Pendahuluan
Allah ‘Azza wa Jallah telah menurunkan Al Qur’an sebagai pedoman bagi kaum Muslimin, dan tempat berpijak mereka dalam mengarungi kehidupan. Maka selayaknyalah kita merenungi, memahami, mengikuti petunjuknya, dan mengambil pengetahuan darinya. Kemudian menegakkan perintah-perintah dan hal yang disukainya, serta menjauhkan diri dari segala larangan dan hal yang di bencinya.
Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman:
كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيـْكَ مُبَارَكٌ لِّيـَدَّبَّرُواْ آيَاتِهِ وَلِيَتـَذَكَّرَ أُوْلـُو لأَلْبـَاب
Artinya: “(Inilah) kitab yang kami turunkan kepada engkau lagi diberkati, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat peringatan orang-orang yang berakal.” (QS, Shad: 29)
Dan FirmanNya:
أَفَلاَ يَتـَدَبَّرُونَ ?لـْقـُرْآنَ أَمْ عَلَى? قُلـُوبٍ أَقْفـَا لُهَآ
Artinya: “Tidakkah mereka memperhatikan Al Qur’an?, ataukah hati mereka terkunci?”. (QS, Muhammad: 24)
Firman Allah swt yang lain:
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا ?لـْقـُرْآنَ لِلـذِّكْرِ فَهـَلْ مِن مُّدَّكِـرٍ (القمر(22
Artinya: “Sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur’an (bagi manusia) untuk jadi pengajaran, adakah orang yang hendak mengambil pelajaran (daripadanya)”. (QS, Al Qamar: 22)
Definisi Tafsir
Secara etimologis, tafsir berarti الإيضاح و التبـيـين yang berarti keterangan dan penjelasan.[2] Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَلاَ يَأْتـُونَكَ بِمَثـَلٍ إِلاَّ جِئـْنَاكَ بِ?لْحَـقِّ وَأَحْـسـَنَ تـَفْـسِـيراً (الفرقان(
Artinya: “Mereka tidak memberikan suatu contoh (yang buruk) kepada engkau, melainkan Kami berikan pula kebenaran kepada engkau beserta keterangan yang baik”. (QS, Al Furqan: 33).
Adapun secara istilah, tafsir adalah: Ilmu untuk memahami kitab Allah swt, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Menjelaskan maknanya serta mengeluarkan hukum-hukum dan hikmahnya.
Perbedaan Tafsir dengan Takwil
Tafsir adalah makna zhahir dari Al Quranul Karim yang jelas penunjukannya atas makna yang dimaksud dari nash Qur’an.
Sedangkan Takwil adalah makna yang tesembunyi yang diistinbath dari ayat-ayat Qur’an, yang membutuhkan pemikiran dan istinbath yang membawa kepada banyak makna. Maka seorang mufassir akan mengembalikan maknanya kepada dalil (penunjukan) yang lebih kuat dan jelas.
Pembagian Tafsir
Secara ilmiah, tafsir terbagi menjadi tiga bagian:
1. Tafsir bir-riwayah atau tafsir bil-ma’tsur
2. Tafsir bid-dirayah atau tafsir bir-ra’yi
3. Tafsir bil-isyarah atau tafsirul isyari.[1]
Berikut adalah definisi dari tiap-tiap bagian tafsir tersebut:
Tafsir bir-riwayah atau tafsir bil-ma’tsur: Adalah penafsiran Al Qur’an dengan Qur’an, atau dengan Hadits ataupun perkataan para Shahabat, untuk menjelaskan kepada sesuatu yang dikehendaki Allah swt.[2]
Mengenai penafsiran Al Qur’an dengan perkataan para sahabat
Ketahuilah, bahwasanya Tafsir Shahabat termasuk Tafsir yang dapat diterima dan dijadikan sandaran. Karena para Shahabat (semoga Allah meridhoi mereka), telah dibina langsung oleh Rasulullah saw, dan menyaksikan turunnya wahyu serta mengetahui sebab-sebab diturunkannya ayat. Dan juga dikarenakan kebersihan hati mereka, dan ketinggian martabat mereka dalam kefashihan dan bayan. Juga karena faham mereka yang shahih dalam menafsirkan Kalam Allah swt. Dan juga dikarenakan mereka lebih mengetahui rahasia-rahasia yang terkandung dalam Al Qur’an dibandingkan seluruh manusia setelah generasi mereka.
Berkata Imam Hakim Rahimahullah: Sesungguhnya tafsir para Shahabat (semoga Allah meridhoi mereka) yang mana mereka telah menyaksikan wahyu dan turunnya Al Qur’an dihukumkan Marfu’ (sampai atau bersambung kepada Nabi saw). Ataupun dengan kata lain, tafsir para Shahabat mempunyai hukum hadits Nabawi yang Marfu’ kepada Nabi saw.[3]
Contoh penafsiran Al Qur’an dengan Al Qur’an:
Seperti firman Allah swt:
وَأُحِلَّتْ لَكُمُ ?لأَنْعَامُ إِلاَّ مَا يُتْلَى? عَلَيْكُمْ
Artinya: “telah dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali apa yang akan dibacakan kepadamu…” (QS, Al Hajj: 30)
Kata: إِلاَّ مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ ditafsirkan dengan ayat lain, yaitu:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ ?لْمَيْتَةُ وَ?لْدَّمُ وَلَحْمُ لْخِنْزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ لِغَيْرِ ?للَّهِ بِهِ
Artinya: “Diharamkan bagi kamu sekalian (memakan) bangkai, darah, daging babi dan (hewan) yang disembelih bukan dengan nama Allah”. (QS, Al Ma’idah: 3).[4]
Contoh penafsiran Al Qur’an dengan Hadits:
Kitab-kitab Tafsir bil-ma’tsur yang terkenal:
1. Jami’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an, oleh: Ibnu Jarir Ath Thabari
2. Bahrul ‘Ulum, oleh: Abu al Laits As Samarqandi
3. Al Kasyfu wal Bayan ‘an Tafsiril Qur’an, oleh: Abu Ishaq Ats Tsa’labi
4. Ma’alimut Tanzil, oleh: Al Husain bin Mas’ud Al Baghawi
5. Al Muharrir al Wajîz fi Tafsîr Al Kitâb Al ‘Azîz, oleh: Ibnu ‘Athiyyah Al Andalusi
6. Tafsirul Qur’anil Adzim, oleh: Al Hafidz Imaduddin Ibnu Katsir
7. Al Jawahirul Hisan, oleh: Abdurrahman Ats Tsu’alibi
8. Ad Durrul Mantsur, oleh: Jalaluddin As Suyuthi
9. Tanwirul Miqbas min Tafsir Ibni ‘Abbas, oleh: Abu Thahir Al Fairuz Abadi.[5]
Selayang pandang kitab-kitab Tafsir bil-ma’tsur
Jami’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an
Pengarangnya Ibnu Jarir Ath Thabari, kuniyah[6] nya Abu Ja’far. Lahir tahun 224 H, Wafat tahun 310 H. Kitab ini dikenal dengan sebutan Tafsir At Thabary, yang pembahasannya didasarkan atas riwayat-riwayat dari Rasulullah Saw, para Shahabat, dan Tabi’in. Tafsirnya berisi juga kisah atau riwayat yang tidak shahih, termasuk cerita Isra’iliyat. Pokok-pokok gramatika Al Qur’an juga dibahas dan dijelaskan di dalamnya. Namun demikian, kitab ini merupakan salah satu karya tafsir yang paling terkenal dan dijadikan rujukan oleh hampir setiap ulama. Tafsir ini menjadi referensi utama serta pokok bahasan bagi tafsir-tafsir berikutnya.
Ketika Syaikhul Islam Taqiyuddin Ahmad ibnu Taimiyah ditanyakan tentang tafsir mana yang lebih dekat kepada Al Qur’an dan Sunnah? Ia menjawab bahwa di antara semua tafsir yang ada pada kita sekarang, Tafsir Muhammad bin Jarir At Thabari adalah yang paling otentik. Ia menambahkan, At Thabari dalam tafsirnya memuat ajaran-ajaran salaf dengan rangkaian sanad yang mapan dan tidak ada bid’ah di dalamnya.
Penjelasan tentang tata bahasa dan aspek-aspek lain dari bahasa Arab yang ada sekarang dan kemudian, merupakan suatu keharusan dan keniscayaan dalam kitab ini. Tafsir ini tidak terlepas dari perdebatan teologis yang begitu menonjol pada masanya, sehingga di dalamnya terdapat kritik terhadap Qadariyah dan Jabariyah. Pembahasan mengenai fiqh dibuat sangat menarik, di mana dikemukakan pendapat hukum yang independen dan persoalan-persoalan fiqh yang berbeda dari keempat madzhab yang sudah mapan di kalangan Ahlussunnah.[7]
Ma’alimut Tanzil
Pengarang tafsir ini bernama Al Husain bin Mas’ud al Farra’ Al Baghawi. Dia seorang ahli fiqh, tafsir dan hadits. Ia dijuluki Muhyi as Sunnah (Si penghidup sunnah). Adapun kunyah beliau adalah Abu Muhammad. Beliau wafat tahun 510H, pada usia 80 tahun. Beliau seorang imam yang agung, penuh wara’ dan zuhud serta teguh memegang ilmu dan giat beramal. Bahkan As Subki menganggapnya sebagai ulama Syafi’iyah yang paling alim.
Dalam Muqaddimah Ushulut Tafsir Ibnu Taimiyah berkata: “Tafsir Baghawi memang lebih ringkas ketimbang tafsir ats Tsa’labi, namun dia menjaga tafsirnya dari hadits-hadits dha’if serta pendapat-pendapat yang bid’ah.”[8]
Tafsir ini telah dicetak bersama tafsir Ibnu Katsir dan tafsir Al Khazin. Akan tetapi dalam tafsir ini juga ada sebagian kisah israiliyat, hanya saja kisah itu dalam bentuk yang lebih bagus, dan selamat dibandingkan kebanyakan kitab tafsir bil-ma’tsur.[9]
Al-Muharrir al-Wajîz fi Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz
Tafsir ini adalah karya Abdul Haqq bin Ghalib bin ‘Athiyyah Al Andalusi Al Gharnathi. Kunyahnya Abu Muhammad, lahir tahun 481 H dan wafat tahun 546 H. Kitab tafsir ini lebih dikenal dengan sebutan Tafsir Ibnu ‘Athiyah dan memiliki posisi tinggi di antara kitab-kitab tafsir, menurut jumhur ulama. Sayyid Muhammad Ali Iyazi menilai bahwa metode yang digunakan penulis kitab ini adalah kombinasi antara pendekatan riwayat (ma’tsur) dan pendekatan rasio (ra’yi). Lain halnya dengan Adz-Dzahabi yang mengkategorikannya sebagai tafsir bil-ma’tsur, yang dominan merujuk kepada Tafsir At Thabari.[10]
Pembahasan tafsir ini sarat dengan pendekatan bahasa dan sastra, sebagaimana yang dilakukan oleh Az Zamakhsyari dalam Tafsir Al Kasysyâf. Karenanya, tidaklah mengherankan bila Ibnu Taimiyah[11]pernah melakukan perbandingan antara tafsir ini dan Tafsir Az Zamakhsyari, dengan mengambil kesimpulan bahwa Tafsir Ibnu ‘Athiyah memang lebih baik. Ia lebih shahih dalam rujukan dan pembahasannya, serta lebih terhindar dari bid’ah (termasuk cerita Isra’iliyat) dan kalaupun ada, itu hanya sebagian Bahkan, ia lebih baik darinya (Tafsir Az Zamakhsyari) dalam banyak hal, komentarnya lebih lanjut. Begitu juga Abu Hayyan dalam pendahuluan kitabnya (Al Bahrul Muhith), yang memberikan pernyataan: “Kitab Ibnu ‘Athiyah lebih luas dan komprehensif, sedangkan Tafsir Az Zamakhsyari lebih simpel”[12].
Ada beberapa kitab yang mendapat pengaruh kitab tafsir ini, antara lain: Kitab Al Bahr al Muhith karya Abu Hayyan al-Andalusi, Jami’ Ahkamul Qur’an karya al-Qurthubi, dan Al Jawahir Al Hisan fi Tafsir Al Qur’an karya Ats Tsu’aliby Al Maghribi.
Tafsirul Qur’anil Adzim
Pengarang tafsir ini adalah Al Hafizh Imaduddin Ismail bin’Amr bin Katsir Al Quraisyi Ad Dimasyqi. Kunyahnya adalah Abul fida’. Lahir tahun 700H, dan wafat 774H. Ibnu Katsir adalah seorang imam besar dan seorang hafizh. Dia belajar kepada Ibnu Taimiyyah dan mengikuti dalam sejumlah besar pendapatnya. Para ulama’ mengakui keluasan ilmunya terutama dalam bidang tafsir, hadits dan sejarah. Kitab sejarahnya adalah Al Bidayah wan Nihayah merupakan rujukan utama dalam sejarah Islam. Dan kitab tafsirnya, Tafsirul Qur’anil Adzim, merupakan tafsir paling terkenal diantara sekian banyak kitab-kitab tafsir bil-ma’tsur yang pernah ditulis, dan menduduki peringkat kedua setelah tafsir Ibnu Jarir Ath Thabari.
Ibnu Katsir menafsirkan Kalamullah dengan hadits dan atsar yang disandarkan kepada pemiliknya, serta membicarakan pula masalah jarh dan ta’dil yang diperlukan, mentarjih sebagian pendapat atas yang lain, menetapkan kelemahan sebagian riwayat dan menyatakan shahih pada riwayat yang lain.
Keistimewaan Ibnu Katsir terletak pada seringnya ia memperingatkan akan riwayat-riwayat Israiliyyat munkar yang terdapat dalam tafsir bil-ma’tsur. Juga pada pengungkapan berbagai pendapat ulama’ tentang hukum fiqh yang kadang disertai pendiskusian atas mazhab dan dalil yang dikemukakan mereka masing-masing.[13]
Hukum Tafsir bil-ma’tsur: Tafsir bil-ma’tsur adalah tafsir yang harus diikuti dan dijadikan pedoman, karena ia adalah jalan pengetahuan yang benar dan merupakan cara paling aman untuk menjaga diri dari ketergelinciran dan kesesatan dalam memahami Kitabullah.[14]
Tafsir bid-dirayah atau tafsir bir-ra’yi: Adalah tafsir yang dalam menjelaskan maknanya, Mufassir hanya perpegang pada pemahaman sendiri. Dan penyimpulan (istinbath) yang didasarkan pada ra’yu semata.[15]
Pembagian Tafsir bir-ra’yi:
Tafsir bir-ra’yi terbagi menjadi dua bagian:
1. Tafsir Mahmud
2. Tafsir Madzmum[16]
Tafsir Mahmud: Adalah suatu penafsiran yang sesuai dengan kehendak syari’at (penafsiran oleh orang yang menguasai aturan syari’at), jauh dari kebodohan dan kesesatan, sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa arab, serta berpegang pada uslub-uslubnya dalam memahami nash-nash Qur’aniyah.
Kitab-kitab Tafsir bir-ra’yi al mahmud yang terkenal:
1. Mafatihul Ghaib, oleh: Fakhruddin Ar Razi
2. Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, oleh Al Baidhawi
3. Madarikut Tanzil wa Haqa’iqut Ta’wil, oleh: An Nasafi
4. Lubabut Ta’wil fi Ma’anit Tanzil, oleh: Al Khazin
5. Al Bahrul Muhith, oleh: Abu Hayyan
6. Tafsir al Jalalain, oleh: Jalaluddin Al Mahalli dan Jalaluddin As Suyuthi
7. Ghara’ibul Qur’an wa Ragha’ibul Furqan, oleh: An Naisaburi
8. As Sirajul Munir, oleh: Al Khatib Asy Syarbini
9. Irsyâd al-‘Aql as-Salîm, oleh: Abu As Sa’ud
10. Ruhul Ma’ani, oleh Al Alusi.[17]
Selayang pandang kitab-kitab Tafsir bir-ra’yi al mahmud
1. Mafatihul Ghaib
Tafsir ini adalah karya Muhammad bin Umar bin Al Hasan At Tamimi Al Tabaristani Ar Razi (Fakhruddin Ar Razi), masyhur dengan Ibnul Khatib Asy Syafi’i Al Faqih. Dilahirkan di Ray pada tahun 543H, dan wafat di Harah pada 606H.[18]
Dalam penafsirannya beliau menempuh jalan para hukama Al Ilahiyyah, yang tercermin pada dalil-dalil beliau dalam pembahasan-pembahasan tentang Tuhan. Disitu beliau menentang aliran Mu’tazilah dan aliran-aliran tersesat lainnya dengan alasan-alasan yang kuat dan bukti-bukti yang nyata. Beliau juga menolak tuduhan-tuduhan dari orang-orang yang ingkar dan menentang agama dengan uraian-uraian yang amat jelas. Sungguh tafsir beliau ini merupakan yang terluas dalam membahas ilmu kalam.
Ar Razi juga seorang ahli dalam ilmu kedokteran dan ilmu alam. Beliau juga berbicara soal astronomi, juga tentang langit dan bumi, hewan dan tumbuh-tumbuhan, bahkan tentang manusia. Tujuan utama beliau dalam tafsirnya adalah untuk menolong kebenaran serta mengetengahkan bukti-bukti adanya Allah ‘Azza wa Jalla, disamping menentang ulah orang-orang yang tersesat.[19]
2. Madarikut Tanzil wa Haqa’iqut Ta’wil
Tafsir ini ditulis oleh Syaikh Al Alim Az Zahid Abdullah bin Ahmad An Nasafi. Wafat tahun 701H. Tafsir ini dikenal juga dengan “Tafsir An Nasafi” (dinisbahkan pada penulisnya), tafsir ini sebuah tafsir besar, terkenal, mudah dan mendalam. Bila dibandingkan dengan tafsir-tafsir ra’yu yang lain lebih ringkas dan sempurna.
Pengarang kitab Kasyfuzh zhunun mengatakan: “Tafsir ini adalah kitab sederhana tentang takwil, namun mencakup seluruh segi i’rab dan qira’ah, mencakup segala keindahan ilmu badi’ dan isyarat, memuat beberapa pendapat ahlus sunnah wal jama’ah dan jauh dari kebathilan kelompok-kelompok bid’ah dan menyesatkan. Kitab ini tidak panjang lebar, namun juga tidak pendek”.[20]
3. Al Bahrul Muhith
Pengarang tafsir ini adalah Syaikh Muhammad bin Yusuf bin hayyan Al Andalusi,. Wafat tahun 745H. Tafsir ini terdiri dari delapan jilid, yang mana beliau melengkapi beberapa bidang ilmu, yang meliputi nahwu, sharaf, balaghah, hukum-hukm fiqhiyyah dan lain-lainnya, sehingga dianggap sebagai referensi tafsir. Bahasanya memang mudah. Dinamakan Al Bahrul Muhith, karena didalamnya memuat banyak ilmu yang bersangkutan dengan materi tafsir.[21]
Hukum Tafsir bir-ra’yi al mahmud: Menafsirkan Al Qur’an dengan ijtihad dan dengan memenuhi syarat-syaratnya (menguasai ilmu-ilmu yang mendukung penafsiran Al Qur’an), serta berpegang kepadanya dalam memberikan makna-makna terhadap ayat-ayat Al Qur’an, maka penafsiran itu telah patut disebut Tafsir Mahmud atau Tafsir Al Masyru’.[22]
Tafsir al Madzmum: Adalah penafsiran Al Qur’an tanpa berdasarkan ilmu, atau mengikuti hawa nafsu dan kehendaknya sendiri, tanpa mengetahui kaidah-kaidah bahasa atau syari’ah. Atau dia menafsirkan ayat berdasarkan mazhabnya yang rusak maupun bid’ahnya yang tersesat.
Contoh Tafsir Al Madzmum:
و من كان في هـذه أعمى فهـو في الآخـرة أعمى و أضـل سبيـلا
Artinya: “Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)”. (QS, Al Isra’: 72)
Pada ayat ini, sebagian orang bodoh dan tersesat menafsirkan bahwasanya setiap orang yang buta (matanya) di dunia, maka di akhiratpun mereka tetap buta mata, dan akan sengsara dan menderita di akhirat kelak dengan dimasukkannya mereka ke dalam neraka. Padahal yang dimaksudkan dengan buta dalam ayat ini adalah buta hati (عمى القلوب), dengan dalil firman Allah swt:
فاٍنها لا تعمى الأ بصـار و لكن تعمى القلوب التي في الصـدور
Artinya: “Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada”. (QS, Al Hajj: 46)[23][27]
Hukum Tafsir bir-ra’yi al Madzmum: Menafsirkan Al Qur’an dengan ra’yu dan Ijtihad semata tanpa ada dasar yang shahih adalah haram. Allah berfirman:
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
Artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya”. (QS, Al Isra’: 36)
Firman Allah lagi:
قـُلْ إِنَّمَا حـَرَّمَ رَبِّيَ ?لْفـَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَ?لإِثـْمَ وَ?لْبَغْيَ بِغَـيْرِ ?لْحَقِّ وَأَن تـُشْــرِكـُواْ بِ?للّـَهِ مَا لَمْ يُنـَزِّلْ بِهِ سُلْـطَاناً وَأَن تَقـُولُواْ عَلَى ?للّـَهِ مَا لاَ تَعْـلَمــُونَ
Artinya: “Katakanlah: Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa. Melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu. Dan (mengharamkan) kamu mengatakan terhadap Allah dengan sesuatu yang tidak kamu ketahui.” (Al A’raf: 33)[24]
Juga sabda Rasulullah saw:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Artinya: Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma dia berkata, bersabda Rasulullah saw: “Barang siapa menafsirkan Al Qur’an dengan tanpa ilmu, maka siapkanlah tempatnya di neraka”.[25]
Tafsir bil-isyarah atau tafsirul isyari: adalah takwil Al Qur’an berbeda dengan lahirnya lafal atau ayat, karena isyarat-isyarat yang sangat rahasia yang hanya diketahui oleh sebagian ulul ‘ilmi yang telah diberi cahaya oleh Allah swt dengan ilhamNya. Atau dengan kata lain, dalam tafsirul isyari seorang Mufassir akan melihat makna lain selain makna zhahir yang terkandung dalam Al Qur’an. Namun, makna lain itu tidak tampak oleh setiap orang, kecuali orang-orang yang telah dibukakan hatinya oleh Allah swt.[26][30
Hukum Tafsir bil-isyarah: Telah berselisih para ulama dalam menghukumi tafsir isyari, sebagian mereka ada yang memperbolehkan (dengan syarat), dan sebagian lainnya melarangnya.[27]
Ibnu Abbas berkata: Sesungguhnya Al Qur’an itu mengandung banyak ancaman dan janji, meliputi yang lahir dan bathin. Tidak pernah terkuras keajaibannya, dan tak terjangkau puncaknya. Barangsiapa yang memasukinya dengan hati-hati akan selamat. Namun barangsiapa yang memasukinya dengan ceroboh, akan jatuh dan tersesat. Ia memuat beberapa khabar dan perumpamaan, tentang halal dan haram, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih, zhahir dan batin. Zhahirnya adalah bacaan, sedang bathinnya adalah takwil. Tanyakan ia pada ulama, jangan bertanya kepada orang bodoh.[28]
Berkata Imam Az Zarkasyi dalam Al Burhan: Perkataan orang-orang sufi dalam tafsir Qur’an adalah bukan tafsir.
Syarat-syarat diterimanya tafsir bil-isyari:
1. Tidak meniadakan makna lahir ayat Al Karimah
2. Tidak menyatakan bahwa makna isyarat itu merupakan makna sebenarnya (makna satu-satunya), tanpa ada makna zhahir.
3. Hendaknya takwil yang digunakan tidak terlalu jauh, sehingga tidak sesuai dengan lafadz
4. Tidak bertentangan dengan syari’at maupun akal
5. Dalam takwilnya tidak menimbulkan keraguan pemahaman manusia[29].
Kitab-kitab Tafsir bil-isyari yang terkenal:
Tafsir Al Qur’an Al Karim, oleh: Sahal bin Abdullah At Tistari
Haqaiqut Tafsir, oleh: Abu Abdurrahman As Sulami
Al Kasf wal Bayan, oleh: Ahmad bin Ibrahim An Naisaburi
Tafsir Ibnu ‘Arabi, oleh: Muhyiddin Ibnu ‘Arabi
Ruhul Ma’ani, oleh Syihabuddin Al Alusi[30][34]
Selayang Pandang Kitab Tafsir bil-isyari:
• Tafsir Ruhul Ma’ani
Pengarangnya adalah Syihabuddin Sayyid Mahmud Alusi, wafat tahun 1270H. Beliau adalah mufti di Baghdad, yang juga terkenal sebagai seorang pujangga, ulama, ahli hikmah dan ma’rifah, serta memiliki pemahaman dan ilmu yang cukup luas. DR. Muhammad Husain Adz Dzahabi dalam At Tafsir wa Al Mufassirun, memasukkan kitab ini dalam kategori tafsir bir-ra’yi, sedangkan Syaikh Muhammad Ali Ash Shobuni dalam At Tibyan memasukkan tafsir ini dalam kategori tafsir bir-ra’yi dan bil-isyari sekaligus.
Dalam kitab ini beliau mengumpulkan pendapat-pendapat salafush shalih baik secara riwayah maupun dirayah. Di dalamnya juga memuat beberapa pendapat ahli ilmu, dan dilengkapi dengan tafsir-tafsir terdahulu. Disamping itu, beliaupun sangat berhati-hati terhadap riwayat israiliyat, melengkapinya dengan tafsir isyari dan banyak menyinggung tentang balaghah dan bayan. Boleh dibilang tafsir ini merupakan literatur utama dalam ilmu tafsir bir-riwayah, bid-dirayah maupun bil-isyari.[31]
Penutup
Demikianlah apa yang dapat penulis sajikan dalam makalah ini, semoga dapat memberi manfaat dan tambahan pengetahuan bagi yang membacanya. Walaupun penulis sadar bahwa di dalamnya masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Namun satu hal yang penulis yakini, bahwa kebenaran itu hanyalah milik Allah semata, dan kekhilafan serta kekeliruan memang dimiliki penulis.
Wallahu A’lam bish Shawab…
Daftar Pustaka:
Imam Jalaluddin Suyuthi, Al Itqan fi ulum Al Qur’an. Juz I, hal: 383
Syaikh Muhammad Ali Ash Shobuni, At Tibyan fi Ulum Al Qur’an, hal: 65.
Imam Az Zarkasyi, Al Burhan fi Ulum Al Qur’an, hal: 13.
Syaikh Jadul Haqq Ali Jadul Haqq, Min Ahkam Al Qur’an wa Ulumihi, hal: 27.
Syaikh Muhammad Abdul Adzim Az Zarqani, Manahilul’irfan fi ulum Al Qur’an. Juz I, hal: 479.
Syaikh Tsana’ullah Al Hindi, Tafsir Al Qur’an bikalam Ar Rahman, hal: 449.
DR. Muhammad Husain Adz Dzahabi, At Tafsir wa Al Mufassirun. Juz II, hal: 630.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Muqaddimah Ushul Al Tafsir, hal: 19.
Syaikh Muhammad Ali Ash Shobuni, Op.cit, hal: 187.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Majmu’ Fataawa. Juz II, hal: 142
Abu Hayan, Al Bahrul Muhith. Juz I, hal: 9.
Syaikh Manna’ Khalil Al Qattan, Mabahits fi Ulum Al Qur’an, hal: 376.
HR. Imam Tirmidzi dalam Kitab tafsirul Qur’an, Bab ما جاء في الذي يفسـر القـرآن برأيه , dan Imam Ahmad dalam Musnad Abdullah bin Abbas.
Syaikh Muhammad Abdul Adzim Az Zarqani, Op.cit. Juz I, hal: 546.
Imam Jalaluddin Syuyuthi, Al Itqan fi ulum Al Qur’an. Juz II, hal:185.
NB: Adz Dzahabi dalam kitabnya At Tafsir wa Al Mufassirun, memasukkan Tafsir At Tistari, Tafsir As Sulami, dan Tafsir Ibnu ‘Arabi dalam Tafsir Sufi. (Lihat: DR. Muhammad Husain Adz Dzahabi, At Tafsir wa Al Mufassirun. Juz II, hal: 632).
[1] Syaikh Muhammad Abdul Adzim Az Zarqani, Manahilul’irfan fi ulum Al Qur’an. Juz I, hal: 479
[2] Syaikh Tsana’ullah Al Hindi, Tafsirul Qur’an bikalam Ar Rahman, Daarus Salam Lin Nasyr wat Tawzi’ Cet.I (1423H/2002M), Riyadh.
[3] Imam Az Zarkasyi, Al Burhan fi Ulum Al Qur’an, hal: 13.
[4] Syaikh Tsana’ullah Al Hindi, Tafsir Al Qur’an bikalam Ar Rahman, hal: 449.
[5] DR. Muhammad Husain Adz Dzahabi, At Tafsir wa Al Mufassirun. Juz II, hal: 630.
[6] Kuniyah adalah: Panggilan seseorang yang diambil dari nama bapaknya atau nama anaknya.
[24] Syaikh Manna’ Khalil Al Qattan, Op.cit, hal: 363.
[25] HR. Imam Tirmidzi dalam Kitab tafsirul Qur’an, Bab ما جاء في الذي يفسـر القـرآن برأيه , dan Imam Ahmad dalam Musnad Abdullah bin Abbas.
[26] Syaikh Muhammad Ali Ash Shobuni, Loc.cit, hal: 171.
[27] Lihat: Syaikh Muhammad Abdul Adzim Az Zarqani, Op.cit. Juz I, hal: 546.
0 komentar:
Posting Komentar
berilah komentar yang saling mendukung saling menghormati sesama