I. Pendahuluan
Segala puji bagi Allah SWT. Yang senantiasa melimpahkan keagungan-Nya bagi setiap hamba yang masih bersedia untuk mencari ridho-Nya. Semoga untaian shalawat nan salam akan selalu mengalir dan menyemilir bak air yang mencair dari hulu ke hilir.
Dalam pengukiran makalah mungil ini, penulis akan sedikit memberikan penjelasan sekilas (in flash an explanation) mengenai pentingnya makalah yang membahas salah satu bagian dari ilmu Ulumul hadis yakni jarh wa ta’dil. Kenapa hal ini seakan sangat penting untuk dipaparkan? Karena salah satu dari bagian ulumul hadis ini (jarh wa ta’dil), merupakan media bagi peminat umat Islam untuk memahami dan menguasai tentang ilmu-ilmu hadis dari segi kecacatan dan keadilan periwayatannya, karenanya dengan mendalami beberapa ilmu yang di dalamnya, kita mampu menemukan persoalan esensial dalam satu persoalan, seperti persoalan yang akan penulis paparkan dalam pembahasan di halaman berikutnya.
Ilmu Jarh wa ta’dil, pada hakikatnya merupakan suatu bagian dari ilmu rijalil hadis. Akan tetapi, karena bagian ini dipandang sebagai yang terpenting maka ilmu ini dijadikan sebagai ilmu yang berdiri sendiri.[1] Disamping itu juga pembahasan dalam ruang lingkup jarh wa ta’dil ini sangatlah luas dan sangatlah melelahkan jikalau penulis menuturkan semuanya, itu karena saking rincinya dan amat mendetail. Nah hal ini yang menjadikan kenapa jarh wa ta’dil berdiri sendiri dan terpisah dari pembahasan ilmu rijalil hadis.
Hanya itulah sekilas pejelasan sebagai pendahuluan dari penulis yang dapat penulis batik dalam secarik kertas yang putih ini. Sebab, penulis hanyalah seorang yang dhoif dalam menuliskan sebuah makalah, penulis bukanlah sang creator ulung yang mampu menghasilkan sekardus karya tulis yang berbobot. Oleh karena itu, kritikan, saran, cacian, makian, dan hinaan selalu penulis harapkan dalam membenahi makalah ringkas ini.
II. Pembahasan
A. Pengertian Jarh wa ta’dil
Al-Jarh secara bahasa merupakan isim mashdar yang berarti luka yang mengalirkan darah atau sesuatu yang dapat menggugurkan ke’adalahan seseorang.[2]
Al-Jarh menurut istilah yaitu terlihatnya sifat pada seorang perawi yang dapat menjatuhkan ke’adalahannya, dan merusak hafalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya, atau melemahkannya hingga kemudian ditolak.[3]
Sedangakan Al-‘Adlu secara bahasa adalah apa yang lurus dalam jiwa atau lawan dari durhaka[4]. Dan seorang yang ‘adil artinya kesaksiannya diterima, Al-‘Adlu menurut istilah adalah orang yang tidak nampak padanya apa yang merusak agamanya dan perangainya, maka oleh sebab itu diterima beritanya dan kesaksiannya apabila memenuhi syarat-syarat menyampaikan hadits (yaitu : Islam, baligh, berakal, dan kekuatan hafalan). Dan At-Ta’dil yaitu pensifatan perawi dengan sifat-sifat yang mensucikannya, sehingga nampak ke’adalahannya, dan diterima beritanya.
Dan atas dasar ini, maka ilmu Al-Jarh wat-Ta’dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang lurus perangai para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka.[5]
B. Perkembangan Ilmu Jarh wa ta’dil
Para ulama menganjurkan untuk melakukan jarh dan ta’dil, dan tidak menganggap hal itu sebagai perbuatan ghibah yang terlarang, diantaranya berdasarkan dalil-dalil berikut:
Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada Fathimah binti Qais yang menanyakan tentang Mu’awiyyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm yang tengah melamarnya : ”Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya (suka memukul), sedangkan Mu’awiyyah seorang yang miskin tidak mempunyai harta” (HR. Muslim).[6]
Hadits di atas merupakan dalil Al-Jarh dalam menerangkan nasihat dan kemaslahatan. Adapun At-Ta’dil, salah satunya berdasarkan hadits :
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sebaik-baik hamba Allah adalah Khalid bin Walid, salah satu pedang diantara pedang-pedang Allah” (HR. Ahmad dan Tirmidzi dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu).
Oleh karena itu, para ulama membolehkan Al-Jarh wat Takdil untuk menjaga syari’at atau agama ini, bukan untuk mencela manusia. Dan sebagaimana dibolehkan Jarh dalam persaksian, maka pada perawi pun juga diperbolehkan, bahkan memperteguh dan mencari kebenaran dalam masalah agama lebih utama daripada masalah hak dan harta.
Al-Jarh dan At-Ta’dil dalam ilmu hadits menjadi berkembang di kalangan shahabat, tabi’in, dan para ulama setelahnya hingga saat ini karena takut pada apa yang diperingatkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
Artinya: ”Akan ada pada umatku yang terakhir nanti orang-orang yang menceritakan hadits kepada kalian apa yang belum pernah kalian dan juga bapak-bapak kalian mendengar sebelumnya. Maka waspadalah terhadap mereka dan waspadailah mereka.”
Dari Yahya bin Sa’idAl-Qaththan dia berkata,
”Aku telah bertanya kepada Sufyan Ats-Tsaury, Syu’bah, dan Malik, serta Sufyan bin ‘Uyainah tentang seseorang yang tidak teguh dalam hadits. Lalu seseorang datang kepadaku dan bertanya tentang dia, mereka berkata,”Kabarkanlah tentang dirinya bahwa haditsnya tidaklah kuat.”
Diketahuinya hadits-hadits yang shahih dan yang lemah hanyalah dengan penelitian para ulama’ yang berpengalaman yang dikaruniai oleh Allah kemampuan untuk mengenali keadaan para perawi. Dikatakan kepada Ibnul-Mubarak : ”Bagaimana dengan hadits-hadits yang dipalsukan ini?”. Dia berkata,”Para ulama yang berpengalaman yang akan menghadapinya”.
Maka penyampaian hadits dan periwayatannya itu adalah sama dengan penyampaian untuk agama. Oleh karenannya kewajiban syar’i menuntut akan pentingnya meneliti keadaan para perawi dan keadilan mereka, yaitu seorang yang amanah, alim terhadap agama, bertaqwa, hafal dan teliti pada hadits, tidak sering lalai dan tidak peragu. Melalaikan itu semua (Al-Jarh wat-Ta’dil) akan menyebabkan kedustaan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.[7]
C. Tingkatan-Tingkatan Al-Jarh Wat-Ta’dil
Tingkatan At-Ta’dil:
1. Tingkatan Pertama
Yang menggunakan bentuk superlatif dalam penta’dil-an, atau dengan menggunakan wazan افعل dengan menggunakan ungkapan-ungkapan seperti : “Fulan kepadanyalah puncak ketepatan dalam periwayatan” atau “Fulan yang paling tepat periwayatan dan ucapannya” atau Fulan orang yang paling kuat hafalan dan ingatannya”.
2. Tingkatan Kedua
Dengan menyebutkan sifat yang menguatkan ke-tsiqah-annya, ke-‘adil-annya, dan ketepatan periwayatannya, baik dengan lafadh maupun dengan makna; seperti : tsiqatun-tsiqah, atau tsiqatun-tsabt, atau tsiqah dan terpercaya (ma’mun), atau tsiqah dan hafidh.
3. Tingkatan Ketiga
Yang menunjukkan adanya pentsiqahan tanpa adanya penguatan atas hal itu, seperti : tsiqah, tsabt, atau hafidh.
4. Tingkatan Keempat
Yang menunjukkan adanya ke-‘adil-an dan kepercayaan tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian. Seperti : الصدق, امانة (dipercaya), محل الحديث (tempatnya kejujuran), atau laa ba’sa bihi (tidak mengapa dengannya). Khusus untuk Ibnu Ma’in kalimat laa ba’sa bihi adalah tsiqah (Ibnu Ma’in dikenal sebagai ahli hadits yang mutasyaddid, sehingga lafadh yang biasa saja bila ia ucapkan sudah cukup untuk menunjukkan ketsiqahan perawi tersebut).
5. Tingkatan Kelima
Yang tidak menunjukkan adanya pentsiqahan ataupun celaan; seperti : Fulan Syaikh (fulan seorang syaikh), ruwiya ‘anhul-hadiits (diriwayatkan darinya hadits), atau hasanul-hadiits (yang baik haditsnya).
6. Tingkatan Keenam
Isyarat yang mendekati celaan (jarh), seperti : Shalihul-Hadiits (haditsnya lumayan), atau yuktabu hadiitsuhu (ditulis haditsnya).[8]
Hukum Tingkatan Al-Ta’dil:
1. Untuk tiga tingkatan pertama, dapat dijadikan hujjah, meskipun sebagian mereka lebih kuat dari sebagian yang lain.
2. Adapun tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka boleh ditulis, dan diuji kedlabithan mereka dengan membandingkan hadits mereka dengan hadits-hadits para tsiqah yang dlabith. Jika sesuai dengan hadits mereka, maka bisa dijadikan hujjah. Dan jika tidak sesuai, maka ditolak.
3. Sedangkan untuk tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka ditulis untuk dijadikan sebagai pertimbangan saja, bukan untuk pengujian, karena mereka tidak dlabith.
Tingkatan Al-Jarh:
1. Tingkatan Pertama
Yang menunjukkan adanya kelemahan, dan ini yang paling rendah dalam tingkatan al-jarh seperti : layyinul-hadits (lemah haditsnya), atau fiihi maqaal (dirinya diperbincangkan), atau fiihi dla’fun (padanya ada kelemahan).
2. Tingkatan Kedua
Yang menunjukkan adanya pelemahan terhadap perawi dan tidak boleh dijadikan sebagai hujjah; seperti : “Fulan tidak boleh dijadikan hujjah”, atau “dla’if, atau “ia mempunyai hadits-hadits yang munkar”, atau majhul (tidak diketahui identitas/kondisinya).
3. Tingkatan Ketiga
Yang menunjukkan lemah sekali dan tidak boleh ditulis haditsnya, seperti : “Fulan dla’if jiddan (dla’if sekali)”, atau “tidak ditulis haditsnya”, atau “tidak halal periwayatan darinya”, atau laisa bi-syai-in (tidak ada apa-apanya). (Dikecualikan untuk Ibnu ma’in bahwasannya ungkapan laisa bisyai-in sebagai petunjuk bahwa hadits perawi itu sedikit).
4. Tingkatan Keempat
Yang menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsua hadits, seperti : Fulan muttaham bil-kadzib (dituduh berdusta) atau “dituduh memalsukan hadits”, atau “mencuri hadits”, atau matruk (yang ditinggalkan), atau laisa bi tsiqah (bukan orang yang terpercaya).
5. Tingkatan Kelima
Yang menunjukkan sifat dusta atau pemalsu dan semacamnya; seperti : kadzdzab (tukang dusta), atau dajjal, atau wadldla’ (pemalsu hadits), atau yakdzib (dia berbohong), atau yadla’ (dia memalsukan hadits).
6. Tingkatan Keenam
Yang menunjukkan adanya dusta yang berlebihan, dan ini seburuk-buruk tingkatan; seperti : “Fulan orang yang paling pembohong”, atau “ia adalah puncak dalam kedustaan”, atau “dia rukun kedustaan”.[9]
Hukum Tingkatan-Tingkatan Al-Jarh:
1. Untuk dua tingkatan pertama tidak bisa dijadikan sebagai hujjah terhadap hadits mereka, akan tetapi boleh ditulis untuk diperhatikan saja. Dan tentunya orang untuk tingkatan kedua lebih rendah kedudukannya daripada tingkatan pertama.
2. Sedangkan empat tingkatan terakhir tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, tidak boleh ditulis, dan tidak dianggap sama sekali.[10]
III. Kesimpulan
Setelah menyuguhkan keterangan yang simple di atas, maka sudah saatnya penulis menyodorkan beberapa sedikit kesimpulan yang akan menjadi titik tumpu sebuah karya tulis makalah ini.
Perlu diketahui bahwa jarhi wa ta’dhil ini mempunyai tingkatan dan di setiap tingkan, memiliki hukum masing-masing sebagai tolak ukur kehujahannya. Dan perlu penulis tegaskan ulang, bahwa ilmu jarhi wa ta’dhil merupakan ilmu yang menerangkan tentang catatan-catatan yang dihadapkan pada perawi dan tentang pena’dhilanya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat kata-kata itu.
Daftar Pustaka
· Abi Hatim Ar-Razi bin Abdurrahman. 327 H, Al-Jarh wat-Ta’dil, Beirut: Darr Muh.
· http://pustakasantri.wordpress.com/hadist/ilmu-al-jarh-wat-tadil.html (Malang: 26 Desember 2010. 20:34)
· Makrum bin Mandhur bin Muhammad. Lisaan Al-arabi. Beirut: Dar Ash-Shodur.
· As-syaikh Mudzakir. Muhammad, 1456. Ulumul al-Hadist li At-Jami’ati At-Tarbiyati. Haramain: Dar-Hubb.
· Mudasir, Muhammad. 1999, Ilmu Hadis. Bandung: Pustaka Setia.
· Khalaf Al-Baaji Al-Andalusi, Abul-Walid Sulaiman bin. 474 H, At-Ta’dil wat-Tarjih li Man Rawa ‘anhul-Bukhari fish-Shahiih, Beirut: Darr Muql.
[1] As-syaikh Muhammad Mudzakir, Ulumul al-Hadist li At-Jami’ati At-Tarbiyati. (Haramain: Dar-Hubb, 1456), hlm. 76
[3] Drs. H. Mudasir Muhammad, Ilmu Hadis. (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 57
[4] Opcit.,
[6] Abul-Walid Sulaiman bin Khalaf Al-Baaji Al-Andalusi. At-Ta’dil wat-Tarjih li Man Rawa ‘anhul-Bukhari fish-Shahiih, (Beirut: Darr Muql, 474 H). hlm. 253
[8] Ibid., hlm. 254
[10]http://pustakasantri.wordpress.com/hadist/ilmu-al-jarh-wat-tadil.html (Malang: 26 Desember 2010. 20:34)
0 komentar:
Posting Komentar
berilah komentar yang saling mendukung saling menghormati sesama