yang diikuti nama orang atau yang dipakai sebagai pengganti nama orang, nama instansi, atau nama tempat.
Misalnya:
Presiden Yudhoyono, Mentri Pertanian, Gubernur Bali
Profesor Supomo, Sekretaris Jendral Deplu
Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama jabatan dan pangkat yang tidak diikuti nama orang, nama instansi, atau nama tempat.
Misalnya:
(1) Siapakah gubernur yang baru dilantik itu?
(2) Kapten Amir telah naik pangkat menjadi mayor.
(3) Keponakan saya bercita-cita menjadi presiden.
F. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur-unsur nama orang.
Misalnya:
(1) Albar Maulana
(2) Kemal Hayati
(3) Muhammad Rahyan
Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama orang yang digunakan sebagai nama jenis atau satuan ukuran.
Misalnya:
(1) mesin diesel
(2) 10 watt
(3) ampere
(4) 5 volt
G. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama bangsa, suku bangsa-bangsa dan bahasa. Perlu diingat, posisi tengah kalimat, yang dituliskan dengan huruf kapital hanya huruf pertama nama bangsa, nama suku, dan nama bahasa; sedangkan huruf pertama kata bangsa, suku, dan bahasa ditulis dengan huruf kecil.
Penulisan yang salah:
Dalam hal ini Bangsa Indonesia yang ....
.... tempat bermukim Suku Melayu sejak ....
.... memakai Bahasa Spanyol sebagai ....
Penulisan yang benar:
Dalam hal ini bangsa Indonesia yang ....
.... tempat bermukim suku Melayu sejak ....
.... memakai bahasa Spanyol sebagai ....
Huruf kapital tidak dipakai sebagi huruf pertama nama bangsa, suku, dan bahasa yang dipakai sebagai bentuk dasar kata turunan.
Misalnya:
(1) keinggris-inggrisan
(2) menjawakan bahasa Indonesia
H. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama tahun, bulan, hari, hari raya, dan peristiwa sejarah.
Misalnya:
(1) tahun Saka
(2) bulan November
(3) hari Jumat
(4) hari Natal
(5) perang Diponegoro
Huruf kapital tidak dipakai sebagi huruf pertama peristiwa sejarah yang tidak dipakai sebagai nama.
Misalnya:
(1) Ir. Soekarno dan Drs. Moehammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
(2) Perlombaan persenjataan nuklir membawa risiko pecahnya perang dunia.
I. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama khas dalam geografi.
Misalnya:
Salah Benar
teluk Jakarta Teluk Jakarta
gunung Semeru Gunung Semeru
danau Toba Danau Toba
selat Sunda Selat Sunda
Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama istilah geografi yang tidak menjadi unsur nama diri.
Misalnya:
(1) Jangan membuang sampah ke sungai.
(2) Mereka mendaki gunung yang tinggi.
Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama geografi yang digunakan sebagai nama jenis.
Misalnya:
(1) garam inggris
(2) gula jawa
(3) soto madura
J. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua unsur nama negara, nama resmi badan/ lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, badan, serta nama dokumen resmi.
Misalnya:
(1) Departemen Pendidikan Nasional RI
(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat
(3) Undang-Undang Dasar 1945
Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama kata yang bukan nama resmi lembaga pemerintah, ketatanegaraan, badan, serta nama dokumen resmi.
Perhatikan penulisan berikut.
(1) Dia menjadi pegawai di salah satu departemen.
(2) Menurut undang-undang, perbuatan itu melanggar hukum.
K. Huruf kapital dipakai sebagai huruf kapital setiap unsur bentuk ulang sempurna yang terdapat pada nama badan/ lembaga.
Misalnya:
(1) Perserikatan Bangsa-Bangsa
(2) Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial
L. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua kata (termasuk semua unsur kata ulang sempurna) dalam penulisan nama buku, majalah, surat kabar, dan judul karangan, kecuali kata seperti di, ke, dari, dan, dalam, yang, untuK yang tidak terletak pada posisi awal.
Misalnya:
(1) Idrus menulis buku Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma.
(2) Bacalah majalah Bahasa dan Sastra.
(3) Dia agen surat kabar Suara Pembaharuan.
(4) Ia menulis makalah ”Fungsi Persuasif dalam Bahasa Iklan Media Elektronik”.
M. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama kata penunjuk hubungan kekerabatan seperti Bapak, Ibu, Saudara, Kakak, Adik, Paman, yang dipakai dalam penyapaan dan pengacuan.
Misalnya:
(1) ”Kapan Bapak berangkat?” tanya Nining kepada Ibu.
(2) Para ibu mengunjungi Ibu Febiola.
(3) Surat Saudara sudah saya terima.
Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama kata penunjuk hubungan kekerabatan yang dipakai dalam penyapaan.
Misalnya:
(1) Kita semua harus menghormati bapak dan ibu kita.
(2) Semua kakak dan adik saya sudah berkeluarga.
N. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur singkatan nama gelar, pangkat, dan sapaan.
Misalnya:
(1) Dr. : doktor
(2) M.M. : magister manajemen
(3) Jend. : jendral
(4) Sdr. : saudara
O. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama kata ganti Anda.
Misalnya:
(1) Apakah kegemaran Anda?
(2) Usulan Anda telah kami terima.
Huruf Miring
A. Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menuliskan nama buku, majalah, dan surat kabar yang dikutip dalam karangan.
Misalnya:
(1) majalah Horison
(2) tabloid Nova
(3) Surat kabar Kompas
B. Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menegaskan atau mengkhususkan huruf, bagian kata, atau kelompok kata.
Misalnya:
(1) Huruf pertama kata Allah ialah a.
(2) Dia bukan menipu, melainkan ditipu.
(3) Bab ini tidak membicarakan penulisan huruf kapital.
C. Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menuliskan kata ilmiah atau ungkapan asing, kecuali yang sudah disesuaikan ejaannya.
Misalnya:
(1) Nama ilmiah padi ialah oriza sativa.
(2) Politik devide et impera pernah merajalela di benua hitam itu.
Akan tetapi, perhatikan penulisan berikut.
(3) Negara itu telah mengalami beberapa kudeta (dari coup d’etat)
BAB II
KATA DAN PEMILIHAN KATA
3.1 Kata
Kata adalah satuan terkecil dari kalimat yang dapat berdiri sendiri dan mempunyai makna. Kata-kata yang terbentuk dari gabungan huruf atau morfem baru kita akui sebagai kata bila bentuk itu sudah mempunyai makna. Perhatikan kata-kata di bawah ini.
(1) mobil
(2) rumah
(3) sepeda
(4) ambil
(5) dingin
(6) kuliah
Keenam kata yang kita ambil secara acak itu kita akui sebagai kata karena setiap kata mempunyai makna. Kita pasti akan meragukan, bahkan memastikan bahwa adepes, libma, ninggib, haklab bukan kata dari bahasa Indonesia karena tidak mempunyai makna.
Dari segi bentuknya kata dapat dibedakan atas dua macam, yaitu (1) kata yang bermofem tunggal, dan (2) kata yang bermorfem banyak. Kata yang bermorfem tunggal disebut juga kata dasar atau kata yang tidak berimbuhan. Kata dasar pada umumnya berpotensi untuk dikembangkan menjadi kata turunan atau kata berimbuhan. Perhatikan perubahan kata dasar menjadi kata turunan dalam tabel di bawah ini.
Tabel 1
Perubahan Kata Dasar Menjadi Kata Turunan
yang Mengandung Berbagai Arti
Kata
Dasar Pelaku Proses Hal/
Tempat Perbuatan Hasil
asuh
baca
buat
cetak
edar
sapu
tulis
ukir pengasuh
pembaca
pembuat
pencetak
pengedar
penyapu
penulis
pengukir pengasuhan
pembacaan
pembuatan
pencetakan
pengedaran
penyapuan
penulisan
pengukiran
perbuatan
percetakan
peredaran
persapuan mengasuh
membaca
membuat
mencetak
mengedar
menyapu
menulis
mengukir Asuhan
bacaan
buatan
cetakan
edaran
sapuan
tulisan
ukiran
Dalam tabel (1) itu terlihat perubahan kata dasar menjadi kata turunan selain mengubah bentuk, juga mengubah makna. Selanjutnya, perubahan makna mengakibatkan perubahan jenis atau kelas kata.
3.2 Gabungan Kata
Dalam istilah bahasa Indonesia gabungan kata lazim juga disebut kata majemuk. Kata manjemuk adalah gabungan dua kata atau lebih yang membentuk arti baru, termasuk istilah khusus, unsur-unsurnya ditulis terpisah.
Contoh:
(1) rumah sakit
(2) rumah sakit umum
(3) kereta api
(4) duta besar
Gabungan kata, termasuk istilah khusus, yang mungkin menimbulkan kesalahan pengertian, dapat ditulis dengan tanda hubung untuk menegaskan pertalian di antara unsur yang bersangkutan.
Misalnya:
(1) alat pandang-dengar
(2) anak-istri saya
(3) buku sejarah-baru
(4) mesin-hitung tangan
(5) ibu-bapak kami
Perhatikan tabel (2) yang memberikan contoh beberapa gabungan kata berikut ditulis serangkai.
Tabel 2
Gabungan Kata yang Ditulis Serangkai
Contoh
1. acapkali
2. adakalanya
3. akhirulkalam
4. alhamdulillah
5. astagfirullah
6. bagaimana
7. barangkali
8. bilamana
9. bismillah
10. beasiswa
11. belasungkawa
12. bumiputra
13. daripada
14. darmabakti
15. darmasiswa
16. dukacita 17. halalbihalal
18. hulubalang
19. kacamata
20. kasatmata
21. kepada
22. keratabasa
23. kilometer
24. manakala
25. manasuka
26. mangkubumi
27. matahari
28. olahraga
29. padahal
30. paramasastra
31. peribahasa
32. puspawarna 33. radioaktif
34. sastramarga
35. saputangan
36. saripati
37. sebagaimana
38. sediakala
39. segitiga
40. sekalipun
41. silaturahmi
42. sukacita
43. sukarela
44. sukaria
45. syahbandar
46. titimangsa
Pasca- dan Antar-
Dibandingkan dengan bentuk terikat lain, pasca- dan antar- adalah yang paling sering dipakai. Sayangnya penulisan bentuk terikat ini masih sering kali salah. Bentuk terikat harus selalu ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya kecuali pada bentuk terikat maha- dan bentuk terikat yang diikuti oleh kata yang diawali dengan huruf kapital. Jika sebuah bentuk terikat diikuti oleh kata yang diawali dengan huruf kapital, maka di antara kedua unsur itu dituliskan tanda hubung (-).
Antartopik
Dengan garis-garis pembatas antartopik berita, pergantian font, dan permainan warna, kompas menjadi koran yang lebih mudah dinikmati secara visual oleh pembaca. Penulisan gabungan kata yang benar pada kata yang digarisbawahi tersebut yang benar adalah antartopik. Kata antar adalah bentuk terikat yang jika digabungkan dengan bentuk dasar maka penulisannya harus disatukan. Contoh bentuk terikat lain di antaranya: dwi-, tri-, catur-, maha-, swa-, pra-, tuna-, anti-, pasca-, non-, peri-, tata-, dan sebagainya.
Ada tiga aturan dalam penulisan bentuk terikat, yaitu
1. bentuk terikat yang digabungkan dengan bentuk dasar penulisannya harus serangkai dengan kata yang mengikutinya.
Contoh:
mahasiswa, swakarya, tunarungu, antarnegara, dwitunggal,
prasejarah
Catatan
Penulisan Maha Esa adalah pengecualian karena terkait dengan
dokumen Negara, namun dalam penulisan karya tulis ilmiah ditulis
Mahaesa.
2. jika bertemu dengan kata yang bukan kata dasar atau turunan (kata jadian atau kata berimbuhan) maka gabungan kata itu harus ditulis terpisah.
Contoh:
Maha Penyayang, pasca kemerdekaan, anti penindasan,
Nonkolesterol
3. jika bentuk terikat diikuti oleh kata yang huruf awalnya adalah huruf kapital, di antara kedua unsur itu dituliskan tanda hubung (-).
Misalnya: non-Indonesia, anti-Israel, pasca-Konferensi Asia Afrika.
Ciri Kata Majemuk
Kata majemuk memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
(1) Merupakan gabungan dua kata atau lebih
(2) Membentuk arti baru
(3) Susunannya tetap
(4) Strukturnya padu artinya tidak dapat disisipi kata yang serta dan.
Jenis Kata Majemuk
A. Endosentris yaitu kata majemuk yang mempunyai satu inti (D)
(1) D – M
Contoh:
• Kapal terbang
D M
• Kereta api
D M
(2) M – D
Contoh:
• Sepak bola
M D
• Beberapa contoh
M D
B. Eksosentris yaitu kata majemuk yang mempunyai dua inti (D)
Contoh:
• Hancur lebur
D D
• Sunyi sepi
D D
Penulisan Gabungan Kata Berimbuhan
1. Gabungan kata yang dilekati awalan dan akhiran sekaligus ditulis serangkai
Contoh:
(1) pertanggungjawaban
(2) memberitahukan
(3) ketidakadilan
(4) disatupadukan
(5) menyebarluaskan
2. Gabungan kata yang dilekati awalan atau akhiran saja ditulis terpisah
Contoh:
(1) bertanggung jawab
(2) memberi tahu
(3) garis bawahi
(4) tanda tangani
(5) sebar luaskan
Kata Ulang
Kata ulang adalah kata mengalami pengulangan. Bentuk ulang ditulis secara lengkap dengan menggunakan tanda hubung. Misalnya: anak-anak, buku-buku, kuda-kuda, mata-mata, hati-hati, undang-undang, biri-biri, kupu-kupu, kura-kura, laba-laba, sia-sia, gerak-gerik, huru-hara, lauk-pauk, mondar-mandir, ramah-tamah, sayur-mayur, centang-perenang, porak-poranda, tunggang-langgang, berjalan-jalan, dibesar-besarkan, menulis-nulis, terus-menerus, tukar-menukar, hulubalang-hulubalang, bumiputra-bumiputra.
Kata ulang ini sendiri terbagi atas lima jenis yaitu
1. kata ulang dwilingga
Kata ulang dwilingga adalah kata ulang utuh. Artinya kata ulang yang tidak mengalami perubahan dari bentuk awal/bentuk dasar. Misalnya buku-buku, orang-orang
2. kata ulang dwipurwa
Kata ulang dwipurwa adalah kata ulang yang berupa pengulangan suku awal, di mana setiap vokal pada suku awal berubah menjadi vokal /e/. Misalnya lelaki, tetamu, dedaunan.
3. kata ulang dwilingga salin swara
kata ulang dwilingga salin swara adalah kata ulang yang berupa pengulangan berubah/bervariasi bunyi. Misalnya gerak-gerik, ramah-tamah, sayur-mayur.
4. kata ulang berimbuhan
Kata ulang berimbuhan adalah kata ulang yang bentuk dasarnya mendapat imbuhan. Misalnya mobil-mobilan, kemalu-maluan, kehijau-hijauan.
5. kata ulang sebagian
Kata ulang sebagian adalah kata ulang yang bentuk dasarnya diulang sebagian. Misalnya tanam-tanaman, tolong-menolong, menarik-narik.
Kata Tugas
Kata tugas bukanlah nama satu jenis kata, melainkan kumpulan kata dan partikel. Kumpulan ini lebih tepat dinamakan rumpun kata tugas. Anggota rumpun kata tugas ada lima, yaitu:
(a) kata depan (preposisi)
(b) kata sambung (konjungsi)
(c) kata seru (interjeksi)
(d) kata sandang (artikel)
(e) partikel.
Kata tugas dipakai untuk berbagai tujuan. Peranannya ada yang sudah tergambar pada namanya. Berikut ini kelima anggota kata tugas itu diuraikan secara ringkas satu persatu.
A. Kata Depan di, ke, dari
Kata depan atau preposisi adalah kata tugas yang selalu berada di depan kata benda, kata sifat, atau kata kerja untuk membentuk gabungan kata depan. Kata depan di, ke, dan dari ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya kecuali di dalam gabungan kata yang sudah lazim dianggap sebagai satu kata seperti kepada dan daripada.
Misalnya:
(1) Kain itu terletak di dalam lemari.
(2) Bermalam sajalah di sini.
(3) Di mana Siti sekarang?
(4) Mereka ada di rumah.
(5) Ia ikut terjun ke tengah kancah perjuangan.
(6) Ke mana saja ia selama ini?
(7) Kita perlu berpikir sepuluh tahun ke depan.
(8) Mari kita berangkat ke pasar.
(9) Saya pergi ke sana-sini mencarinya.
(10) Ia datang dari Surabaya kemarin.
Catatan:
Kata-kata yang dicetak miring di bawah ini ditulis serangkai sebab di, ke dan dari yang melekat pada kata tersebut bukan merupakan kata depan, tetapi imbuhan kecuali dari pada kata daripada. Misalnya:
(1) Si Amin lebih tua daripada si Ahmad.
(2) Kami percaya sepenuhnya kepadanya.
(3) Kesampingkan saja persoalan yang tidak penting itu.
(4) Ia masuk, lalu keluar lagi.
(5) Surat perintah itu dikeluarkan di Jakarta pada tanggal 11 Maret 1966.
(6) Bawa kemari gambar itu.
(7) Kemarikan buku itu.
B. Kata Sambung (Konjungsi)
Kata sambung atau konjungsi adalah kata tugas yang berfungsi menghubungkan dua kata atau dua kalimat. Misalnya: dan, serta, baik, maupun, tetapi, sedangkan, bukannya, melainkan, atau, lalu, kemudian, oleh karena itu, dan sebagainya.
Contoh:
(1) Anda pasti berhasil kalau rajin belajar
(2) Rapat sudah dimulai ketika kami tiba
(3) Bersikaplah biasa agar mereka tidak curiga
(4) Pengetahuannya terbatas karena kurang membaca.
C. Kata Seru (Interjeksi)
Kata seru adalah kata tugas yang dipakai untuk mengungkapkan seruan hati seperti rasa kagum, sedih, heran, dan jijik. Kata seru dipakai di dalam kalimat seruan atau kalimat perintah (imperatif).
Contoh:
(1) Ayo, maju terus, pantang mundur!
(2) Aduh, gigiku sakit sekali!
(3) Ih, bau benar kamar mandi itu!
(4) Astaga, dia bukannya berjaga, malahan pergi!
(5) Wah, lagi dapat untung besar rupanya!
D. Kata Sandang (Artikel)
Kata sandang atau artikel adalah kata tugas yang membatasi makna jumlah orang atau benda. Ada tiga macam artikel, yaitu (1) artikel yang menyatakan makna tunggal; (2) artikel yang menyatakan makna jamak; (3) artikel yang menyatakan makna netral.
Contoh:
(1) artikel yang menyatakan makna tunggal:
sang guru, sang suami, sang juara, sang putri
(2) artikel yang menyatakan makna jamak:
para petani, para hakim, para pemimpin, para ilmuan
(3) artikel yang menyatakan makna netral:
si hitam manis, si dia, si cantik, si terhukum
E. Partikel
Sebenarnya partikel bermakna ‘unsur-unsur kecil dari suatu benda’. Beranalogi dengan makna tersebut, berarti unsur kecil dalam bahasa, kecuali yang jelas satuan bentuknya, disebut partikel. Dalam kaitannya dengan kata tugas, partikel yang dibicarakan di sini adalah partikel yang berperan membentuk kalimat tanya (interogatif), yaitu –kah dan tah ditambah –lah yang dipakai dalam kalimat perintah (imperatif) dan –pun yang dipakai dalam kalimat pernyataan (deklaratif) dan partikel –per yang berarti 'mulai', 'demi', dan 'tiap'.
(1) Partikel –kah, -tah, dan -lah ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya.
Misalnya:
(1) Apakah yang tersirat dalam surat itu?
(2) Siapakah gerangan dia?
(3) Apatah gunanya bersedih hati?
(4) Bacalah buku itu baik-baik.
(5) Jakarta adalah ibu kota Republik Indonesia.
(2) Partikel –pun ditulis terpisah dari kata yang mendahuluinya.
Misalnya:
(1) Apa pun yang dimakannya, ia tetap kurus.
(2) Hendak pulang pun sudah tak ada kendaraan.
(3) Jangan dua kali, satu kali pun engkau belum pernah datang ke rumahku.
(4) Jika ayah pergi, adik pun ingin pergi.
Catatan:
Kelompok yang lazim dianggap padu, misalnya adapun, andaipun, ataupun, bagaimanapun, biarpun, kalaupun, kendatipun, maupun, meskipun, sekalipun, sungguhpun, walaupun ditulis serangkai.
Misalnya:
(1) Adapun sebab-sebabnya belum diketahui.
(2) Bagaimanapun juga akan dicobanya menyelesaikan tugas itu.
(3) Baik para mahasiswa maupun mahasiswi ikut berdemonstrasi.
(4) Sekalipun belum memuaskan, hasil pekerjaannya dapat dijadikan pegangan.
(5) Walaupun miskin, ia selalu gembira.
(3) Partikel per yang berarti 'mulai', 'demi', dan 'tiap' ditulis terpisah dari bagian kalimat yang mendahului atau mengikutinya.
Misalnya:
(1) Pegawai negeri mendapat kenaikan gaji per 1 April.
(2) Mereka masuk ke dalam ruangan satu per satu.
(3) Harga kain itu Rp 2.000 per helai.
2. Makna Kata
A. Makna Leksikal
Makna leksikal atau makna denotasi adalah makna kata yang kurang lebih tetap, seperti tertera dalam kamus. Misalnya belah dapat mempunyai makna (1) celah, (2) pecah menjadi dua, (3) setengah, (4) sisi, (5) pihak; Sebelah dapat mempunyai makna (1) setengah, (2) arah, (3) di samping. Dari kata belah dapat dibentuk kata sebelah, bersebelah (-sebelah), sebelah-menyebelah, menyebelahkan, membelah, terbelah, belahan, pembelahan (pembelahan). Makna leksikal yang disebut juga makna lugas biasanya digunakan dalam surat-surat resmi, surat-surat dagang, laporan, dan tulisan ilmiah dengan tujuan agar makna menjadi pasti sehingga tidak terjadi salah tafsir.
B. Makna Gramatikal
Makna gramatikal atau makna konotasi adalah makna yang ditimbulkan oleh proses gramatikal yang ditentukan oleh urutan kata, intonasi, bentuk, serta kata tugas penentu kalimat. Makna gramatikal disebut juga makna struktural karena makna yang timbul akan bergantung pada struktur tertentu sesuai dengan konteks dan situasi di mana kata itu berada. Makna gramatikal suatu kata adalah makna yang sudah bergeser dari makna leksikal kata itu; misalnya kata hitam yang bermakna leksikal ‘warna gelap’, makna gramatikalnya dapat menjadi ‘penuh kegetiran’ dalam kalimat. “Setelah insaf, dia tidak mau membicarakan masa lalunya yang hitam.”. makna gramatikal kata hitam itu akan berbeda lagi dalam kalimat yang lain. Makna gramatikal biasanya digunakan sebagai pigura bahasa untuk memperoleh makna estetis. Perhatikan contoh di bawah ini:
(1) Lembah hitam (daerah/tempat mesum)
(2) Kuhitamkan negeri itu (kutinggalkan untuk selamanya).
Dalam kaitan dengan makna, ada beberapa istilah yang harus kita pahami diantaranya adalah:
Sinonim : Kata yang memiliki kesamaan dan kemiripan arti.
Contoh : bunga-kembang.
Antonim : Kata yang berlawanan artinya.
Contoh: pergi-datang.
Hiponim : Kata yang maknanya tercakup oleh kata turunannya.
Contoh: bunga-mawar.
Polisemi : Kata yang memiliki pergeseran makna yang masih berkaitan.
Contoh: kepala gudang dan kepala sekolah.
Analogi : Makna baru dengan proses yang sama pada istilah sebelumnya.
Contoh: Penipu dianalogikan dengan ular
Afiksasi
Afiksasi adalah proses pembentukan kata yang menggunakan afiks atau imbuhan.Dalam proses afiksasi ini, ada kalanya ketika sebuah afiks bergabung dengan sebuah kata (yang sudah jelas merupakan sebuah bunyi bahasa) akan menghasilkan sebuah bunyi yang baru. Kejadian ini kita sebut dengan istilah morfofonemis, yaitu perubahan bunyi bahasa akibat froses morfologi. Afiks itu sendiri terdiri atas 5 macam, yaitu prefiks, infiks, sufiks, konfiks, dan simulfiks.
(1) Prefiks (awalan)
Prefiks adalah afiks yang posisinya ada di awal sebuah kata. Atau kita kenal dengan istilah awalan.
Contoh prefiks (awalan):
ber- berkebun, bermain, bermimpi
se- serupa, senada, seiring
meN- melamar, menghapus, membaca, menyapu
di- ditulis, dilamar, dipantau
ter- terpaksa, terpadu, tersenyum
peN- pelatih, pembeli, pengamen, penyanyi
per- pertapa, perdebatan
(2) Infiks (sisipan)
Infiks adalah afiks yang posisinya ada di tengah-tengah kata. Atau kita kenal dengan istilah sisipan.
Contoh infiks (sisipan):
-el- geletar, geligi, gelantung
-em- gemuruh, gemetar
-er- gerigi
-in- kinerja, sinambung
(3) Sufiks (akhiran)
Sufiks adalah afiks yang posisinya ada di akhir kata atau kita kenal dengan istilah akhiran.
Contoh Sufiks (akhiran):
-an tulisan, tatapan, tantangan
-i temui, sukai, pandangi
-kan tumbuhkan, sampaikan, tamukan
(4) Konfiks (gabungan awalan dan akhiran)
Konfiks merupakan gabungan dua jenis afiks atau lebih (karena bisa tiga afiks, yaitu prefiks, infiks, dan sufiks sekaligus).
Contoh konfiks (gabungan awalan dan akhiran):
meN-kan menemukan, meratakan
meN-i memandangi, mengunjungi
peN-an pendidikan, pemandian
ke-an kehujanan, kemajuan
se-nya seandainya, sebaliknya
per-an peraturan, persimpangan
(5) Simulfiks
Simulfiks merupakan afiks yang terdapat dalam sebuah kata tapi afiks ini tidak membentuk suku kata karena posisinya luluh dengan kata yang diimbuhinya. Selain itu, simulfiks juga merupakan imbuhan yang tidak resmi. Contoh dari simulfiks adalah ngumpul yang merupakan gabungan dari ng + kumpul, dll.
Makna Idiomatis
Idiom berarti makna kata, kelompok kata, yang telah menjadi istilah khusus dan tidak dapat diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa lain.
Contoh:
(1) Keringatnya menganak sungai.
(2) Ia dianggap sebagai anak bawang.
Gaya Bahasa
1) Personifikasi : Benda yang di analogikan seperti manusia.
Contoh: Peluit menjerit memanggil penumpang
2) Eufimisme : Memperhalus suatu keadaan.
Contoh: Andi minta ijin ke belakang pada ibu guru.
3) Hiperbola : Melebih-lebihkan suatu keadaan
Contoh: Rasa sakitnya membuatku ingin mati saja.
4) Ironi : Menyindir suatu keadaan atau kondisi seseorang.
Contoh: Bagaimana mungkin mengerjakan soal semudah
itu saja tidak dapat?
5) Sarkasme : Menyatakan suatu keadaan dengan kasar tanpa basa
Basi
Contoh: Kamu ini sudah bodoh, miskin lagi!
Bentuk Baku dan Tidak Baku
BAB IV
KALIMAT EFEKTIF
Kalimat efektif adalah kalimat yang dengan tepat mampu menyampaikan gagasan dari seorang penulis/pembicara sehingga menimbulkan gagasan yang sama tepatnya di benak pembaca/pendengar. Dengan kata lain, kalimat efektif adalah kalimat yang dapat mencapai sasarannya dengan baik sebagai alat komunikasi. Untuk memahami keefektifan tersebut di atas, kalimat efektif harus memenuhi paling tidak enam syarat berikut, yaitu adanya (1) kesatuan gagasan, (2) kepaduan (koherensi), (3) kesejajaran atau kepararelan, (4) ketepatan, (5) kehematan, dan (6) kelogisan.
A. Kesatuan Gagasan
Yang dimaksud dengan kesatuan adalah terdapatnya satu ide pokok dalam sebuah kalimat. Dengan satu ide itu kalimat boleh panjang atau pendek. Menggabungkan lebih dari satu kesatuan, bahkan dapat mempertentangkan kesatuan yang satu dan yang lainnya asalkan ide atau gagasan kalimatnya tunggal. Penutur/penulis tidak boleh menggabungkan dua kesatuan yang tidak mempunyai hubungan sama sekali ke dalam sebuah kalimat.
Contoh:
(1) Pembangunanan gedung akademi keperawatan baru pihak yayasan dibantu oleh bank yang memberikan kredit.
(2) Pihak yayasan dibantu oleh bank yang memberikan kredit untuk membangun gedung akedemi keperawatan baru.
(3) Bagi yang tidak berkepentingan dilarang masuk.
(4) Yang tidak berkepentingan dilarang masuk.
Pada contoh kalimat (1) merupakan kalimat yang salah karena terdapat subjek ganda dalam kalimat tunggal di atas. Bandingkan dengan kalimat (2) yang memiliki subjek jelas berikut pengembangan. Sedangkan kalimat (3) juga merupakan contoh yang salah karena tidak memiliki unsur subjek. Bandingkan dengan kalimat (4) yang memiliki subjek. Adapun analisis fungsi kalimat (3) dan (4) sebagai berikut.
(3) Bagi yang tidak berkepentingan dilarang masuk.
K P
(4) Yang tidak berkepentingan dilarang masuk.
S P
B. Kepaduan (koherensi)
Kepaduan atau koherensi yaitu hubungan timbal balik yang tepat antarunsur pembentuk kalimat. Yang termasuk unsur pembentuk kalimat adalah kata, frasa, klausa, serta tanda baca yang membentuk S-P-O-Pel-Ket dalam kalimat. Koherensi atau kepaduan menyangkut pemakaian kata tugas yang tepat.
Contoh:
(1) Kami telah membicarakan tentang hal itu.
(2) Untuk supaya berhasil dalam ujiannya nanti, dia belajar mati-matian.
(3) Saya sudah selesaikan tugas itu.
Contoh kalimat (1), (2), dan (3) merupakan contoh kalimat yang salah. Letak kesalahannya ditandai dengan garis bawah. Bandingkan dengan kalimat (4), (5), dan (6) berikut ini.
(4) Kami telah membicarakan hal itu.
(5) Supaya berhasil dalam ujiannya nanti, dia belajar mati-matian.
(6) Sudah saya selesaikan tugas itu.
3. Kesejajaran atau kepararelan
Kesejajaran atau kepararelan adalah pemakaian bentuk gramatikal yang sama untuk bagian-bagian kalimat tertentu atau terdapatnya unsur-unsur yang sama derajatnya, sama pola atau susunan kata dan frasa yang dipakai dalam kalimat. Umpamanya dalam sebuah perincian, jika unsur pertama menggunakan verba, unsur kedua dan seterusnya juga harus verba. Jika unsur pertama berbentuk nomina, bentuk berikutnya juga harus nomina.
Contoh:
(1) Kami telah merencanakan membangun pabrik, membuka hutan, pelebaran jalan desa, dan pembuatan tali air.
(2) Demikianlah agar ibu maklum, dan atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
Contoh kalimat (1) dan (2) merupakan contoh kalimat yang salah. Letak kesalahannya ditandai dengan garis bawah. Bandingkan dengan kalimat (3), dan (4) berikut ini.
(3) Kami telah merencanakan membangun pabrik, membuka hutan, melebarkan jalan desa, dan membuat tali air.
(4) Demikianlah agar ibu maklum, dan atas perhatian ibu saya ucapkan terima kasih.
4. Ketepatan
Ketepatan adalah kesesuaian/kecocokan pemakaian unsur-unsur yang membangun suatu kalimat sehingga terbentuk pengertian bulat dan pasti. Di antara semua unsure yang berperan dalam pembentukan kalimat, harus diakui bahwa kata memegang peranan terpenting. Tanpa kata kalimat tidak akan ada. Tetapi, perlu diingat kadang-kadang kita harus memilih dengan akurat satu kata, satu frasa, satu idiom, satu tanda baca dari sekian pilihan demi terciptanya makna yang bulat dan pasti. Dalam praktek dilapangan, baik dalam wacana lisan maupun wacana tulis, masih banyak pemakai bahasa yang mengabaikan masalah ketepatan pemakaian unsur-unsur pembentuk kalimat. Akibatnya, kalimat yang dihasilkan pun tidak tinggi kualitasnya. Perhatikan contoh kasus di bawah ini.
(1) Karyawan teladan itu memang tekun bekerja dari pagi sehingga petang.
(2) …bukan saya yang tidak mau, namun dia yang tidak suka.
Contoh kalimat (1) dan (2) merupakan contoh kalimat yang salah. Letak kesalahannya ditandai dengan garis bawah. Bandingkan dengan kalimat (3), dan (4) berikut ini.
(3) Karyawan teladan itu memang tekun bekerja dari pagi sampai petang.
(4) …bukan saya yang tidak mau, melainkan dia yang tidak suka.
E. Kehematan (tidak pleonasme)
Kehematan yaitu hemat pemakaian kata atau kelompok kata. Hemat di sini berarti tidak memakai kata-kata mubazir; tidak mengulang subjek; tidak menjamakkan kata yang memang sudah berbentuk jamak. Dengan kata lain tidak mengalami gejala bahasa pleonasme (pemakaian kata yang tidak perlu). Dengan hemat kata diharapkan kalimat menjadi padat berisi.
Contoh:
Sejak dari kecil dia sakit-sakitan. (x)
Sejak kecil dia sakit-sakitan. (V)
Dari kecil dia sakit-sakitan. (V)
Hanya ini saja yang dapat saya berikan. (x)
Hanya ini yang dapat saya berikan. (V)
Ini saja yang dapat saya berikan. (V)
Para Ibu-ibu PKK mengadakan rapat. (x)
Para ibu PKK mengadakan rapat. (V)
Ibu-ibu PKK mengadakan rapat. (V)
F. Kelogisan
Kelogisan maksudnya penalaran atau alur berfikir harus masuk akal. Supaya efektif, kata-kata dalam sebuah kalimat tidak boleh menimbulkan makna ambigu (ganda) atau tidak boleh mengandung dua pengertian. Sebuah kalimat yang sudah benar strukturnya, sudah benar pula pemakaian tanda baca, kata atau frasanya, dapat menjadi salah jika maknanya lemah dari segi logika berbahasa.
Contoh:
Kambing senang bermain hujan. (padahal kambing tergolong binatang antiair).
Karena lama tinggal di asrama putri, anaknya semua perempuan. (apa hubungan tinggal di asrama putri dengan mempunyai anak perempuan).
Dengan mengucapkan syukur kepada Tuhan, maka selesailah acara resepsi pernikahan ini. (Jika kalimatnya seperti itu berarti “modal” untuk menyelesaikan acara resepsi cukuplah ucapan syukur kepada Tuhan).
Kepada Bapak Dekan, waktu dan tempat kami persilahkan. (waktu dan tempat tidak perlu dipersilahkan).
Bapak Dekan kami persilahkan. (V)
Hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-62. (x). (Seolah-olah ada 62 negara Republik Indonesia).
Hari kemerdekaan ke-62 Republik Indonesia. (V)
7. Beberapa Kasus Kalimat Tidak Efektif
Dalam kehidupan bermasyarakat kadang-kadang kita mendengar orang-orang disekitar kita berbicara satu sama lain memakai bahasa yang tidak efektif. Kalau pembicaraan itu berlangsung dalam situasi yang nonformal, tentu kualitas kalimat yang dipakai tidak bisa dipermasalahkan. Tetapi, sering terjadi orang menuturkan kalimat yang tidak efektif dalam situasi yang formal. Bagi orang terpelajar atau yang kesadaranberbahasanya cukup tinggi, mendengar bahasa yang kurang rapi, apalagi tidak rapi, terasa mengganggu. Hl yang sama juga terjadi dalam pemakaian bahasa tulis. Di berbagai tempat sering terbaca oleh kita bermacam-macam produk komunikasi tulis yang bahasanya dalam hal ini kalimatnya tidak efektif. Keadaan seperti itu jelas sangat menganggu kenyamanan berkomunikasi. Dari sekian banyak contoh yang ditemukan dalam masyarakat, berikut ini ditampilkan beberapa kalimat tidak efektif untuk mewakili contoh bahasa lisan dan bahasa tulis yang tidak rapi dalam pemakaian sehari-hari. Perhatikan contoh kalimat-kalimat yang dimaksud.
a) Ketidaklengkapan Unsur Kalimat
Seperti yang sudah dibicarakan sebelumnya bahwa kalimat efektif harus memiliki unsur-unsur yang lengkap dan eksplisit. Untuk itu, kalimat efektif sekurang-kurangnya harus mengandung unsur subjek dan predikat. Jika salah satu unsur atau kedua unsur itu tidak terdapat dalam kalimat, tentu saja kalimat ini tidak lengkap. Adakalanya suatu kalimat membutuhkan objek dan keterangan, tetapi karena kelalaian penulis, salah satu atau kedua unsur ini terlupakan. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut.
(1) Dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif.
(2) Masalah yang dibahas dalam penenelitian ini.
(3) Untuk membuat sebuah penelitian harus menguasai metodologi penelitian.
(4) Bahasa Indonesia yang berasal dari Melayu.
(5) Dalam rapat pengurus kemarin sudah memutuskan.
(6) Sehingga masalah itu dapat diatasi dengan baik.
Kalau kita perhatikan kalimat di atas terlihat bahwa kalimat (1) tidak memiliki subjek karena didahului oleh kata depan dalam; kalimat (2) dan (4) tidak memiliki predikat hanya memiliki subjek saja; kalimat (3) tidak memiliki subjek; kalimat (5) tidak memiliki subjek dan objek; kalimat (6) tidak memiliki subjek dan predikat karena hanya terdiri atas keterangan yang merupakan anak kalimat yang berfungsi sebagai keterangan. Agar kalimat-kalimat di atas menjadi lengkap, kita harus menghilangkan bagian-bagian yang berlebih dan menambah bagian-bagian yang kurang sebagaimana terlihat pada contoh berikut.
(1a) Penelitian ini menggunakan metode deskriptif.
(1b) Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif.
(2a) Masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah jenis dan makna konotasi teka-teki dalam bahasa Minangkabau.
(3a) Untuk membuat sebuah penelitian kita harus menguasai metodologi penelitian.
(4a) Bahasa Indonesia berasal dari Melayu.
(5a) Dalam rapat pengurus kemarin kita sudah memutuskan program baru.
(6a) Kita harus berusaha keras sehingga masalah itu dapat diatasi dengan baik.
b) Kalimat Dipengaruhi Bahasa Inggris
Dalam karangan ilmiah sering dijumpai pemakaian bentuk-bentuk di mana, dalam mana, di dalam mana, dari mana, dan yang mana sebagai penghubung. Menurut Ramlan (1994:35-37) penggunaan bentuk-bentuk tersebut kemungkinan besar dipengaruhi oleh bahasa asing, khususnya bahasa Inggris. Bentuk di mana sejajar dengan penggunaan where, dalam mana dan di dalam mana sejajar dengan pemakaian in which, dan yang mana sejajar dengan which. Dikatakan dipengaruhi oleh bahasa Inggris karena dalam bahasa Inggris bentuk-bentuk itu lazim digunakan sebagai penghubung sebagaimana terlihat pada contoh berikut.
(1) The house where he live very large.
(2) Karmila opened the album in which he had kept her new photogragraph.
(3) If I have no class, I stay at the small building from where the sound of gamelan can be heard smoothly
(4) The tourism sector which is the economical back bone of country must always be intensified.
Pemakaian bentuk-bentuk di mana, dalam mana, di dalam mana, dari mana, dan yang mana sering ditemui dalam tulisan seperti yang terlihat pada data berikut.
(1) Kantor di mana dia bekerja tidak jauh dari rumahnya.
(2) Kita akan teringat peristiwa 56 tahun yang lalu di mana waktu itu bangsa Indonesia telah berikrar.
(3) Rumah yang di depan mana terdapat kios kecil kemarin terbakar.
(4) Sektor pariwisata yang mana merupakan tulang punggung perekonomian negara harus senantiasa ditingkatkan.
(5) Mereka tinggal jauh dari kota dari mana lingkungannya masih asri.
Bentuk-bentuk di mana, di depan mana, dari mana, yang mana, dan dari mana dalam bahasa Indonesia dipakai untuk menandai kalimat tanya. Bentuk di mana dan dari mana dipakai untuk menyatakan ‘tempat’, yaitu ‘tempat berada’ dan ‘tempat asal’, sedangkan yang mana untuk menyatakan pilihan. Jadi, kalimat (1-5) di atas seharusnya diubah menjadi:
(1a) Kantor tempat dia bekerja tidak jauh dari rumahnya.
(2a) Kita akan teringat peristiwa 56 tahun yang lalu yang waktu itu bangsa Indonesia telah berikrar.
(3a) Rumah yang di depan kios kecil kemarin terbakar.
(4a) Sektor pariwisata yang merupakan tulang punggung perekonomian negara harus senantiasa ditingkatkan.
(5a) Mereka tinggal jauh dari kota yang lingkungannya masih asri.
c) Kalimat Mengandung Makna Ganda
Agar kalimat tidak menimbulkan tafsir ganda, kalimat itu harus dibuat selengkap mungkin atau memanfaatkan tanda baca tertentu. Untuk lebih jelasnya perhatikan data berikut.
(1) Dari keterangan masyarakat daerah itu belum pernah diteliti.
(2) Lukisan Basuki Abdullah sangat terkenal.
Pada kalimat (1) di atas terdapat dua kemungkinan hal yang belum pernah diteliti yaitu masyarakat di daerah itu atau daerahnya. Agar konsep yang diungkapkan kalimat itu jelas, tanda koma harus digunakan sesuai dengan konsep yang dimaksudkan. Kalimat (1) tersebut dapat ditulis sebagai berikut.
(1a) Dari keterangan (yang diperoleh), masyarakat daerah itu belum pernah diteliti.
(1b) Dari keterangan masyarakat, daerah itu belum pernah diteliti.
Pada kalimat (2) terdapat tiga kemungkinan ide yang dikemukakan, yaitu yang sangat terkenal adalah lukisan karya Basuki Abdullah atau lukisan diri Basuki Abdullah atau lukisan milik Basuki Abdullah seperti yang terlihat data data (2a), (2b), dan (2c) berikut.
(2a) Lukisan karya Basuki Abdullah sangat terkenal.
(2b) Lukisan diri Basuki Abdullah sangat terkenal.
(2c) Lukisan milik Basuki Abdullah sangat terkenal.
Pemakaian tanda hubung juga dapat digunakan untuk memperjelas ide-ide yang diungkapkan pada frase pemilikan. Untuk lebih jelasnya, perhatikan berikut.
(3) Ani baru saja membeli buku sejarah baru.
Kalimat (3) di atas mengandung ketaksaan yaitu yang baru itu buku sejarahnyakah atau sejarahnya yang baru. Untuk menghindari ketaksaan makna, digunakan tanda hubung agar konsep yang diungkapkan jelas sesuai dengan yang dimaksudkan. Kalimat (3a) yang baru adalah buku sejarahnya, sedangkan kalimat (3b) yang baru adalah sejarahnya.
(3a) Ani baru saja membeli buku-sejarah baru.
(3b) Ani baru saja membeli buku sejarah-baru.
d) Kalimat Bermakna Tidak Logis
Kalimat efektif harus dapat diterima oleh akal sehat atau bersifat logis. Kalimat (1) berikut tergolong kalimat yang tidak logis.
(1) Dengan mengucapkan syukur alhamdulillah selesailah makalah ini.
Kalau kita perhatikan secara sepintas kalimat (1) di atas tampaknya tidak salah. Akan tetapi, apabila diperhatikan lebih seksama ternyata tidak masuk akal. Seseorang untuk menyelesaikan sebuah makalah harus bekerja dulu dan tidak mungkin makalah itu akan dapat selesai hanya dengan membaca alhamdulillah. Jadi, supaya kalimat itu dapat diterima, kalimat itu dapat diubah menjadi:
(1a) Syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah Yang Mahakuasa karena dengan izin-Nya jualah makalah ini dapat diselesaikan.
f) Kalimat Mengandung Pleonasme
Kalimat pleonasme adalah kalimat yang tidak ekonomis atau mubazir karena ada terdapat kata-kata yang sebetulnya tidak perlu digunakan. Menurut Badudu (1983:29) timbulnya gejala pleonasme disebabkan oleh (1) dua kata atau lebih yang sama maknanya dipakai sekaligus dalam suatu ungkapan, (2) dalam suatu ungkapan yang terdiri atas dua patah kata, kata kedua sebenarnya tidak diperlukan lagi sebab maknanya sudah terkandung dalam kata yang pertama, dan (3) bentuk kata yang dipakai mengandung makna yang sama dengan kata kata lain yang dipakai bersama-sama dalam ungkapan itu. Contoh-contoh pemakaian bentuk mubazir dapat dilihat berikut ini.
(1) Firmarina meneliti tentang teka-teki bahasa Minangkabau.
(2) Banyak pemikiran-pemikiran yang dilontarkan dalam pertemuan tersebut.
(3) Pembangunan daripada waduk itu menjadi sisa-sia pada musim kemarau panjang ini.
(4) Air sumur yang digunakan penduduk tidak sehat untuk digunakan.
(5) Jika dapat ditemukan beberapa data lagi, maka gejala penyimpangan perilaku itu dapat disimpulkan.
Pada kalimat (1) kata tentang (preposisi lainnya) yang terletak antara predikat dan objek tidak boleh digunakan karena objek harus berada langsung di belakang predikat. Pada kalimat (2) kata pemikiran tidak perlu diulang karena bentuk jamak sudah dinyatakan dengan menggunakan kata banyak. Atau dengan kata lain, kata banyak dapat juga dihilangkan. Pada kalimat (3) kata daripada tidak perlu digunakan karena antara unsur-unsur frase pemilikan tidak diperlukan preposisi. Pada kalimat (4) terdapat pengulangan keterangan ‘yang digunakan’. Pengulangan ini tidak perlu. Pada kalimat (5) terdapat dua buah konjungsi yaitu jika dan maka. Dengan adanya dua konjungsi ini, tidak diketahui unsur mana sebagai induk kalimat dan unsur mana sebagai anak kalimat. Dengan demikian kedua unsur itu merupakan anak kalimat. Jadi, kalimat (6) tidak mempunyai induk kalimat. Kalau begitu, satu konjungsi harus dihilangkan supaya satu dari dua unsur itu menjadi induk kalimat. Jadi, kalimat-kalimat (1-5) dapat diubah menjadi kalimat efektif sebagaimana terlihat pada data berikut.
(1a) Firmarina meneliti teka-teki bahasa Minangkabau.
(2a) Banyak pemikiran-pemikiran baru dilontarkan dalam pertemuan tersebut.
(2b) Pemikiran-pemikiran baru dilontarkan dalam pertemuan tersebut.
(3a) Pembangunan waduk itu menjadi sisa-sia pada musim kemarau panjang ini.
(4a) Air sungai yang digunakan penduduk tidak sehat.
(5a) Jika dapat ditemukan beberapa data lagi, gejala penyimpangan perilaku itu dapat disimpulkan.
Berikut ini akan dicontohkan kalimat pleonasme yang terdiri atas dua kata atau lebih yang mempunyai makna yang hampir sama.
(6) Kita harus bekerja keras agar supaya tugas ini dapat berhasil.
Kalimat (6) akan efektif jika diubah menjadi:
(6a) Kita harus bekerja keras supaya tugas ini dapat berhasil.
(6b) Kita harus bekerja keras agar tugas ini dapat berhasil.
g) Kalimat dengan Struktur Rancu
Kalimat rancu adalah kalimat yang kacau susunannya. Menurut Badudu (1983:21) timbulnya kalimat rancu disebabkan oleh (1) pemakai bahasa tidak mengusai benar struktur bahasa Indonesia yang baku, yang baik dan benar, (2) Pemakai bahasa tidak memiliki cita rasa bahasa yang baik sehingga tidak dapat merasakan kesalahan bahasa yang dibuatnya, (3) dapat juga kesalahan itu terjadi tidak dengan sengaja. Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh berikut.
(1) Dalam masyarakat Minangkabau mengenal sistem matriakat.
(2) Mahasiswa dilarang tidak boleh memakai sandal kuliah.
(3) Dia selalu mengenyampingkan masalah itu.
Kalimat (1) di atas disebut kalimat rancu karena kalimat tersebut tidak mempunyai subjek. Kalimat (1) tersebut dapat diperbaiki menjadi kalimat aktif (1a) dan kalimat pasif (1b). Sementara itu, kalimat (2) terjadi kerancuan karena pemakaian kata dilarang dan tidak boleh disatukan pemakaiannya. Kedua kata tersebut sama maknanya. Jadi, kalimat (2) dapat diperbaiki menjadi kalimat (2a) dan (2b). Pada kalimat (3) kerancuan terjadi pada pembentukan kata dan kalimat tersebut dapat diperbaiki menjadi kalimat (3a).
(1a) Masyarakat Minangkabau mengenal sistem matriakat.
(1b) Dalam masyarakat Minangkabau dikenal sistem matriakat.
(2a) Mahasiswa dilarang memakai sandal kuliah.
(2b) Mahasiswa tidak boleh memakai sandal kuliah.
(3a) Dia selalu mengesampingkan masalah itu.
Di samping itu, juga terdapat bentukan kalimat yang tidak tersusun secara sejajar. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut.
(4) Program kerja ini sudah lama diusulkan, tetapi pimpinan belum menyetujui.
Ketidaksejajaran bentuk pada kalimat di atas disebabkan oleh penggunaan bentuk kata kerja pasif diusulkan yang dikontraskan dengan bentuk aktif menyetujui. Agar menjadi sejajar, bentuk pertama menggunakan bentuk pasif, hendaknya bagian kedua pun menggunakan bentuk pasif. Sebaliknya, jika yang pertama aktif, bagian kedua pun aktif. Dengan demikian, kalimat tersebut akan memiliki kesejajaran jika bentuk kata kerja diseragamkan menjadi seperti di bawah ini.
(4a) Program kerja ini sudah lama diusulkan, tetapi belum disetujui pimpinan.
(4b) Kami sudah lama mengusulkan program ini, tetapi pimpinan belum menyetujuinya.
8. Penentuan Keefektifan Kalimat
Kalimat efektif adalah kalimat yang sanggup menimbulkan gagasan yang sama tepatnya, antara pikiran pembaca dengan pikiran penulisnya. Dasar-dasar penguasaan kebahasaan yang mendukung keefektifan kalimat antara lain : kosa kata yang tepat, kaidah sintaksis, dan penalaran yang logis.
Bandingkan :
- Walaupun ia tidak sekolah namun semangatnya berkobar.
- Ia tidak pernah sekolah namun semangatnya berkobar.
- Walaupun ia tidak pernah sekolah semangatnya berkobar.
- Di Solo menyelenggarakan perayaan sekaten.
- Solo diselenggarakan perayaan sekaten.
- Di Solo diselenggarakan perayaan sekaten.
- Solo menyelenggarakan perayaan sekaten.
Dari contoh-contoh tersebut manakah yang termasuk kalimat efektif ?
9. Pola Kalimat Dasar
Kalimat dasar bukanlah nama jenis kalimat, melainkan acuan untuk membuat berbagai tipe kalimat. Kalimat dasar terdiri atas beberapa struktur kalimat yang dibentuk dengan lima unsur kalimat, yaitu, S, P, O, Pel, Ket. Sejalan dengan batasanbahwa struktur kalimat minimal S-P, sedangkan O, Pel, Ket merupakan tambahan yang berfungsi melengkapi dan memperjelas arti kalimat, maka pola kalimat dasar yang paling sederhana adalah bertipe S-P, dan paling kompleks adalah bertipe S-Po-Ket.
a) Subjek
Subjek kalimat dapat dicari dengan menggunakan rumus:
Contoh:
• Ia sudah pergi
S P
• Siapa yang sudah pergi?
Jawabnya: Ia sebagai subjek
b) Predikat
Predikat kalimat dapat dicari dengan menggunakan rumus:
Contoh:
• Ia sudah pergi
S P
c) O1 (objek penderita/langsung)
Objek penderita (O1) dapat dicari dengan mengubah rumus:
Contoh:
• Kakak membaca majalah
S P O1
d) O2 (objek pelaku)
Objek pelaku (O2) dapat dicari dengan menggunakan rumus:
Contoh:
• Adik dimarahi ibu
S P O2
f) O3 (objek penyerta/tak langsung)
Objek penyerta (O3)dapat ditentukan dengan rumus:
Contoh:
• Ibu membelikan baju untuk adik
S P O1 O3
g) Pelengkap
Pelengkap dan objek memiliki kesamaan. Kesamaan itu ialah kedua unsur kalimat ini menempati posisi di belakang predikat, tidak didahuli preposisi. Perbedaannya terletak pada kalimat pasif. Pelengkap tidak menjadi subjek dalam kalimat pasif. Jika terdapat objek dan pelengkap dalam kalimat aktif, objeklah yang menjadi subjek kalimat pasif, bukan pelengkap. Pelengkap biasanya di belakang predikat. Ciri ini sama dengan objek. Perbedaannya, objek langsung di belakang predikat, sedangkan pelengkap masih dapat disispi objek.
Contoh:
• Diah mengirimi saya buku baru.
S P O Pel
• Mereka membelikan ayahnya sepeda motor baru.
S P O Pel
h) Keterangan
Keterangan merupakan unsur kalimat yang memberikan informasi lebih lanjut tentang suatu yang dinyatakan dalam kalimat. Keterangan ini dapat berupa kata, frasa, atau anak kalimat. Keterangan yang berupa frasa ditandai oleh preposisi, seperti di, ke, dari, dalam, pada, kepada, terhadap, tentang, oleh, dan untuk. Keterangan yang berupa anak kalimat ditandai dengan kata penghubung, seperti ketika, karena, meskipun, supaya, jika, dan sehingga. Di dalam kalimat keterangan merupakan unsur kalimat yang memiliki kebebasan tempat. Keterangan dapat menempati posisi di awal atau akhir kalimat, atau di antara subjek dan predikat.
Keterangan terbagi-bagi menjadi:
a. Keterangan waktu
b. Keterangan tempat
c. Keterangangan alat
d. Keterangan cara
e. Keterangan sebab
f. Keterangan akibat
g. Keterangan tujuan
h. Keterangan syarat.
Berdasarkan fungsi dan peran gramatikalnya ada enam tipe kalimat yang dapat dijadikan model pola kalimat dasar bahasa Indonesia. Keenam tipe kalimat yang dimaksud adalah seperti yang tergambar dalam tabel berikut ini.
Fungsi
Tipe Subjek Predikat Objek Pel. Ket.
1. S-P Orang itu
saya sedang tidur
mahasiswa -
- -
- -
-
2. S-P-O Ayahnya
Rani membeli
mendapat mobil baru
hadiah -
- -
-
3. S-P-Pel Beliau
Pancasila menjadi
merupakan -
- ketua koperasi
dasar negara kita -
-
4. S-P-Ket Kami
Kecelakaan itu tinggal
terjadi -
- -
- di Jakarta
pada tahun 1999
5. S-P-O-Pel Dia
Dian mengirimi
mengambilkan ibunya
adiknya uang
air minum -
-
6. S-P-O-Ket Pak Raden
Beliau menyimpan
memperlakukan uang
kami -
- di bank
Dengan baik
(Dikutip dari Tata Bahasa Indonesia 1998: 362).
Dalam bagan itu tampak kolom S-P terisi penuh karena wajib, sedangkan O, Pel, Ket tidak penuh karena tidak wajib. Di situ juga terlihat perlu ada atau tidaknya O, Pel, Ket bergantung pada P. Dengan adanya pola kalimat dasar ini, semua kalimat bahasa Indonesia, apa pun jenisnya dan bagaimanapun panjangnya harus dapat dipadatkan sehingga unsur-unsur intinya dapat dimasukkan ke dalam enam tipe di atas.
Keenam tipe kalimat dasar dalam bagan di atas adalah kalimat tunggal, yaitu kalimat yang hanya memiliki satu unsur S dan P. Setiap kalimat tunggal dapat dikembangkan menjadi kaliamt majemuk atau kalimat luas dengan cara menambahkan kata-kata, frasa, dan klausa sebagai S dan P yang kedua atau dipakai dalam penulisan karangan.
10. Penggolongan Kalimat Efektif
a) Kalimat Tunggal
Kalimat tunggal adalah kalimat yang mempunyai satu isi atau satu pokok pikiran saja. Pokok pikiran dalam bahasa Indonesia adalah subjek dan predikat. Dengan kata lain kalimat tunggal adalah kalimat yang memiliki satu subjek dan satu predikat serta dapat saja diikuti objek maupun keterangan.
Contoh:
• Raja gemar menulis
S P
• Anita gemar menari
S P
• Nenek membaca novel di teras rumah
S P O KT
• Perjalanan kami masih jauh
S P
Berdasarkan Cara Penyampaian Kalimat Terbagi dalam Tiga Jenis:
(1) Kalimat Berita
Kalimat Berita adalah kalimat yang dipakai oleh penutur untuk menyatakan suatu berita kepada mitra komunikasinya. Pada bahasa lisan kalimat ini berintonasi menurun dan pada bahasa tulis kalimatnya bertanda baca akhir titik.
(a) Kalimat Langsung
Kalimat langsung adalah kalimat yang langsung diucapkan orang pertama kepada orang kedua.
Contoh:
• Ibu Berkata, “Kamu harus rajin belajar.”
• Ayah berkata, “Prestasi yang sudah kamu raih harus kamu pertahankan.”
(b) Kalimat Tak Langsung
Kalimat tak langsung adalah kalimat dari orang pertama yang disampaikan oleh orang kedua kepada orang ketiga.
Contoh:
• Ibu mengatakan bahwa saya harus rajin belajar.
• Ayah mengatakan bahwa prestasi yang sudah kuraih harus kupertahankan.
• Mahasiswa fakultas ilmu kesehatan masyarakat akan melakukan penyuluhan kesehatan bulan depan.
(2) Kalimat Tanya
Kalimat tanya adalah kalimat yang dipakai oleh penutur/penulis untuk memperoleh informasi atau reaksi berupa jawaban yang diharapkan dari mitra komunikasinya. Ciri-cirinya yaitu: mengharapkan orang lain memberikan informasi, menggunakan kata tanya apa(kah), bagaimana, siapa, di mana, yang mana, dan intonasi diakhiri tanda baca tanya (?).
Kalimat tanya terbagi lagi atas dua jenis, yaitu:
(a) Kalimat tanya biasa
Kalimat tanya biasa adalah kalimat tanya yang memerlukan jawaban.
Contoh:
• Kapan rencananya kalian berangkat?
• Belajar apa kita sekarang?
• Bolehkah saya datang ke rumahmu?
• Juara berapa kamu semester ini?
(b) Kalimat Tanya Retorik
Kalimat tanya retorik adalah kalimat tanya yang tidak memerlukan jawaban sebab si penanya sudah mengetahui jawabannya.
Contoh:
• Benarkah manusia bisa hidup tanpa pertolongan orang lain?
• Mungkinkah matahari terbit di sebelah barat?
(3) Kalimat Tanya Perintah
Kalimat tanya perintah adalah kalimat tanya dipakai penutur/penulis untuk memperoleh reaksi berupa jawaban dan tindakan yang diharapkan dari mitra komunikasinya.
Contoh:
• Bisakah saudara membelikan sebotol air mineral untuk saya?
• Dapatkah saudara menjawab pertanyaan tersebut?
(4) Kalimat Perintah
Kalimat perintah adalah kalimat yang berisi ajakan, perintah, permohonan, larangan, dan permintaan kepada orang lain untuk melakukan/mengerjakan sesuatu. Pada bahasa lisan kalimat ini berintonasi akhir menurun dan pada bahasa tulis biasanya kalimat itu diakhiri dengan tanda seru (!).
(a) Perintah Biasa
Contoh:
• Mari kita pulang!
• Tolong kamu ambilkan buku itu!
• Silakan saudara masuk!
(b) Perintah izin: memperkenankan seseorang untuk berbuat sesuatu.
Contoh:
• Ambillah buku itu, seberapa kamu suka!
• Masuklah ke dalam, kalau tuan perlu!
(c) Perintah Syarat: adalah semacam perintah yang mengandung syarat agar sesuatu hal terpenuhi.
Contoh:
• Tanyakanlah kepadanya, tentu dia akan menerangkannya kepadamu!
(d) Perintah Larangan: semacam perintah yang mencegah berbuat sesuatu.
Contoh:
• Jangan pergi sekarang!
• Jangan lewat sini!
• Jangan bicara!
b) Kalimat Majemuk
Kalimat Majemuk adalah kalimat yang mempunyai dua isi atau dua pokok pikiran ataupun lebih. Dengan kata lain kalimat majemuk adalah kalimat yang sekurang-kurangnya terdiri atas dua subjek atau dua predikat. Perhatikan contoh di bawah ini.
• Seorang dokter harus mempunyai wawasan yang luas
S P1 O1
dan dia juga harus menjunjung tinggi etika profesi.
S2 P2 O2
• Anak-anak bermain layang-layang di halaman kampus
S P1 O1 Ket
ketika para dosen, karyawan, dan mahasiswa menikmati hari libur.
S2 P2 O2
(1) Kalimat Majemuk Setara
(a) Pengertian
Dalam TBBI (1998:386) dikatakan, “koordinasi menghubungkan dua klausa atau lebih yang masing-masing mempunyai kedudukan setara. Hubungan antara klausanya tidak menyangkut satuan yang membentuk hirarki karena klausa yang satu bukanlah klausa konstituen yang lain.
Penghubung Klausa dalam Kalimat Majemuk Setara
Jenis
Hubungan Fungsi Kata
Penghubung
Penjumlahan
Pertentangan
Pemilihan
Perurutan Menyatakan penjumlahan atau gabungan kegiatan, keadaan, peristiwa, dan proses.
Menyatakan apa yang dinyatakan dalam klausa pertama bertentangan dengan klausa kedua
Menyatakan pilihan diantara dua kemungkinan
Menyatakan keadaan yang berurut dan, serta, baik, maupun
tetapi, sedangkan, bukannya, melainkan
atau
lalu, kemudian
(b) Contoh Kalimat Majemuk Setara
1. Erni mengonsep surat itu dan Rini mengetiknya.
2. Para peserta seminar sudah berdatangan, sedangkan panitia belum siap.
3. Dr. Syarwan memarkir mobilnya di lantai 3, lalu naik lift ke lantai 7.
4. Sebenarnya ia tidak bodoh, tetapi ia sedikit malas.
(2) Kalimat Majemuk Bertingkat
(a) Pengertian
Dalam TBBI (1998:388) dikatakan bahwa subordinatif menghubungkan dua klausa atau lebih sehingga terbukti kalimat majemuk yang salah satu klausanya menjadi bagian klausa yang lain, dalam kalimat majemuk yang disusun melalui cara sunordinatif terdapat klausa yang berfungsi sebagai konstitun klausa yang lain. Hubungan antara klausa-klausa bersifat hirarki. Oleh karena itu kalimat majemuk yang disusun secara subordinatif disebut kalimat majemuk bertingkat.
Pada kalimat majemuk bertingkat memiliki klausa yang kedudukannya lebih tinggi dan ada yang lebih rendah. Klausa yang kedudukannya lebih tinggi disebut dengan induk kalimat, sedangkan yang menduduki posisi yang lebih rendah disebut anak kalimat. Hubungan antara kedua klausa tersebut tidak sejajar atau sejajar.
Menurut Lapoliwa (1990:44), “Kalimat majemuk bertingkat disebut juga kalimat luasan. ”Kalimat luasan adalah kalimat yang terdiri dari dua klausa atau lebih. Kalimat luas meliputi kalimat kompleks dan kalimat majemuk. Kalimat majemuk memiliki satu klausa utama dan sartu klausa subordinatif atau lebih. Sedang kalimat majemuk memiliki dua klausa utama ataun lebih tanpa klausa subordinatif. Klausa subordinatif dapat berupa klausa pemerlengkapan dan klausa perwatasan. Kalimat pemerlengkapan dapat berada pada bagian sabjek maupun prtedikat. Kehadiran pemerlengkapan ditandai adanya konjungsi bahwa, supaya, agar, dan agar supaya.Klausa perwatasa adalah klausa subordinatf dan kehadirannya berfungsi mempertegas kata atau frase yang mengikutinya.
Chear menyatakan kalimat majemuk bertingkat dengan kalimat luasan bertingkat. Chear (1998:342) kalimat luasan bertingkat dibentuk dari dua buah klausa yang digabung menjadi satu. Biasanya dengan menggunakan kata penghubung sebab, kalau, meskipun dan sebagainya.
Klausa yang membentuk kalimat majemuk bertingkat tidak sama derajatnya artinya salah satu klausanya merupakan anak kalimat. Klausa yang lebih tinggi atau induk kalimat dan klausa yang lain merupakan anak kalimat klausa yang lebih tinggi atau induk kalimat berkedudukan bebas yang dapat berdiri sendiri tanpa klausa lain. Sedangkan anak kalimat atau klausa yang berkedudukan yang lebih rendah tidak dapat berdiri sendiri tanpa induk kalimat.
(b) Ciri-ciri kalimat Majemuk Bertingkat
Dalam TBBI (1998;395) menyatakan bahwa tiga ciri hubungan subordinatif antara lain:
1. Sebuah subordinasi menghubungkan dua klausa salah satu diantaranya merupakan bagian dari klausa yang lain. Disamping itu, salah satu klausa yang dihubungkan oleh konjungtor subordinatif dapat pula berupa kalimat majemuk.
2. Pada umumnya posisi klausa diawali oleh subordinator dapat berubah.
3. Hubungan subordinatif memungkinkan adanya acuan kata poris.
(c) Jenis-jenis Kalimat Majemuk Bertingkat
Dalam TBBI (1998:390) dikatakan bahwa kalimat majemuk bertingkat dibedakan berdasarkan klausa adverbialnya yaitu :
1. Konjungtor waktu: sewaktu, sementara, seraya, sambil, setelah, sesudah, sebelum, sehabis, sejak, selagi, selama, sehingga, sampai.
2. Konjungtor syarat: jika kalau, dikalau, asal, asalkan, bila, mana kala.
3. Konjungtor pengandaian : andaikan, seandainya, andai kata, sekiranya.
4. Konjungtor tujuan: agar, supaya, biar.
5. Konjungtor konsesif : biarpun, meskipun, sunggupun, sekalipun, walaupun, kendatipun.
6. Konjungtor pembandingan atau kemiripan: seakan-akan, seolah-olah, sebagai mana, seperti, sebagai, bagaikan, laksana, dari pada, alih-alih, ibarat.
7. Konjungtor sebab atau alasan : sebab, karena, oleh karena.
8. Konjungtor hasil atau akibat: sehingga, sampai-sampai.
9. Konjungtor cara : dengan, tanpa.
10. Konjungtor alat : dengan, tanpa.
(d) Contoh Kalimat Majemuk Bertingkat:
a. Dia datang ketika kami sedang rapat.
b. Lalu lintas akan teratur andaikata pemakai jalan berdisiplin tinggi.
c. Semangat belajarnya tetap tinggi walaupun usianya sudah lanjut.
d. Aku memahaminya sebagaimana ia memahamiku.
e. Gempa itu sedemikian hebatnya sehingga meruntuhkan jembatan beton.
(3) Kalimat Majemuk Campuran
Kalimat majemuk campuran dapat terdiri dari sebuah pola atasan yang sekurang-kurangnya dua pola bawahan, atau sekurang-kurangnya dua pola atasan dan satu atau lebih pola bawahan. Berikut contoh-contohnya:
a. Satu pola atasan dan dua pola bawahan
Kami telah menyelenggarakan sebuah malam kesenian, yang dimeriahkan oleh para artis ibu kota, serta dihadiri pula oleh para pembesar kota itu.
b. Dua pola atasan dan satu atau lebih pola bawahan:
Bapak menyesalkan perbuatan itu, dan meminta agar kami berjanji tidak akan mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama, yang dapat merugikan nama baik keluarga dan kedudukannya.
BAB VI
PENGEMBANGAN PARAGRAF
6.1 Paragraf
Pengertian paragraf
Pargraf adalah suatu bagian dari bab pada sebuah karangan atau karya ilmiah yang mana cara penulisannya harus dimulai dengan baris baru. Paragraf dikenal juga dengan nama lain alinea. Paragraf dibuat dengan membuat kata pertama pada baris pertama masuk ke dalam (geser ke sebelah kanan) beberapa ketukan atau spasi. Demikian pula dengan paragraf berikutnya mengikuti penyajian seperti paragraf pertama. Paragraf atau alinea juga adalah satuan bentuk bahasa yang biasanya merupakan gabungan beberapa kalimat yang mengandung satu pokok pikiran atau pikiran utama. Dalam kenyataannya terkadang kita menemukan paragraf yang hanya terdiri atas satu kalimat, dan hal itu memang dimungkinkan. Namun, dalam pembahasan ini wujud alinea semacam itu dianggap sebagai pengecualian karena di samping bentuknya yang kurang ideal jika ditinjau dari segi komposisi, alinea semacam itu jarang dipakai dalam tulisan ilmiah.
2. Ciri-ciri paragraf yang baik:
1. Mempunyai satu pokok pikiran.
2. Mempunyai pikiran penjelas
3. Mengandung koherensi/kepaduan.
4. Mengandung kesatuan ide.
5. Sesuai dengan EYD (Ejaan Yang Disempurnakan).
3. Persyaratan Paragraf
Syarat sebuah paragraf, yaitu disetiap paragraf harus memuat dua bagian penting:
• Kalimat pokok
Biasanya diletakkan pada awal paragraf, tetapi biasa juga diletakkan pada bagian tengah maupun akhir paragraf. Kalimat pokok adalah kalimat yang inti dari ide atau gagasan dari sebuah paragraf. Biasanya berisi suatu pernyataan yang nantinya akan dijelaskan lebih lanjut oleh kalimat lainnya dalam bentuk kalimat penjelas.
• Kalimat penjelas
Kalimat penjelas adalah kalimat yang memberikan penjelasan tambahan atau detail rincian dari kalimat pokok suatu paragraph.
Paragraf yang efektif juga harus memenuhi dua syarat lain, yaitu (1) adanya kesatuan, (2) adanya kepaduan.
1) Kesatuan Paragraf
Sebuah paragraf dikatakan mempunyai kesatuan jika seluruh kalimat dalam paragraf hanya membicarakan satu ide pokok, satu topik/masalah. Jika dalam sebuah paragraf terdapat kalimat yang menyimpang dari masalah yang sedang dibicarakan, berarti dalam paragraf itu terdapat lebih dari satu ide.
2) Kepaduan
Sebagai suatu bentuk pengungkapan gagasan, sebuah paragraf juga harus memperlihatkan kepaduan hubungan antarkalimat yang terjalin di dalamnya. Karena itu, kepaduan paragraf dapat diketahui dari susunan kalimat yang sistematis, logis, dan mudah dipahami. Kepaduan semacam itu dapat dicapai jika jalinan kalimat-kalimatnya terangkai secara apik, misalnya dengan menggunakan sarana pengait kalimat dalam paragraf yang berupa
(a) penggantian
(b) pengulangan
(c) penghubung antarkalimat, atau
(d) gabungan dari ketiganya.
BAB VII
KARANGAN ILMIAH
1. Pengertian Karangan Ilmiah
Karangan adalah hasil penjabaran suatu gagasan secara resmi dan teratur tentang suatu topik atau pokok bahasan. Setiap karangan yang ideal pada prinsipnya merupakan uraian yang lebih luas atau lebih tinggi dari alinea. Berdasarkan bobot isinya, karangan dapat dibagi atas tiga jenis, yaitu (1) karangan ilmiah, (2) karangan semiilmiah atau ilmiah populer, dan (3) karangan nonilmiah. Yang tergolong ke dalam karangan ilmiah antara lain adalah laporan, makalah, skripsi, tesis, disertasi; yang tergolong ke dalam karangan semiilmiah adalah artikel, editorial, opini, feature¸tips, reportase; dan yang tergolong ke dalam karangan nonilmiah antara lain adalah anekdot, dongeng, hikayat, cerpen, cerber, novel, roman, puisi, dan naskah drama. Namun, yang akan dibahas dalam diktat ini hanya jenis karangan yang pertama saja, yaitu karangan ilmiah.
Karangan ilmiah adalah salah satu jenis karangan yang berisi serangkaian hasil pemikiran yang diperoleh sesuai dengan sifat keilmuannya. Suatu karangan dari hasil penelitian, pengamatan, ataupun peninjauan dikatakan ilmiah jika memenuhi syarat sebagai berikut:
1) Penulisannya berdasarkan hasil penelitian,
2) Pembahasan masalahnya obyektif sesuai dengan fakta,
3) Karangan itu mengandung masalah yang sedang dicirikan pemecahannya,
4) Baik dalam penyampaian maupun dalam pemecahan masalah digunakan metode tertentu.
5) Bahasanya harus lengkap, terperinci, teratur dan cermat,
6) Bahasa yang digunakan hendaklah benar, jelas, ringkas dan tepat, sehingga tidak terbuka kemungkinan bagi pembaca untuk salah tafsir.
Melihat persyaratan di atas, seorang penulis karangan ilmiah hendaklah memiliki keterampilan dan pengetahuan dalam bidang:
a. Masalah yang diteliti,
b. Metode penelitian,
c. Teknik penulisan karangan ilmiah,
d. Penguasaan bahasa yang baik.
2. Pengertian Berbagai Karangan Ilmiah
Ditinjau berdasarkan tujuan atau ide/gagasan.
a. Narasi
Narasi merupakan karangan yang bertujuan menceritakan suatu peristiwa. Dalam narasi umumnya kita akan menemukan tiga kesatuan pokok yaitu:
1. Latar tempat (tempat kejadian)
2. Latar waktu (waktu kejadian)
3. Tokoh (pelaku kejadian).
Dalam artian bahwa narasi menceritakan sebuah kejadian yang diperankan oleh tokoh di suatu tempat dalam suatu waktu. Paragraf narasi disusun dengan merangkaikan peristiwa-peristiwa yang berurutan atau secara kronologis. Tujuannya, pembaca diharapkan seolah-olah mengalami sendiri peristiwa yang diceritakan. Jenis narasi terbagi dua, yaitu: (1) Fiksi yaitu berisi khayalan. Contohnya cerpen, novel, roman, dongeng, dsb. (2) nonfiksi yaitu berisi kenyataan. Contohnya biografi, otobiografi, ulasan, dsb.
Perhatikan contoh paragraf berikut!
Kemudian mobil meluncur kembali, Nyonya Marta tampak bersandar lesu. Tangannya dibalut dan terikat ke leher. Mobil berhenti di depan rumah. Lalu bawahan suaminya beserta istri-istri mereka pada keluar rumah menyongsong. Tuan Hasan memapah istrinya yang sakit. Sementara bawahan Tuan Hasan saling berlomba menyambut kedatangan Nyonya Marta.
Paragraf narasi dibedakan atas dua jenis, yaitu narasi ekspositoris dan narasi sugestif. Paragraf narasi ekspositoris berisikan rangkaian perbuatan yang disampaikan secara informatif sehingga pembaca mengetahui peristiwa tersebut secara tepat.
Siang itu, Sabtu pekan lalu, Ramin bermain bagus. Mula-mula ia menyodorkan sebuah kontramelodi yang hebat, lalu bergantian dengan klarinet, meniupkan garis melodi utamanya. Ramin dan tujuh kawannya berbaris seperti serdadu masuk ke tangsi, mengiringi Ahmad, mempelai pria yang akan menyunting Mulyati, gadis yang rumahnya di Perumahan Kampung Meruyung. Mereka membawakan lagu “Mars Jalan” yang dirasa tepat untuk mengantar Ahmad, sang pengantin…. (Sumber : Tempo, 20 Februari 2005)
Paragraf narasi sugestif adalah paragraf yang berisi rangkaian peristiwa yang disusun sedemikian rupa sehingga merangsang daya khayal pembaca, tentang peristiwa tersebut.
Patih Pranggulang menghunus pedangnya. Dengan cepat ia mengayunkan pedang itu ke tubuh Tunjungsekar. Tapi aneh, sebelum mengenai tubuh Tunjungsekar. Tapi aneh, sebelum mengenai tubuh Tunjungsekar, pedang itu jatuh ke tanah. Patih Pranggulang memungut pedang itu dan membacokkan lagi ke tubuh Tunjungsekar. Tiga kali Patih Pranggulang melakukan hal itu. Akan tetapi, semuanya gagal.
b. Deskripsi
Paragraf deskripsi adalah paragraf yang menggambarkan sesuatu dengan jelas dan terperinci. Paragraf deskrispi bertujuan melukiskan atau memberikan gambaran terhadap sesuatu dengan sejelas-jelasnya sehingga pembaca seolah-olah dapat melihat, mendengar, membaca, atau merasakan hal yang dideskripsikan. Deskripsi juga merupakan karangan yang bertujuan menggambarkan atau melukiskan suatu keadaan. Bila dalam narasi kita menemukan tiga kesatuan pokok yang menjalin karangan yaitu waktu, tempat, dan tokoh maka dalam deskripsi kita hanya menemukan gambaran keadaan berupa waktu atau tempat saja tanpa tokoh ataupun gambaran keadaan tokoh saja tanpa latar waktu ataupun tempat. Dalam deskripsi apa yang digambarkan akan seolah nyata dibenak pembaca karena gambaran yang dilukiskan itu apa adanya.
Contoh:
• Panorama Danau Toba.
• Keadaan Banjir, dan
• Suasana Di Pasar
Bacalah dua kutipan di bawah ini!
Kutipan 1
Malam itu, indah sekali. Di langit, bintang – bintang berkelip – kelip memancarkan cahaya. Hawa dingin menusuk kulit. Sesekali terdengar suara jangkrik, burung malam, dan kelelawar mengusik sepinya malam. Angin berhembus pelan dan tenang.
Kutipan 2
Kamar itu, menurut penglihatan saya, sangatlah besar dan bagus. Sebuah tempat tidur besi besar dengan kasur, bantal, guling, dan kelambu yang serba putih, berenda dan berbunga putih, berada di kamar dekat dinding sebelah utara. Kemudian, satu cermin oval besar tergantung di dinding selatan. Di kamar itu juga ada lemari pakaian yang amat besar terbuat dari kayu jati. Lemari kokoh itu tepat berada di samping pintu kamar.
Kedua kutipan tersebut adalah contoh paragraf deskripsi. Paragraf deskripsi mempunyai ciri-ciri yang khas, yaitu bertujuan untuk melukiskan suatu objek. Dalam paragraf deskripsi, hal-hal yang menyentuh pancaindera (penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, atau perabaan) dijelaskan secara terperinci. Inilah ciri-ciri paragraf deskripsi yang menonjol, seperti dalam kutipan di bawah ini.
Kutipan 1
Ciri yang kedua adalah penyajian urutan ruang. Penggambaran atau pelukisan berupa perincian disusun secara berurutan; mungkin dari kanan ke kiri, dari atas ke bawah, dari depan ke belakang, dan sebagainya, seperti dalam
Kutipan 2
Ciri deskripsi dalam penggambaran benda atau manusia didapat dengan mengamati bentuk, warna, dan keadaan objek secara detil/terperinci menurut penangkapan si penulis.
….seorang gadis berpakaian hitam…..
….tiga lelaki tanpa alas kaki….
Dalam paragraf deskripsi, unsur perasaan lebih tajam daripada pikiran.
….bersama terpaan angin yang lembut…..
c. Eksposisi
Karangan eksposisi atau paparan adalah karya tulis yang berisi uraian atau penjelasan tentang suatu topik dengan tujuan memberi informasi atau pengetahuan tambahan bagi pembaca. Hal ini sesuai dengan pendapat Keraf, “Eksposisi atau pemaparan adalah salah satu bentuk tulisan atau retorika yang berusaha untuk menerangkan dan menguraikan suatu pokok pikiran, yang dapat memperluas pandangan atau pengetahuan seseorang yang membaca uraian tersebut”. (1988:3).
Dengan kata lain eksposisi adalah karangan yang menyajikan sejumlah pengetahuan atau informasi. Tujuannya, pembaca mendapat pengetahuan atau informasi yang sejelas – jelasnya.
Di samping menerangkan dan menjelaskan sesuatu, karangan eksposisi juga berusaha untuk mengembangkan gagasan yang menjadikan hal atau gagasan tersebut luas dan mudah dimengerti. Karangan eksposisi sebagai karangan ilmiah membutuhkan data, analisis, dan sintesis. Bila judul karangan ada dapat ditentukan berjenis eksposisi atau bukan dengan rumus:
Bila judul karangan itu sendiri diawali kata cara, maka
itu berbentuk eksposisi.
Menulis eksposisi sangat besar manfaatnya. Mengapa? Sebagian besar masyarakat menyadari pentingnya sebuah informasi. Eksposisi merupakan sebuah paparan atau penjelasan. Jika ada paragraf yang menjawab pertanyaan apakah itu? Dari mana asalnya? Paragraf tersebut merupakan sebuah paragraf eksposisi.
Contoh:
• Laporan
Dalam paragraf eksposisi, ada beberapa jenis pengembangan, yaitu (1) eksposisi definisi, (2) eksposisi proses, (3) eksposisi klasifikasi, (4) eksposisi ilustrasi (contoh), (5) eksposisi perbandingan & pertentangan, dan (6) eksposisi laporan.
Berikut Contoh-contoh Paragraf Eksposisi:
PARAGRAF 1
Ozone therapy adalah pengobatan suatu penyakit dengan cara memasukkan oksigen ,urni dan ozon berenergi tinggi ke dalam tubuh melalui darah. Ozone therapy merupakan terapi yang sangat bermanfaat bagi kesehatan, baik untuk menyembuhkan penyakit yang kita derita maupun sebagai pencegah penyakit.
PARAGRAF 2
Pemerintah akan memberikan bantuan pembangunan rumah atau bangunan kepada korban gempa. Bantuan pembangunan rumah atau bangunan tersebut disesuaikan dengan tingkat kerusakannya. Warga yang rumahnya rusak ringan mendapat bantuan sekitar 10 juta. Warga yang rumahnya rusak sedang mendapat bantuan sekitar 20 juta. Warga yang rumahnya rusak berat mendapat bantuan sekitar 30 juta. Calon penerima bantuan tersebut ditentukan oleh aparat desa setempat dengan pengawasan dari pihak LSM.
PARAGRAF 3
Sampai hari ke-8, bantuan untuk para korban gempa Yogyakarta belum merata. Hal ini terlihat di beberapa wilayah Bantul dan Jetis. Misalnya, di Desa Piyungan. Sampai saat ini, warga Desa Piyungan hanya makan singkong. Mereka mengambilnya dari beberapa kebun warga. Jika ada warga yang makan nasi, itu adalah sisa-sisa beras yang mereka kumpulkan di balik reruntuhan bangunan. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa bantuan pemerintah kurang merata.
PARAGRAF 4
Pernahkan Anda menghadapi situasi tertentu dengan perasaan takut? Bagaimana cara mengatasinya? Di bawah ini ada lima jurus untuk mengatasi rasa takut tersebut. Pertama, persipakan diri Anda sebaik-baiknya bila menghadapi situasi atau suasana tertentu; kedua, pelajari sebaik-baiknya bila menghadapi situasi tersebut; ketiga, pupuk dan binalah rasa percaya diri; keempat, setelah timbul rasa percaya diri, pertebal keyakinan Anda; kelima, untuk menambah rasa percaya diri, kita harus menambah kecakapan atau keahlian melalui latihan atau belajar sungguh – sungguh.
PARAGRAF 5
Pascagempa dengan kekuatan 5,9 skala richter, sebagian Yogyakarta dan Jawa Tengah luluh lantak. Keadaan ini mengundang perhatian berbagai pihak. Bantuan pun berdatangan dari dalam dan luar negeri. Bantuan berbentuk makanan, obat-obatan, dan pakaian dipusatkan di beberapa tempat. Hal ini dimaksudkan agar pendistribusian bantuan tersebut lebih cepat. Tenaga medis dari daerah-daerah lain pun berdatangan. Mereka memberikan bantuan di beberapa rumah sakit dan tenda – tenda darurat.
PARAGRAF 6
Sebenarnya, bukan hanya ITS yang menawarkan rumah instan sehat untuk Aceh atau dikenal dengan Rumah ITS untuk Aceh (RI-A). Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman Departemen Pekerjaan Umum juga menawarkan “Risha” alias Rumah Instan Sederhana Sehat. Modelnya hampir sama, gampang dibongkar-pasang, bahkan motonya “Pagi Pesan, Sore Huni”. Bedanya, sistem struktur dan konstruksi Risha memungkinkan rumah ini berbentuk panggung. Harga Risha sedikit lebih mahal, Rp 20 juta untuk tipe 36. akan tetapi, usianya dapat mencapai 50 tahun karena komponen struktur memakai beton bertulang, diperkuat pelat baja di bagian sambungannya. Kekuatannya terhadap gempa juga telah diuji di laboratorium sampai zonasi enam.
Topik – topik yang Dapat Dikembangkan Menjadi Paragraf Eksposisi
Tujuan paragraf eksposisi adalah memaparkan atau menjelaskan sesuatu agar pengetahuan pembaca bertambah. Oleh karena itu, topik-topik yang dikembangkan dalam paragraf eksposisi berkaitan dengan penyampaian informasi. Berikut ini contoh – contoh topik yang dapat dikembangkan menjadi sebuah paragraf eksposisi.
• Cara Belajar Yang Baik
• Prosedur Mengikuti UAS
• Manfaat menjadi orang kreatif
• Bagaimana proses penyaluran bantuan langsung?
• Konsep bantuan langsung tunai.
• Faktor – faktor penyebab mewabahnya penyakit flu burung.
d. Argumentasi
Karangan argumentasi adalah jenis karangan yang bersifat meyakinkan orang lain yang diiringi dengan alasan-alasan yang kuat sehingga pembaca sependapat dengan penulis. Melalui argumentasi penulis berusaha merangkaikan fakta-fakta sedemikian rupa sehingga ia mampu menunjukkan apakah suatu pendapat atau suatu hal tertentu itu benar atau tidak. Karangan argumentasi yang juga berjenis karangan ilmiah membutuhkan data, analisis, sintesis, dan alasan. Bila ada judul, karangan itu berjenis argumentasi atau tidak dapat ditentukan dengan rumus:
Contoh: Manfaat Sayuran Hijau
Paragraf Argumentasi adalah paragraf atau karangan yang membuktikan kebenaran tentang sesuatu. Untuk memperkuat ide atau pendapatnya penulis wacana argumetasi menyertakan data-data pendukung. Tujuannya, pembaca menjadi yakin atas kebenaran yang disampaikan penulis. Dalam paragraf argumentasi, biasanya ditemukan beberapa ciri yang mudah dikenali. Ciri- ciri tersebut misalnya (1) ada pernyataan, ide, atau pendapat yang dikemukakan penulisnya; (2) alasan, data, atau fakta yang mendukung; (3) pembenaran berdasarkan data dan fakta yang disampaikan. Data dan fakta yang digunakan untuk menyusun wacana atau paragraf argumentasi dapat diperoleh melalui wawancara, angket, observasi, penelitian lapangan, dan penelitian kepustakaan.
Pada akhir paragraf atau karangan, perlu disajikan kesimpulan. Kesimpulan ini yang membedakan argumentasi dari eksposisi.
Menyetop bola dengan dada dan kaki dapat ia lakukan secara sempurna. Tembakan kaki kanan dan kiri tepat arahnya dan keras. Sundulan kepalanya sering memperdayakan kiper lawan. Bola seolah-olah menurut kehendaknya. Larinya cepat bagaikan kijang. Lawan sukar mengambil bola dari kakinya. Operan bolanya tepat dan terarah. Amin benar-benar pemain bola jempolan (Tarigan 198:28).
Mempertahankan kesuburan tanah merupakan syarat mutlak bagi tiap-tiap usaha pertanian. Selama tanaman dalam proses menghasilkan, kesuburan tanah ini akan berkurang. Padahal kesuburan tanah wajib diperbaiki kembali dengan pemupukan dan penggunaan tanah itu sebaik-baiknya. Teladan terbaik tentang cara menggunakan tanah dan cara menjaga kesuburannya, dapat kita peroleh pada hutan yang belum digarap petani.
Tujuan yang ingin dicapai melalui pemaparan argumentasi ini, antara lain :
• Melontarkan Pandangan / Pendirian
• Mendorong atau Mencegah Suatu Tindakan
• Mengubah Tingkah Laku Pembaca
• Menarik Simpati
Contoh :
• Laporan Penelitian Ilmiah, Karya Tulis
e. Persuasi
Persuasi merupakan karangan yang bertujuan merangsang pembaca agar hanyut dalam isi karangan. Dalam karangan persuasi, fakta-fakta yang relevan dan jelas harus diuraikan sedemikian rupa sehigga kesimpulannya dapat diterima secara meyakinkan. Di samping itu, dalam menulis karangan persuasi harus pula diperhatikan penggunaan diksi yang berpengaruh kuat terhadap emosi atau perasaan orang lain. Persuasi mirip dengan argumentasi, Cuma bedanya argumentasi merangsang pembaca dengan alasan dan bukti yang kuat, sementara persuasi merangsang pembaca mengikuti apa yang dikehendaki karena pembaca membutuhkannya. Paragraf Persuasi merupakan paragraf yang berisi imbauan atau ajakan kepada orang lain untuk melakukan sesuatu seperti yang diharapkan oleh penulisnya. Oleh karena itu, biasanya disertai penjelasan dan fakta-fakta sehingga meyakinkan dan dapat mempengaruhi pembaca.
Contoh: Deterjen Pemutih Pakaian.
Pendekatan yang dipakai dalam persuasi adalah pendekatan emotif yang berusaha membangkitkan dan merangsang emosi.
Contoh : (1) propaganda kelompok / golongan, kampanye, (2) iklan dalam media massa, (2) selebaran, dsb. Contoh karangan yang bertujuan mempengaruhi dan membujuk pembaca.
Sistem pendidikan di Indonesia yang dikembangkan sekarang ini masih belum memenuhi harapan. Hal ini dapat terlihat dari keterampilan membaca siswa kelas IV SD di Indonesia yang berada pada peringkat terendah di Asia Timur setelah Philipina, Thailand, Singapura, dan Hongkong. Selain itu, berdasarkan penelitian, rata-rata nilai tes siswa SD kelas VI untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, dan IPA dari tahun ke tahun semakin menurun. Anak-anak di Indonesia hanya dapat menguasai 30% materi bacaan. Kenyataan ini disajikan bukan untuk mencari kesalahan penentu kebijakan, pelaksana pendidikan, dan keadaan yang sedang melanda bangsa, tapi semata-mata agar kita menyadari sistem pendidikan kita mengalami krisis. Oleh karena itu, semua pihak perlu menyelamatkan generasi mendatang. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memperbaiki sistem pendidikan nasional.
3. Manfaat Penyusunan Karangan Ilmiah
Penyusunan karangan ilmiah memberikan manfaat yang besar sekali, baik bagi penulis maupun bagi masyarakat pembacanya, diantaranya adalah sebagai berikut.
1) Penulis akan terlatih mengembangkan keterampilan membaca yang efektif karena sebelum menulis karangan ilmiah, terlebih dahulu harus membaca kepustakaan yang ada relevansinya dengan topik yang dibahas.
2) Penulis akan terlatih menggabungkan hasil bacaan dari berbagai buku sumber, mengambil sarinya, dan mengembangkannya ke tingkat pemikiran yang lebih matang.
3) Penulis akan berkenalan dengan kegiatan perpustakaan, seperti mencari bahan bacaan dalam katalog pengarang atau katalog judul buku.
4) Penulis akan dapat meningkatkan keterampilan dalam mengorganisasikan dan menyajikan fakta secara jelas dan sistematis.
5) Penulis akan memperoleh kepuasan intelektual.
6) Penulis turut memperluas cakrawala ilmu pengetahuan.
4. Sikap Ilmiah
Penulisan karya ilmiah sepatutnya memiliki sikap-sikap ilmiah agar karya yang dibuat dapat dipertanggungjawabkan, baik kepada masyarakat maupun pada diri sendiri.
Menurut Brotowidjoyo (1985:33-34), orang yang berjiwa ilmiah adalah orang yang memiliki tujuh macam sikap ilmiah yaitu:
(1) Sikap Ingin Tahu
Sikap ingin tahu diwujudkan dengan selalu bertanya tentang berbagai hal. Mengapa demikian? Apa saja unsur-unsurnya? Bagaimana kalau diganti dengan komponen yang lain, dan seterusnya.
(2) Sikap Kritis
Sikap kristis direalisasikan dengan mencari informasi sebanyak-banyaknya, baik dengan jalan bertanya kepada siapa saja yang diperkirakan mengetahui masalah maupun dengan membaca sebelum menentukan pendapat untuk ditulis.
(3) Sikap Terbuka
Sikap terbuka dinyatakan dengan selalu bersedia mendengarkan keterangan dan argumentasi orang lain.
(4) Sikap Objektif
Sikap objektif diperlihatkan dengan cara menyatakan apa adanya, tanpa dibarengi perasaan pribadi.
(5) Sikap Rela Menghargai Karya Orang Lain
Sikap rela menghargai karya orang lain diwujudkan dengan mengutip dan menyatakan terima kasih atas karangan orang lain, dan menganggapnya sebagai karya orisinal milik pengarangnya.
(6) Sikap Berani Mempertahankan Kebenaran
Sikap berani mempertahankan kebenaran diwujudkan dengan membela fakta atas hasil penelitiannya.
(7) Sikap Menjangkau Ke Depan
Sikap menjangkau ke depan dibuktikan dengan sikap “futuristic”, yaitu berpandangan jauh, mampu membuat hipotesis dan membuktikannya, bahkan mampu menyusun suatu yang baru.
5. Langkah Penulisan Karangan Ilmiah
Langkah-langkah penulisan karangan ilmiah berdasarkan orientasi pada konsep menulis sebagai suatu proses terbagai atas tiga kegiatan, yaitu tahapan persiapan, penulisan, dan revisi. Hal ini sejalan dengan pendapat Akhadiah mengatakan bahwa “Kegiatan menulis sebagai suatu proses dilakukan dalam beberapa tahap, yakni tahap persiapan, penulisan, dan revisi.” (1988:2). Berikut akan diuraikan masing-masing tahap tersebut.
1). Persiapan
Dalam tahapan ini terdapat kegiatan-kegiatan identifikasi, penjajakan masalah, perencanaan organisasi naskah, dan pengumpulan bahan.
(1) Kegiatan identifikasi meliputi hal apa yang akan ditulis, apa tujuan penulisan, siapa pembacanya, dalam rangka apa tulisan itu dikerjakan, seberapa luas dan mendalam kajian terhadap masalah yang ditulis, dan sebagainya.
(2) Kegiatan penjajagan masalah dengan beberapa teknik, antara lain : brainstorming, yaitu menuliskan secara acak hal-hal apa saja yang diingat berkaitan dengan masalah yang akan ditulis. Kegiatan menjajagi masalah dapat pula dilakukan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang siapa (who), apa (what), kapan (when), dimana (where), mengapa (why), dan bagaimana (how). Cara penjajagan ini bisa dikerjakan dalam jurnalistik dan terkenal dengan cara 5W dan 1H.
(3) Kegiatan merencanakan pengorganisasian karangan meliputi kegiatan-kegiatan merencanakan judul karangan secara tentatif, menyusun kalimat tesis, dan menyusun kerangka tulisan (outline).
(4) Kegiatan mengumpulkan bahan penulisan meliputi membaca berbagai sumber bahan yang relevan dengan masalah yang akan ditulis (buku-buku, majalah, surat kabar, dan sebagainya), mengadakan pengamatan (observasi) ke lapangan, wawancara dengan pihak-pihak kompeten yang berkaitan dengan masalah yang akan ditulis, penelitian dan sebagainya.
2). Penulisan
Dalam tahap ini dilaksanakan kegiatan menulis yang sesungguhnya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam tahapan menulis ini umumnya terbagi atas tiga kegiatan yaitu menulis konsep memperbaiki dan melengkapi bahan penulisan. Tahap pertama adalah menulis konsep (draf) dengan cepat untuk beberapa bagian karangan sesuai dengan kerangka karangan yang telah disusun. Biasanya penulis mengalami hambatan untuk mulai menuliskan kalimat yang pertama. Untuk mengatasi hal ini penulis dapat langsung saja menyusun kalimat pertama tanpa terlalu lama memikirkannya. Apabila kalimat pertama berhasil kita susun biasanya dengan mudah akan diikuti oleh kalimat-kalimat berikutnya. Tahap selanjutnya adalah mengadakan perbaikan-perbaikan terhadap bagian-bagian yang selesai kita tulis selama dalam proses menulis. Oleh karena itu, selama proses menulis kita selalu membaca kembali apa yang telah selesai ditulis. Tahap terakhir adalah melengkapi bahan penulisan yang kita butuhkan mungkin bahan tersebut baru kita ketahui pentingnya setelah kita bertemu dalam proses penulisan.
3). Revisi
Kegiatan revisi dalam pengertian perbaikan konsep tulisan sebenarnya menjadi bagian dari seluruh proses penulisan. Artinya selama menulis kita selalu mengadakan perbaikan-perbaikan terhadap bagian-bagian yang selesai kita tulis sebagaimana telah diuraikan di atas. Revisi dalam tahapan ketiga ini lebih banyak ditingkatkan sebagai “Penghalusan” tulisan. Misalnya dengan mengadakan :
1. Perbaikan ejaan dan tanda baca
2. Perbaikan pilihan kata
3. Perbaikan susunan kalimat
4. Perbaikan rumusan judul apabila diperlukan, dan
5. Menulis kata pengantar apabila diperlukan.
Metode di atas tidaklah harus diikuti secara kaku, namun dapat dilakukan dengan kondisi yang ada. Dengan cara tersebut mungkin akan dapat membangkitkan motivasi menulis yang lebih besar pada diri kita.
BAB VIII
BENTUK DAN SISTEMATIKA KARANGAN ILMIAH
1. Skripsi
Skripsi dapat diartikan sebagai karya tulis yang disusun oleh seorang mahasiswa yang telah menyelesaikan kurang lebih 135 sks dengan dibimbing oleh Dosen Pembimbing Utama dan Dosen Pembimbing II sebagai salah satu persyaratan untuk mencapai gelar Pendidiksan S1 (Sarjana).
2. Tujuan Skripsi
Tujuan dalam Penulisan Skripsi adalah memberikan pemahaman terhadap mahasiswa agar dapat berpikir secara logis dan ilmiah dalam menguraikan dan membahas suatu permasalahan serta dapat menuangkannya secara sistematis dan terstruktur.
3. Isi dan Materi
Isi dari Penulisan Skripsi diharapkan memenuhi aspek-aspek di bawah ini :
1) Relevan dengan jurusan dari mahasiswa yang bersangkutan.
2) Mempunyai pokok permasalahan yang jelas.
3) Masalah dibatasi, sesempit mungkin.
4. Bentuk Laporan Penulisan Skripsi
Bentuk laporan penulisan Skripsi Fakultas Ekonomi, Program Studi Manajemen dan Akuntansi untuk jenjang Akademik Strata Satu terdiri dari:
1). Bagian Awal
Bagian Awal ini terdiri dari: Halaman Judul
Lembar Pernyataan
Lembar Pengesahan
Abstraksi
Halaman Kata Pengantar
Halaman Daftar Isi
Halaman Daftar Tabel
Halaman Daftar Gambar: Grafik, Diagram,
Bagan, Peta dan sebagainya
2) Bagian Tengah
Bagian tengah ini terdiri dari: Bab Pendahuluan
Bab Landasan Teori
Metode Penelitian.
Bab Analisis Data dan Pembahasan
Bab Kesimpulan dan Saran
3) Bagian Akhir
Bagian akhir terdiri dari: Daftar Pustaka
Lampiran
Penjelasan secara terinci dari Struktur Penulisan Skripsi dapat dilihat sebagai berikut :
1) Bagian Awal
Pada bagian ini berisi hal-hal yang berhubungan dengan penulisan skripsi yakni sebagai berikut :
(a) Halaman Judul
Ditulis sesuai dengan cover depan Penulisan Skripsi standar Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Helvetia Medan
(b) Lembar Pernyataan
Yakni merupakan halaman yang berisi pernyataan bahwa penulisan skripsi ini merupakan hasil karya sendiri bukan hasil plagiat atau penjiplakan terhadap hasil karya orang lain.
(c) Lembar Pengesahan
Pada Lembar Pengesahan ini berisi Daftar Komisi Pembimbing, Daftar Nama Panitia Ujian yang terdiri dari Ketua, Sekretaris dan Anggota. Pada Bagian bawah sendiri juga disertai tanda tangan Pembimbing dan Kepala Bagian Sidang Sarjana.
(d) Abstraksi
Yakni berisi ringkasan tentang hasil dan pembahasan secara garis besar dari Penulisan Skripsi dengan maximal 1 halaman.
(e) Kata Pengantar
Berisi ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang ikut berperan serta dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan Skripsi (a.l. Rektor, Dekan, Ketua Jurusan, Pembimbing, Perusahaan, dll ).
(f) Halaman Daftar Isi
Berisi semua informasi secara garis besar dan disusun berdasarkan urut nomor halaman.
(g) Halaman Daftar Tabel
(h) Halaman Daftar Gambar, Daftar Grafik, Daftar Diagram
2) Bagian Tengah
(a) Pendahuluan
Pada Bab Pendahuluan ini terdiri dari beberapa sub pokok bab yang meliputi antara lain :
(b) Latar Belakang Masalah
Menguraikan tentang alasan dan motivasi dari penulis terhadap topik permasalahan yang bersangkutan.
(c) Rumusan Masalah
Berisi masalah apa yang terjadi dan sekaligus merumuskan masalah dalam penelitian yang bersangkutan.
(d ) Batasan Masalah
Memberikan batasan yang jelas pada bagian mana dari persoalan atau masalah yang dikaji dan bagian mana yang tidak.
( e) Tujuan Penelitian
Menggambarkan hasil-hasil apa yang bisa dicapai dan diharapkan dari penelitian ini dengan memberikan jawaban terhadap masalah yang diteliti.
( f) Metode Penelitian
Menjelaskan cara pelaksanaan kegiatan penelitian, mencakup cara pengumpulan data, alat yang digunakan dan cara analisa data.
Jenis-Jenis Metode Penelitian :
a. Studi Pustaka : Semua bahan diperoleh dari buku-buku dan/atau jurnal.
b. Studi Lapangan : Data diambil langsung di lokasi penelitian.
c. Gabungan : Menggunakan gabungan kedua metode di atas.
(g ) Sistematika Penulisan
Memberikan gambaran umum dari bab ke bab isi dari Penulisan Skripsi .
3) Landasan Teori
Menguraikan teori-teori yang menunjang penulisan / penelitian, yang bisa diperkuat dengan menunjukkan hasil penelitian sebelumnya.
4) Metode Penelitian
Menjelaskan cara pengambilan dan pengolahan data dengan menggunakan alat-alat analisis yang ada.
5) Analisis Data dan Pembahasan
Membahas tentang keterkaitan antar faktor-faktor dari data yang diperoleh dari masalah yang diajukan kemudian menyelesaikan masalah tersebut dengan metode yang diajukan dan menganalisa proses dan hasil penyelesaian masalah.
6) Kesimpulan (dan Saran)
Bab ini bisa terdiri dari Kesimpulan saja atau ditambahkan Saran.
- Kesimpulan
Berisi jawaban dari masalah yang diajukan penulis, yang diperoleh dari penelitian.
- Saran
Ditujukan kepada pihak-pihak terkait, sehubungan dengan hasil penelitian.
3) Bagian Akhir
- Daftar Pustaka
Berisi daftar referensi (buku, jurnal, majalah, dll), yang digunakan dalam penulisan
- Lampiran
Penjelasan tambahan, dapat berupa uraian, gambar, perhitungan-perhi tungan, grafik atau tabel, yang merupakan penjelasan rinci dari apa yang disajikan di bagian-bagian terkait sebelumnya.
BAB IX
TEKNIK PENULISAN
1. Penomoran Bab serta subbab
- Bab dinomori dengan menggunakan angka romawi.
- Subbab dinomori dengan menggunakan angka latin dengan mengacu pada nomor bab/subbab dimana bagian ini terdapat.
II ………. (Judul Bab)
2.1 ………………..(Judul Subbab)
2.2 ………………..(Judul Subbab)
2.2.1 ………………(Judul Sub-Subbab)
- Penulisan nomor dan judul bab di tengah dengan huruf besar, ukuran font 14, tebal.
- Penulisan nomor dan judul subbab dimulai dari kiri, dimulai dengan huruf besar, ukuran font 12, tebal.
2. Penomoran Halaman
- Bagian Awal, nomor halaman ditulis dengan angka romawi huruf kecil (i,ii,iii,iv,…).Posisi di tengah bawah (2 cm dari bawah). Khusus untuk lembar judul dan lembar pengesahan, nomor halaman tidak perlu diketik, tapi tetap dihitung.
- Bagian Pokok, nomor halaman ditulis dengan angka latin. Halaman pertama dari bab pertama adalah halaman nomor satu. Peletakan nomor halaman untuk setiap awal bab di bagian bawah tengah, sedangkan halaman lainnya di pojok kanan atas.
- Bagian akhir, nomor halaman ditulis di bagian bawah tengah dengan angka latin dan merupakan kelanjutan dari penomoran pada bagian pokok.
3. Judul dan Nomor Gambar / Grafik / Tabel
- Judul gambar / grafik diketik di bagian bawah tengah dari gambar. Judul tabel diketik di sebelah atas tengah dari tabel.
- Penomoran tergantung pada bab yang bersangkutan, contoh : gambar 3.1 berarti gambar pertama yang aga di bab III.
4. Penulisan Daftar Pustaka
- Ditulis berdasarkan urutan penunjukan referensi pada bagian pokok tulisan ilmiah.
- Ditulis menurut kutipan-kutipan
- Menggunakan nomor urut, jika tidak dituliskan secara alfabetik
- Nama pengarang asing ditulis dengan format : nama keluarga, nama depan.
Nama pengarang Indonesia ditulis normal, yaitu : nama depan + nama keluarga
- Gelar tidak perlu disebutkan.
- Setiap pustaka diketik dengan jarak satu spasi (rata kiri), tapi antara satu pustaka dengan pustaka lainnya diberi jarak dua spasi.
- Bila terdapat lebih dari tiga pengarang, cukup ditulis pengarang pertama saja dengan tambahan ‘et al’.
- Penulisan daftar pustaka tergantung jenis informasinya yang secara umum memiliki urutan sebagai berikut :
Nama Pengarang, Judul karangan (digarisbawah / tebal / miring), Edisi, Nama Penerbit, Kota Penerbit, Tahun Penerbitan.
- Tahun terbit disarankan minimal tahun 2000
Penulisan Daftar Pustaka:
a. Satu Pengarang
• Budiono. 1982. Teori Pertumbuhan Ekonomi. Yogyakarta : Bagian Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada.
• Friedman. 1990. M. Capitalism and Freedom. Chicago : University of Chicago Press.
b. Dua Pengarang
• Cohen, Moris R., and Ernest Nagel. 1939. An Introduction to Logic and Scientific Method. New york: Harcourt
• Nasoetion, A. H., dan Barizi. 1990. Metode Statistika. Jakarta: PT. Gramedia
c. Tiga Pengarang
• Heidjrahman R., Sukanto R., dan Irawan. 1980. Pengantar Ekonomi Perusahaan. Yogyakarta: Bagian penerbitan Fakultas Ekonomi UGM.
• Nelson, R.., P. Schultz, and R. Slighton. 1971. Structural change in a Developing Economy. Princeton: Princeton University Press.
d. Lebih dari Tiga Pengarang
• Barlow, R. et al. 1966. Economics Behavior of the Affluent. Washington D.C.: The Brooking Institution.
• Sukanto R. et al. 1982. Business Frocasting. Yogyakarta: Bagian penerbitan Fakultas Ekonomi UGM.
e. Pengarang Sama
• Djarwanto Ps. 1982. Statistik Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Bagian penerbitan Fakultas Ekonomi UGM.
• ____________. 1982. Pengantar Akuntansi. Yogyakarta: Bagian penerbitan Fakultas Ekonomi UGM.
f. Tanpa Pengarang
• Author’s Guide. 1975. Englewood Cliffs, N.J. : Prentice Hall.
• Interview Manual. 1969. Ann Arbor, MI: Institute for Social Research, Universiy of Michigan.
g. Buku Terjemahan, Saduran atau Suntingan.
• Herman Wibowo (Penterjemah). 1993. Analisa Laporan Keuangan. Jakarta: PT. Erlangga.
• Karyadi dan Sri Suwarni (Penyadur). 1978. Marketing Management. Surakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret.
h. Buku Jurnal atau Buletin
• Insukindro dan Aliman, 1999. “Pemilihan dan Bentuk Fungsi Empirik : Studi Kasus Permintaan Uang Kartal Riil di Indonesia”, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. 14, No. 4:49-61.
• Granger, C.W.J., 1986. “Developments in the Study of Co-integrated Economic Variables”, Oxford Bulletin of Economics and Statistics, Vol.48 : 215-226.
5. Format Pengetikan
- Menggunakan kertas ukuran A4.
- Margin Atas : 4 cm Bawah : 3 cm
Kiri : 4 cm Kanan : 3 cm
- Jarak spasi : 1,5 (khusus ABSTRAKSI hanya 1 spasi)
- Jenis huruf (Font) : Times New Roman.
- Ukuran / variasi huruf : Judul Bab 14 / Tebal + Huruf Besar
Isi 12 / Normal
Subbab 12 / Tebal
6. Hasil Penulisan Skripsi
Dijilid berbentuk buku dengan jumlah halaman paling sedikit 12 (dua belas) halaman tidak termasuk cover, halaman judul, daftar isi, kata pengantar dan daftar pustaka.
Dipresentasikan dan dianjurkan menggunakan Power Point pada saat pelaksanaan Sidang Sarjana (S1) di hadapan para penguji Sidang. Diketik dengan menggunakan Program Software Pengolah Kata, misal : Ms Word. Dicetak dengan printer.
7. Lampiran
Lampiran ini berisi data, gambar, tabel atau analisis dan lain-lain yang karena terlalu banyak, sehingga tidak mungkin untuk dimasukkan kedalam bab-bab sebelumnya.
8. Kutipan
Dalam penulisan hasil penelitian ilmiah biasanya dimasukkan kutipan-kutipan. Ada beberapa macam kutipan sebagai berikut:
a. Kutipan langsung (Direct Quatation) yang terdiri dari kutipan langsung pendek dan kutipan langsung panjang. Kutipan langsung pendek adalah kutipan yang harus persis sama dengan sumber aslinya dan ini biasanya untuk mengutip rumus, peraturan, puisi, difinisi, pernyataan ilmiah dan lain-lain. Kutipan langsung pendek ini adalah kutipan yang panjangnya tidak melebihi tiga baris ketikan. Kutipan ini cukup dimasukkan kedalam teks dengan memberi tanda petik diantara kutipan tersebut. Sedangkan kutipan panjang langsung adalah kutipan yang panjangnya melebihi tiga baris ketikan dan kutipan harus diberi tempat tersendiri dalam alinea baru.
b. Kutipan tidak langsung (Indirect Quatation) merupakan kutipan yang tidak persis sama dengan sumber aslinya. Kutipan ini merupakan ringkasan atau pokok-pokok yang disusun menurut jalan pikiran pengutip. Baik kutipan tidak langsung pendek maupun panjang harus dimasukkan kedalam kalimat atau alinea. Dalam kutipan tidak langsung pengutip tidak boleh memasukkan pendapatnya sendiri.
Catatan kaki atau footnone adalah catatan tentang sumber karangan dan setiap mengutip suatu karangan harus dicantumkan sumbernya. Kewajiban mencantumkan sumber ini untuk menyatakan penghargaan kepada pengarang lain yang menyatakan bahwa penulis meminjam pendapat atau buah pikiran orang lain. Unsur-unsur dalam catatan kaki meliputi: nama pengarang, judul karangan, data penerbitan dan nomor halaman.
Ada dua cara dalam menempatkan sumber kutipan sebagai berikut:
1) Cara ringkas yaitu menempatkan sumber kutipan dibelakangbahan yang dikutip yang ditulis dalam tanda kurung dengan menyebutkan “Nama pengarang, Tahun penerbitan dan Halaman yang dikutip”.
2) Cara langsung yaitu menempatkan sumber kutipan langsung dibawah pernyataan yang dikutip yang dipisahkan dengan garis lurus sepanjang garis teks. Jarak antara garis pemisah dengan teks satu spasi, jarak antara garis pemisah dengan sumber kutipan dua spasi, dan jarak baris dari kutipan harus satu spasi.
BAB IX
BAB VII
LAPORAN
1. Pengertian Laporan
Seseorang yang ditugaskan untuk meneliti suatu daerah atau suatu pokok persoalan tertentu, harus menyampaikan suatu laporan mengenai hal yang ditugaskan kepadanya itu. Ia sebenarnya mengetahui banyak hal selama menjalankan tugasnya itu. Sebab itu ia bisa menceritakan semuanya dalam suatu karangan yang panjang lebar. Tetapi semua itu tidak perlu diceritakannya. Dalam laporan yang ditulisnya ia hanya menyampaikan hal-hal yang esensil, hal-hal yang pokok yang bertalian dengan tugasnya, sehingga orang yang menerima laporan itu segera mengetahui masalahnya, dan dapat segera mengambil langkah-langkah yang diperlukan. Penulis laporan harus menyadari dan berusaha agar apa yang disampaikan itu merupakan hal-hal yang penting, bukan mengenai pengalaman-pengalaman pribadi atau hal-hal yang kurang penting bila dibandingkan dengan masalah yang dihadapi.
Apa yang dikemukakan di atas hanya merupakan suatu ilustrasi mengenai pengertian laporan. Sebenarnya laporan itu sendiri merupakan suatu suatu jenis dokumen yang sangat bervariasi bentuknya, dan sebab itu sukar diberi suatu batasan pengertian yang jelas. Laporan sangat penting, terutama dalam menyusun kebijakan-kebijakan. Dalam dunia perusahaan dan instansi pemerintah, kegiatan menulis laporan memegang peranan penting karena tindakan selanjutnya diambil berdasarkan laporan yang diterima. Laporan itu ada yang ditulis dalam jangka waktu tertentu yang disebut laporan periodik, dan ada juga yang ditulis berdasarkan kebutuhan dan permintaan. Laporan ilmiah jenis ini biasanya ditulis oleh staf ahli.
Seringkali karena luasnya organisasi-organisasi, pimpinan tidak dapat menguasai keadaan secara terperinci mengenai semua hal ihwal yang terjadi pada tingkat bawah dari organisasi yang dipimpinya. Tetapi dengan bantuan laporan pimpinan atas dapat mengetahui secara terus-menerus apa yang terjadi setiap hari pada unit-unit yang paling bawah. Dengan mempertimbangkan bahan-bahan yang disampaikan melalui laporan-laporan, akhirnya sebagai pemimpin ia dapat mengambil kebijaksanaan yang tepat dan cepat.
Sebagai pegangan mengenai pengertian laporan, kita dapat mengatakan bahwa laporan adalah suatu cara komunikasi di mana penulis menyampaikan informasi kepada seseorang atau suatu badan karena tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Karena laporan yang dimaksud sering mengambil bentuk tertulis, maka dapat pula dikatakan bahwa laporan merupakan suatu macam dokumen yang menyampaikan informasi mengenai sebuah masalah yang telah atau tengah diselidiki, dalam bentuk fakta-fakta yang diarahkan kepada pemikiran dan tindakan yang akan diambil.
2. Bentuk-bentuk Laporan
a. Laporan Bentuk Formulir Isian
Untuk menulis sebuah laporan yang berbentuk formulir isian biasanya telah disiapkan blangko daftar isian yang diarahkan kepada tujuan yang akan dicapai. Laporan semacam ini biasanya bersifat rutin, dan seringkali berbentuk angka-angka. Walaupun laporan berbentuk angka-angka itu bukan merupakan tulisan, namun semua angka itu harus dilakukan dengan secermat-cermatnya.
b. Laporan Bentuk Surat
Bila sebuah laporan tidak banyak mengandung tabel, angka, atau sesuatu hal lain yang digolongkan dalam tabel dan angka, maka bentuk yang paling umum dipergunakan adalah laporan berbentuk surat. Laporan yang mengambil bentuk ini tidak banyak berbeda dengan sebuah surat biasa, kecuali bahwa ada sesuatu subjek yang ingin disampaikan agar dapat diketahui oleh penerima laporan. Bila penulis memutuskan untuk mempergunakan bentuk surat bgai laporannya, maka pendekatan yang bersifat pribadi memegang peranan yang penting, seperti halnya dengan surat-surat lainnya. Namun bentuknya biasanya jauh lebih panjang dari surat-surat biasa.
c. Laporan Bentuk Artikel
Artikel ditulis untuk pembaca tertentu, umpamanya untuk dianut dalam majalah ilmiah. Jika artikel ini ditujukan untuk orang awam, biasanya penyajiannya secara populer dan dimiat pada surat kabar atau dalam majalah umum. Menurut arti kata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan bahwa Artikel adalah: (1) karya tulis lengkap misal laporan berita atau esai dalam majalah, surat kabar, dsb; (2) bagian undang-undang atau peraturan yang berupa ketentuan; pasal; (3) unsur yang dipakai untuk membatasi atau memodifikasi nomina, misal the dalam bahasa Inggris. (Depdiknas, 2002:66)
Selanjutnya, Komaruddin berpendapat bahwa Artikel adalah: (1) suatu bagian tertentu dari suatu dokumen (seperti undang-undang, perjanjian, atau traktat) yang berhubungan dengan suatu subjek tunggal; (2) karya tulis dalam bentuk prosa nonfiksi yang membentuk bagian yang bebas dari suatu publikasi dan lazimnya berhubungan dengan topik tunggal. (2002:22).
Dengan demikian, laporan berbentuk artikel ini merupakan laporan berita atau esai dalam surat kabar, majalah, dan sebagainya atau bagian tertentu dari suatu dokumen yang berhubungan dengan suatu subjek tunggal dan lazimnya berhubungan dengan topik tunggal.
d. Laporan Bentuk Buku
Suatu macam laporan untuk kepentingan pendidikan atau perkuliahan di Perguruan Tinggi disebut Laporan Buku. Laporan buku sebenarnya bertujuan untuk mendorong mahasiswa membaca buku-buku yang diwajibkan atau yang dianjurkan. Serta meningkatkan kemampuan mereka memahami isi-isi buku tersebut. Untuk memahami buku tersebut maka semua prosedur yang perlu untuk meringkas sebuah karangan ditetapkan pula laporan buku. Bagian-bagian laporan buku terdiri dari bagian-bagian berikut: Judul, Pendahuluan (mencakup Surat Penyerahan dan Pendahuluan), Isi laporan, Kesimpulan dan Saran.
Pendahuluan mengemukakan tugas yang diberikan itu, khususnya dalam bidang apa dan untuk tingkat pendidikan yang mana. Di samping itu disebutkan pula judul buku, nama pengarang, tempat penerbitan, penerbit, tahun terbit, cetakan atau edisi ke berapa. Hal lain yang perlu disebut adalah jumlah halaman dan jumlah babnya; kalau perlu disebutkan pula formatnya. Semua pokok ini merupakan bahan keterangan teknis mengenai buku yang bersangkutan.
Setelah keterangan teknis, maka disusul dengan inti pokok dari laporan buku itu sendiri, yaitu berupa ringkasan isi buku itu. Bila perlu, ringkasan itu harus diperinci bab demi bab. Ringkasan yang dikerjakan ini, akan bertindak sebagai isi laporan buku atau isi laporan karangan.
Laporan buku tidak hanya berakhir dengan penyajian ringkasan buku, tetapi perlu diakhiri dengan sebuah kesimpulan. Kesimpulan itu berisi penilaian penulis tentang isi buku itu, tentang cara pendekatan persoalannya, cara penyusunannya, bagaimana bahasa yang digunakan, teknik pencetakan dan sebagainya; secara singkat kesimpulan memuat pendapat mahasiswa mengenai kelebihan dan kekurangan buku itu. Bagian ini, walaupun tidak diminta oleh pengajar, sebaiknya dilakukan juga sebagai latihan ke arah pembacaan secara kritis.
3. Bahasa Laporan
Bahasa yang dipergunakan dalam sebuah laporan formal haruslah bahasa yang baik (sederhana dan lugas), jelas (singkat dan mudah dipahami), dan teratur. Yang dimaksud dengan bahasa yang baik tidak perlu berarti bahwa laporan itu harus mempergunakan gaya bahasa yang penuh hiasan. Tetapi sekurang-kurangnya dari segi sintaksis bahasanya teratur, jelas memperlihatkan hubungan yang baik antara satu kata dengan kata yang lain, antara satu kalimat dengan kalimat yang lain. Pemakaian kata yang tepat untuk gagasan yang akan disampaikan merupakan unsur yang penting dalam menentukan gaya bahasanya. Laporan juga harus dapat dipahami dengan mudah.
Lugas maksudnya PAPARAN bahasa yang lugas akan menghindari kesalah-pahaman dan kesalahan menafsirkan isi kalimat dapat dihindarkan.Penulisan yang bernada sastra perlu dihindari.
Contoh-1 :
Mahasiswa sering mendapatkan tugas yang tidak dapat dikatakan ringan sehingga kemampuan berfikirnya menjadi
berada di awang-awang.
Contoh-2 :
Mahasiswa sering mendapatkan tugas yang berat sehingga
kemampuan berfikirnya menjadi menurun.
Jelas maksudnya Gagasan akan mudah dipahami apabila (1) dituangkan dalam bahasa yang jelas dan (2) hubungan antara gagasan yang satu dengan yang lain juga jelas. Kalimat yang tidak jelas, umumnya akan muncul pada kalimat yang sangat panjang.
Contoh-1:
Struktur cendawan pembentuk mikoriza (CPM) pada apikal akar berbentuk bebas dan berpengaruh tidak langsung terhadap kapasitas serapan hara oleh akar, misalnya dalam kompetisi dalam memanfaatkan karbohidrat, karena cendawan pembentuk mikorisa sangat tergantung kepada kandungan karbon tanaman inang sebagai sumber energinya serta kapasitas dan mekanisme CPM dalam menyerap hara hanya akan dievaluasi dari asosiasinya dengan tanaman inang.
Contoh-2 :
Struktur Cendawan pembentuk Mikoriza (CPM) pada apical akar berbentuk bebas dan berpengaruh tidak langsung terhadap kapasitas serapan hara oleh akar, misalnya dalam kompetisi dalam memanfaatkan karbohidrat. Cendawan pembentuk mikorisa sangat tergantung kepada kandungan karbon tanaman inang sebagai sumber energinya. Kapasitas dan mekanisme CPM dalam menyerap hara hanya akan dievaluasi dari asosiasinya dengan tanaman inang.
Singkat dan mudah dipahami merujuk pada kandungan gagasan yang diungkapkan dengan unsur-unsur bahasa. Karena itu, jika gagasan yang terungkap sudah memadai dengan unsur bahasa yang terbatas tanpa pemborosan, ciri kepadatan sudah terpenuhi.
Contoh-1 :
Tri dharma perguruan tinggi menjadi ukuran kinerja setiap
sivitas akademika.
Contoh-2:
Tri dharma perguruan tinggi sebagaimana yang tersebut pada
Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang SistemPendidikan Tinggi menjadi ukuran kinerja dan prosedur standar setiap sivitas akademika.
Keringkasan dan kepadatan penggunaan bahasa laporan juga ditandai dengan tidak adanya kalimat atau paragraf yang berlebihan dalam laporan.
Contoh-1:
Berdasarkan hasil analisis biji tanaman di Laboratorium Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Jember bahwa biji kedelai tidak mengandung genetic modified organis (GMO).Dengan demikian, tidak menyalahi aturan tentang uji coba produk berbahan baku kedelai. Artinya, produk olahan berbahan baku kedelai aman bagi kesehatan manusia. Isu negatif yang selama ini berkembang bahwa kedelai mengandung GMO adalah tidak benar.
Contoh-2:
Hasil analisis biji tanaman di Laboratorium Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Jember bahwa biji kedelai tidak mengandung genetic modified organism (GMO). Isu negatif yang selama ini berkembang bahwa kedelai mengandung GMO adalah tidak benar.
Penggunaan kata ganti orang pertama dan kedua harus dihindari, kecuali penggunaan kata “kami” bila yang menyampaikan laporan adalah suatu badan atau satuan tugas. Alasan untuk menghindari penggunaan kata-kata tersebut pertama, karena akan jarang digunakan dalam laporan itu. Konsentrasi diletakkan pada topik yang dilaporkan. Alasan kedua, nilai kedua kata itu juga tergantung dari siapa yang menulis dan siapa yang harus menerima laporan.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
KEEFEKTIFAN MODEL PEMBELAJARAN PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR (MP PKB) DALAM PEMBELAJARAN MENULIS OLEH SISWA KELAS XI SMA NEGERI 1 KUALUH HULU KABUPATEN LABUHAN BATU TAHUN PEMBELAJARAN 2006/2007
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
SUSANDI
NIM 03310116
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2007
PERSETUJUAN
Skripsi ini Diajukan oleh Susandi, NIM 03310116, Jenjang S-1,
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Fakultas Bahasa dan Seni,
Universitas Negeri Medan
Disetujui untuk Diajukan dalam Ujian Mempertahankan Skripsi
Medan, Agustus 2007
Disetujui oleh
Dosen Pembimbing Skripsi
Drs. Sanggup Barus
NIP 130882503
PENGESAHAN
Skripsi ini Diajukan oleh Susandi, NIM 03310116, Jenjang Studi S-1,
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Fakultas Bahasa dan Seni,
Universitas Negeri Medan
Dinyatakan telah Memenuhi Persyaratan untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan
Medan, September 2007
Dosen Pembimbing Skripsi
Drs. Sanggup Barus
NIP 130882503
PENGESAHAN
Skripsi ini Diajukan oleh Susandi, NIM 03310116, Jenjang Studi S-1,
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Fakultas Bahasa dan Seni,
Universitas Negeri Medan
Dinyatakan telah Memenuhi Peryaratan untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan
Medan, September 2007
Panitia Penguji
Ketua, Sekretaris,
Prof. Dr. Khairil Ansari, M. Pd. Dra. Rosmawaty, M. Pd.
NIP 131765638 NIP 131662744
PENGESAHAN TIM PENGUJI
Skripsi ini Telah Diujikan dan Dinyatakan Memenuhi Persyaratan
untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Tim Penguji
Medan, September 2007
Tanda Tangan
Drs. Sanggup Barus
NIP 130882503
Drs. Biner Ambarita, M. Pd.
NIP 131411227
Dra. Rosmawaty, M. Pd.
NIP 131662744
Drs. Tingkos Sinurat, M. Pd.
NIP 131765640
ABSTRAK
Susandi, NIM 03310116, Keefektifan Model Pembelajaran Peningkatan Kemampuan Berpikir dalam Pembelajaran Menulis oleh Siswa Kelas XI SMA Negeri 1 Kualuh Hulu Kabupaten Labuhan Batu Tahun Pembelajaran 2006/2007.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan Hasil pembelajaran menulis karangan argumentasi yang menggunakan model pembelajaran peningkatan berpikir (MP PKB) dengan hasil pembelajaran menulis karangan argumentasi tanpa menggunakan model pembelajaran peningkatan berpikir (MP PKB). Populasi dari penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI SMA Negeri 1 Kualuh Hulu Kabupaten Labuhan Batu Tahun Pembelajaran 2006/2007 yang berjumlah 264 orang siswa. Sampel penelitian ini sebanyak 40 orang dari 264 orang dari jumlah populasi dengan pen
0 komentar:
Posting Komentar
berilah komentar yang saling mendukung saling menghormati sesama