HADÎTS MUKHTALIF DAN CARA PENYELESAANNYA
Oleh:
Akhmad Said
NIM: 2009.4.077.000.1.1.00096
A. PENDAHULUAN
Untuk mengkaji dan memahami Hadîts secara mendalam dibutuhkan seperangkat ilmu dan kaedah-kaedah pokok yang mendasarinnya. Semua itu akan dijadikan sebagai pisau analisis sekaligus sebagai landasan teoritis dalam meneliti dan memahami Hadîts. Metode menjadi sangat penting ketika dihadapkan dengan penelitian ilmiyah, karena tanpa metode, penelitian tidak bisa dikatakan ilmiyah. Berangkat dari kata “metode” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimaknai dengan cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.
Dalam kajian Hadîts mukhtalif, para ulama telah merumuskan teori atau ilmu yang berkaitan dengannya, yaitu ilmu mukhtalif al-Hadîts. Dengan memahami ilmu ini seseorang akan terhindar dari kekeliruan dan kesalahan dalam memahami Hadîts-Hadîts mukhtalif. Bisa saja sesorang meninggalkan Hadîts yang sebenarnya harus diperpegangi lantaran tidak mengetahui wujud pemahaman yang ditampilkan oleh Hadîts-Hadîts yang saling bertentangan tersebut. Oleh karena itu, ilmu mukhtalif al-Hadîts merupakan salah satu ilmu yang sangat penting dalam memahami Hadîts,. Ajjâj al-Khatib mendefenisikan ilmu mukhtalif al-Hadîts sebagai:
العلم الذي يبحث في الأحاديث التى ظاهرها متعارض, فيزيل تعارضها, أو يوفق بينها . كما يبحث في الأ حاديث التى يشكل فهمها أو تصورها, فيدفع أشكالها, ويوضح حقيقتها[1]
(Ilmu mukhtalif al-Hadîts) ialah ilmua yang membahas Hadîts-Hadîts yang secara lahiriyahnya tampak bertentangan, untuk kemudian dapat menghilangkan pertentangan tersebut atau untuk dapat menemukan pengkompromiannya. Sebagaimana pembahasan tentang Hadîts-Hadîts yang sulit memahami atau menggambarkannya, untuk kemudian dihilangkan kesulitan-kesulitan itu serta menjelaskan hakikat pemahamannya.
Tambahan keterangan ini menunjukkan bahwa ilmu mukhtalif al-Hadîts juga dapat digunakan untuk memahami Hadîts Mukhtalif serta berupaya untuk menjelaskan kandungan yang termuat di dalam Hadîts tersebut. Jika disimak defenisi di atas dengan cermat, diperoleh gambaran bahwa ilmu mukhtalif al-Hadîts merupakan seperangkap teori untuk menyelesaikan Hadîts-Hadîts yang secara lahiriyahnya tampak bertentangan yang bertujuan menghilangkan pertentanagan tersebut. Secara tidak lansung Ajjâj al-Khatib telah menyatakan bahwa pada hakekatnya tidak ada Hadîts yang bertentangan apabila dipahami pertentangan tersebut dengan baik. Lalu di kalangan muhadditsûn terdapat istilah Hadîts-Hadîts mukhtalif. apakah istilah ini menggambarkan adanya Hadîts-Hadîts yang saling bertentangan, apakah yang dimaksud dengan Hadîts mukhtalif dan bagaimana cara memahami atau menyelesaikannya?
Berangkat dari pertanyaan di atas, makalah ini akan melihat beberapa aspek kajian tentang Hadîts-Hadîts mukhtalif dan metode dalam menyelesaikannya dengan tidak lupa membubuhkan contoh-contoh yang relevan. Serta diharapkan dapat dijadikan bahan diskusi dalam mata kuliah fiqh al-Hadîts.
B. PENGERTIAN HADÎTS MUKHTALIF
Secara bahasa mukhtalif (مختلف ) adalah bentuk isim fa’il (sabjek) dari kata اختلافا yakni bentuk mashdar dari kata اختلف. Menurut Ibn Manzhûr, ihktilâf merujuk pada makna لم يتفق (tidak serasi/tidak cocok) dan كل مالم يتساو (segala sesuatu yang tidak sama/beragam), hal ini dapat dilihat dalam al-Qur’ân surat al-An’âm ayat 141:
وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ
(pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya).[2]
Sedangkan menurut Lois Ma’lûf, ikhtilâf mempunyai beberapa makna di antaranya, تعارض (bertentangan),[3] تنوع (beragam) atau تعدد (bermacam-macam), dan تردد (saling bertolak belakang).[4] Dengan melihat pengertian yang dikemukakan di atas, pada intinya ikhtilâf mengandung dua makna, yaitu, تعارض dan تنوع .
Secara istilah ada beberapa rumusan defenisi Hadîts mukhtalif di antaranya:
1. Al-Nawâwiy (dikutib oleh al-Syuyûthiy)
أن يأتي حديثان متضادان في المعنى ظاهرا فيوفق بينهما أو يرجح أحدهما[5]
(Hadîts mukhtalif) ialah dua Hadîts yang saling bertentangan pada makna zahirnnya, maka kedua Hadîts tersebut dikompromikan atau di-tarjîh (untuk diambil mana yang kuat dari salah satunya).
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib mendefiniskan Ilmu Mukhtalîf al-Hadîs wa Musyakilihi sebagai:
الْعِلْمُ الَّذِيْ يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ ظَاهِرُهَا مُتَعَارِضٌ فَيُزِيْلُ تَعَارُضَهَا أَوْ يُوَفِّقُ بَيْنَهَا كَمَا يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ يَشْكُلُ فَهْمُهَا أَوْ تَصَوُّرُهَا فَيَدْفَعُ أَشْكَالَهَا وَيُوَضِّحُ حَقِيْقَتَهَا
Ilmu yang membahas hadis-hadis yang tampaknya saling bertentangan, lalu menghilangkan pertentangan itu, atau mengompromikannya, di samping membahas hadis yang sulit dipahami atau dimengerti, lalu menghilangkan kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya.[6]
Edi Safri mengkritik defenisi ini dengan menyebutkan bahwa defenisi ini sebenarnya mengendung kelemahan yakni kekurangtegasan di dalam rumusannya. Dikatakan demikian karena rumusan defenisi tersebut mencakup semua Hadîts yang secara lahiriyahnya tampak saling bertentangan antara satu dengan lainnya, baik Hadîts-Hadîts dalam kategori maqbûl atau mardûd, tanpa ada batasan. Pada hal, tidak semua Hadîts yang tampak saling bertentangan perlu dikaji untuk dapat ditemukan pengkompromian atau penyelesaiannya, maliankan apabila Hadîts-Hadîts tersebut sama-sama maqbûl. Apabila salah satunya maqbûl dan yang lainnya mardûd, maka dalam hal seperti ini pertentangan yang tampak tidak perlu diindahkan. Cukuplah dipegang yang maqbûl dan ditinggalkan yang mardûd.[7]
Walaupun defenisi yang dikemukan al-Nawâwiy terdapat kekurangan, namun ia telah menawarkan dua cara dalam menyelesaikan Hadîts mukhtalif yakni kompromi dan tarjîh. Menurut al-Nawâwiy, ada Hadîts-Hadîts mukhtalif yang memungkinkan untuk dikompromikan, dan ada Hadîts-Hadîts mukhtalif yang tidak mungkin untuk dikompromikan. Untuk kategori yang kedua ini, apabila tidak diketahui antara salah-satu Hadîts-Hadîts tersebut ada yang nâsikh dan yang mansûkh maka ditempuh jalan tarjîh.[8] Artinya al-Nawâwiy juga menempuh cara nasakh dalam menyelesaikan Hadîts-Hadîts mukhtalif di samping cara kompromi dan tarjîh, namun ia tidak menjelaskan secara tegas dalam rumusan defenisinya.
2. Tahunuwiy (dikutib oleh Edi Safri)
(Hadîts mukhtalif) ialah dua Hadîts yang maqbûl saling bertentangan pada makna zahirnnya, di mana memungkinkan untuk dikompromikan maksud yang dituju oleh kedua Hadîts tersebut dengan cara tidak dipaksakan (tidak dicari-cari).
Sepertinya Tahunuwiy hendak menyuguhkan penyelesaian Hadîts-Hadîts mukhtalif dengan cara kompromi saja. Walaupun demikian, berbeda dengan al-Nawâwiy, dalam defenisi di atas Tahunuwiy mensyaratkan Hadîts-Hadîts mukhtalif itu hendakannya dapat dirima sebagai hujjah atau maqbûl.
3. Edi Safri
Hadîts mukhtalif ialah Hadîts shahîh atau Hadîts hasan yang secara lahiriyahanya tampak saling bertentangan dengan Hadîts shahîh atau Hadîts hasan lainnya. Namun, makna yang sebenarnya atau maksud yang dituju oleh Hadîts-Hadîts tersebut tidaklah bertentangan karena satu dengan yang lainnya dapat dikompromikan atau dicari jalan penyelesaiannya dalam bentuk nasakh atau tarjîh.[10]
Di dalam defenisi di atas Edi Safri menawarkan tiga cara, seperti yang diungkapkan oleh al-Nawâwiy, yakni kompromi, nashk, dan tarjîh.
Ketiga defenisi di atas mengandung perbedaan dan persamaan yang mendasar. Dari segi sabjek (Hadîts-Hadîts mukhtalif), Tahunuwiy dan Edi Safri mensyaratkan Hadîts-Hadîts yang bertentangan itu harus maqbûl, baik berkwalitas shahîh maupun hasan. Sementara al-Nawâwiy tidak mensyaratkannya. Dalam aspek metode penyelesaiannya, Tahunuwiy hanya menempuh cara kompromi. Sementara al-Nawâwiy dan Edi Safri menawarkan kompromi, nasakh dan tarjîh.
Sebab–sebab yang Melatarbelakangi Adanya Hadits Mukhtalif
- Faktor Internal. Yaitu berkaitan dengan internal dari redaksi hadits tersebut. Biasanya terdapat ‘illat (cacat) di dalam hadits tersebut yang nantinya kedudukan hadits tersebut menjadi dha’if. Dan secara otomatis hadits tersebut ditolak ketika hadits tersebut berlawanan dengan hadits shahih.
- Faktor Eksternal. Yaitu faktor yang disebabkan oleh konteks penyampaian dari Nabi, yang mana menjadi ruang lingkup dalam hal ini adalah waktu, dan tempat di mana Nabi menyampaikan haditsnya.
- Faktor Metodologi. Yakni berkaitan dengan cara bagaimana cara dan proses seseorang memahami hadits tersebut. Ada sebagian dari hadits yang dipahami secara tekstual dan belum secara kontekstual, yaitu dengan kadar keilmuan dan kecenderungan yang dimiliki oleh seorang yang memahami hadits, sehingga memunculkan hadits-hadits yang mukhtalif.
Faktor Ideologi. Yakni berkaitan dengan ideologi atau manhaj suatu madzhab dalam memahami suatu hadits, sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan dengan berbagai aliran yang sedang berkembang.[11]
C. METODE OPERASIONAL
Secara lansung, masing-masing defenisi di atas, telah menawarkan metode untuk menghilangkan pertentangan antara satu Hadîts dengan Hadîts lainnya, baik kompromi, nasahk, maupun tarjîh. Namun, bagaimana cara mengoperasikan metode-metode tersebut? dan apakah metode-metode tersebut digunakan secara berurutan? Jika Hadîts mukhtalif bukan dalam arti ta’ârudh tetapi tanawwu’, bagaiamana cara menyelesaikannya, dan apakah ada cara lain selain ketiga cara di atas?
Untuk mengawali pembahasan tentang metode atau cara menyelesaikan Hadîts mukhtalif, sengaja dikutip pernyataan Imam al-Syafi’iy sebagai peringatan yang tegas dalam memahami Hadîts-Hadîts mukhtalif, yaitu:
لا تجعل عن رسول الله حديثين مختلفين أبدا إذا وجد السبيل إلى أن يكونا مستعملين, فلا نعطل منهما واحدا لأن علينا في كل ما علينا في صاحبه, ولا نجعل المختلف إلا فيما يجوز أن يستعمل أبدا ألا بطرح صاحبه.[12]
Jangan mempertentangkan Hadîts Rasulullah satu dengan yang lainnya, apabila mungkin ditemukan jalan untuk menjadikan Hadîts-Hadîts tersebut dapat sama-sama diamalkan. Jangan tinggalkan salah satu antara keduanya karena kita punya kewajiban untuk mengamalkan keduanya. Dan jangan jadikan Hadîts-Hadîts bertentangan kecuali tidak mungkin untuk diamalkan selaian harus meninggalkan salah satu darinya.
Peringatan ini disampaikan berdasarkan suatu prinsip bahwa tidak mungkin Rasulullah menyampaikan ajaran Islam yang antara satu dengan yang lainnya benar-benar saling bertentangan. Jika ada penilaian yang menyatakan bahwa satu Hadîts dengan Hadîts lainnya saling bertantangan, maka dalam hal ini ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, salah satu dari Hadîts tersebut bukanlah Hadîts maqbûl, karena Hadîts mardûd, baik dha’îf maupun mawdhû’, besar kemungkinan bertentangan dengan Hadîts shahîh atau hasan. Kedua, karena pemahaman yang keliru terhadap maksud yang dituju oleh Hadîts-Hadîts tersebut.[13] Karena bisa saja masing-masing Hadîts tersebut memiliki maksud dan orientasi yang berbeda sehingga keduanya dapat diamalkan menurut maksud masing-masing.
Berdasrkan hasil penelitian Edi Safri mengenai metode penyelesaian Hadîts- Hadîts mukhtalif menurut Imam al-Syafi’iy, ada tiga cara yang mesti dilakukan yakni penyelesaian dengan cara kompromi, penyelesaian dengan cara nasakh dan penyelesaian dengan cara tarjîh. Di mana ketiga cara tersebut dilakukan dengan berurutan.[14] Artinya jika cara pertama tidak menemukan jalan keluar, maka ditempuh cara kedua, jika cara kedua belum juga diperoleh solusi, maka ditempuh cara ketiga. Berikut penjelasan lebih lanjut:
1. Penyelesaian dengan Cara Kompromi
Adapun yang dimaksud dengan metode kompromi dalam menyelesaikan Hadîts mukhtalif ialah menghilangkan pertentangan yang tampak (makna lahiriyahnya) dengan cara menelusuri titik temu kandungan makna masing-masingnya sehingga maksud sebenarnya yang dituju oleh satu dengan yang lainnya dapat dikompromikan. Artinya, mencari pemahaman yang tepat yang menunjukkan kesejalanan dan keterkaitan makna sehingga masing-masingnya dapat diamalkan sesuai dengan tuntutannya.[15] Untuk menemukan benang merah antara kedua Hadîts yang saling bertentangan itu, dapat diselesaikan dengan empat cara, yaitu:
a. Pemahaman dengan Menggunakan Pendekatan Kaedah Ushûl
Penyelesaian berdasarkan pemahaman dengan menggunakan pendekatan kaedah ushul ialah memahami Hadîts Rasulullah dengan memperhatikan dan mempedomani ketentuan-ketentuan atau kaedah-kaedah ushul yang terkait yang telah dirumuskan oleh ulama (ushûliyûn). Adapun yang menjadi objek kajian ilmu ushûl fiqh ialah bagaimana meng-istimbâth-kan hukum dari dalil-dalil syara’, baik al-Qur’ân maupun Hadîts. Untuk sampai pada hukum-hukum yang dimaksud, maka terlebih dahulu dalil-dalil tersebut dipahami agar istimbâth hukum sesuai dengan yang dituju oleh dalil. Di antara kaedah ushûl yang terkait seperti âm, khash, muthlaq, dan muqayyad. Nash yang umum haruslah dipahami dengan keumumannya selama tidak ada nash lain yang men-takhsishkan-nya, apabila ada dalil yang men-thakhsish-kannya maka nash tersebut tidak lagi diberlakukan secara umum. Demikian juga bagi nash yang muthlaq dengan yang muqayyad.[16]
Sebagai contoh Hadîts tentang mengambil upah dari jasa berbekam:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ عَنْ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ الْمُغِيرَةِ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ أَبِي نُعْمٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كَسْبِ الْحَجَّامِ وَعَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَعَنْ عَسْبِ الْفَحْلِ [17]
حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ عَنْ الْأَوْزَاعِيِّ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ قَارِظٍ عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ حَدَّثَنِي رَافِعُ بْنُ خَدِيجٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَمَنُ الْكَلْبِ خَبِيثٌ وَمَهْرُ الْبَغِيِّ خَبِيثٌ وَكَسْبُ الْحَجَّامِ خَبِيثٌ[18]
Dua Hadîts ini melarang mengambil upah dari jasa berbekam, kemudian hadis lain menyebutkan:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ يَعْنُونَ ابْنَ جَعْفَرٍ عَنْ حُمَيْدٍ قَالَ سُئِلَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ عَنْ كَسْبِ الْحَجَّامِ فَقَالَ احْتَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَجَمَهُ أَبُو طَيْبَةَ فَأَمَرَ لَهُ بِصَاعَيْنِ مِنْ طَعَامٍ وَكَلَّمَ أَهْلَهُ فَوَضَعُوا عَنْهُ مِنْ خَرَاجِهِ وَقَالَ إِنَّ أَفْضَلَ مَا تَدَاوَيْتُمْ بِهِ الْحِجَامَةُ أَوْ هُوَ مِنْ أَمْثَلِ دَوَائِكُمْ [19] ِ
Hadîts ini menunjukkan bahwa bahwa Rasulullah pernah berbekam yang dilakukan oleh Abu Thaibah kemudian ia diberi upah oleh Rasulullah. Hadîts pertama dikeluarkan oleh al-Nasâ’iy, Hadîts kedua dan ketiga dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab yang sama. Di lihat dari sisi redaksi antara pertama dan kedua dengan ketiga nampak saling bertentangan. Hadîts pertama dan kedua menjelaskan adanya larangan mengambil keuntungan dari berbekam yang sekaligus menunjukkan bahwa perbuatan tersebut haram. Para ulama mencoba memahami pertenatangan tersebut dengan menggunakan pendekatan muthlaq dan muqyyad. Haramnya kasb al-hajâm merupakan suatu yang muthlaq, kemudian dibatasi oleh adanya qârinah untuk mengambil manfaat dari orang lain karena Rasullullah melakukannya.[20] Adanya qarinah menjadikan kasb al-hâjam tidak lagi haram akan tetapi makruh.
b. Pemahaman Kontekstual
Pemahaman kontekstual yang dimaksud di sini ialah memahami Hadîts- Hadîts Rasulullah dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi yang menjadi latarbelakang disampaikannya Hadîts, dengan memperhatikan asbâb al-wurud Hadîts-Hadîts tersebut. Dalam kata lain dengan memperhatikan konteks.[21]
Jika asbab al-wurud al-Hadîts tidak diperhatikan, maka akan terjadi kekeliruan dalam memahmi maksud yang dituju suatu Hadîts sehingga hal ini menimbulkan penilaian yang bertentangan antara satu Hadîts dengan yang lainnya. Oleh sebab itu mengetahui konteks Hadîts menjadi hal yang sangat orgen dalam pemahaman Hadîts. Jika konteks suatu Hadîts diikutsertakan dalam memahmi Hadîts-Hadîts mukhtalif, akan terlihat perbedaan konteks antara satu dengan yang lainnya sehingga pertentangan yang tampak secara lahiriyah dapat dilenyapkan dan masing-masing Hadîts dapat diketahui arah pemahamannya.
Sebagai contoh diambil Hadîts tentang meminang wanita yang telah dipinang orang lain.[22]
و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى جَمِيعًا عَنْ يَحْيَى الْقَطَّانِ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ أَخْبَرَنِي نَافِعٌ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَبِعْ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلَا يَخْطُبْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ إِلَّا أَنْ يَأْذَنَ لَهُ.[23]
Hadis lain yang diapandang bertentangan ialah:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ مَوْلَى الْأَسْوَدِ بْنِ سُفْيَانَ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ أَنَّ أَبَا عَمْرِو بْنَ حَفْصٍ طَلَّقَهَا الْبَتَّةَ وَهُوَ غَائِبٌ فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا وَكِيلُهُ بِشَعِيرٍ فَسَخِطَتْهُ فَقَالَ وَاللَّهِ مَا لَكِ عَلَيْنَا مِنْ شَيْءٍ فَجَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ لَيْسَ لَكِ عَلَيْهِ نَفَقَةٌ فَأَمَرَهَا أَنْ تَعْتَدَّ فِي بَيْتِ أُمِّ شَرِيكٍ ثُمَّ قَالَ تِلْكِ امْرَأَةٌ يَغْشَاهَا أَصْحَابِي اعْتَدِّي عِنْدَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ رَجُلٌ أَعْمَى تَضَعِينَ ثِيَابَكِ فَإِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِي قَالَتْ فَلَمَّا حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَأَبَا جَهْمٍ خَطَبَانِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ فَكَرِهْتُهُ ثُمَّ قَالَ انْكِحِي أُسَامَةَ فَنَكَحْتُهُ فَجَعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا وَاغْتَبَطْتُ[24]
Dalam Hadîts pertama Rasulullah melarang meminang seseorang yang telah dipinang oleh orang lain. Namun dalam Hadîts kedua justeru Rasulullah sendiri yang meminang Fatimah Bint Qais untuk Usamah Ibn Zaid, yang sebelumnya telah dipinang oleh Mu’âwiyah dan Abu Jahm. Mengapa hal ini terjadi, apakah Rasulullah tidak konsisten dengan pernyataannya? Tentu pertanyaan seperti ini yang akan muncul ketika tidak dilihat konteks kedua Hadîts tersebut.
Imam al-Syafi’iy berpendapat bahwa Hadîts pertama tidak bertentangan dengan Hadîts kedua karena Hadîts pertama berlaku pada kondisi dan situasi tertentu; tidak berlaku pada situasi dan kondisi lainnya.[25] Adapun yang menjadi latar belakang dituturkannya Hadîts pertama ialah: Rasulullah ditanya tentang seseorang yang meminang perempuan dan pinangannya diterima untuk selanjutanya diteruskan kejenjang perkawinan. Akan tetapi datang lagi pinangan dari laki-laki lain yang ternyata lebih menarik hati perempuan tersebut, dibanding laki-laki pertama sehingga ia pun membatalkan pinangan pertama. Inilah yang menjadi konteks Hadîts pertama.[26]
Sementara Hadîts kedua, berbeda konteksnya dengan Hadîts pertama. Fatimah bint Qais datang kepada Nabi seraya memberitahukan bahwa ia telah dipinang oleh Mu’âwiyah dan Abu Jahm. Rasulullah tidak menyanggah pernyataan ini – sesuai dengan Hadîts pertama – karena Rasulullah tahu bahwa Fatimah sendiri tidak suka dan belum menerima kedua pinangan itu, sebab Fatimah datang kepada Rasulullah untuk meminta pertimbangan. Lalu Rasulullah memberikan solusi dengan miminangkannya untuk Usamah.[27] Hal ini menggambarkan bahwa konteks Hadîts pertama berbeda dengan konteks Hadîts kedua, Hadîts pertama kondisi di mana seorang perempuan dengan persetujuan walinya telah menerima pinangan dari seorang laki-laki, maka ia tidak boleh lagi menerima pinangan lelaki lainnya. Sementara Hadîts kedua kondisi di mana seorang laki-laki baru sebatas mengajukan proposal pinangan, belum ada kepastian diterima atau ditolak, maka dalam kondisi seperti ini seorang perempuan boleh menolak pinangan tersebut dan menerima pinangan yang disukainya.
c. Pemahaman Korelatif
Pemahaman korelatif yang dimaksud ialah memperhatikan keterkaitan makna antara satu Hadîts dengan Hadîts lainnya yang dipandang mukhtalif yang mebahas permasalahan yang sama sehingga pertentangan yangg nampak secara lahiriyahnya dapat dihilangkan.[28] Karena dalam menjelaskan satu persoalan tidak hanya ada satu atau dua Hadîts saja akan tetapi bisa saja ada bebarapa Hadîts yang saling terkait satu sama lainnya. Oleh karena itu semua Hadîts tersebut mesti dipahami secara bersama untuk dilihat hubungan makna antara satu Hadîts dengan Hadîts lainnya sehingga diperoleh gambaran yang utuh tentang satu masalah tersebut dan pertentangan yang terjadi dapat diselesaikan.
Sebagai contoh dikemukan Hadîts-Hadîts tentang waktu-waktu terlarang dalam melakukan shalat.[29]
حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ قَالَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ شَهِدَ عِنْدِي رِجَالٌ مَرْضِيُّونَ وَأَرْضَاهُمْ عِنْدِي عُمَرُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَشْرُقَ الشَّمْسُ وَبَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ[30]
Dalam hadits lain dinyatakan
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ وَمُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ قَالَا حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا لَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ وَأَقِمْ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي قَالَ مُوسَى قَالَ هَمَّامٌ سَمِعْتُهُ يَقُولُ بَعْدُ وَأَقِمْ الصَّلَاةَ للذِّكْرَى[31]
Dua Hadîts di atas sama-sama diriwaytkan oleh Imam al-Bukhâriy dalam kitab shahîh-nya. Hadîts pertema menegaskan larangan menunaikan shalat di waku setelah subuh hingga terbit matahari dan waktu setelah ashar hingga terbenamnya matahari. Sementara Hadîts kedua tidak dibatasi oleh waktu, di mana seseorang dapat melakukan shalat kapan saja apabila ia lupa menunaikan kewajibannya, baik watu setelah subuh hingga terbit matahari maupun waktu setelah ashar hingga terbenam matahari.
Dua Hadîts di atas dipandang yang bertentangan. Keduanya tidak bisa dipertemukan begitu saja, sebelum dilihat riwayat lainnya yang dipandang relevan untuk menarik benang merah pertentangan antara keduanya. Karena shalat yang dimaksudkan oleh Hadîts pertama adalah shalat sunnat, sementara Hadîts kedua merupakan shalat wajib yang tidak dapat tidak mesti dikerjakan, dan jika lupa maka merupakan rukhshah melaksanakannya pada waktu ingat. Jika Hadîts kedua dipahami dengan shalat wajib, maka Hadîts kedua berkenaan dengan shalat sunnat. Namun apakah yang dimaksudkan oleh Hadîts pertama adalah shalat sunnat muakkad atau ghair mu’aqqd?
Adapun Hadîts yang relevan menjelaskan persoalan terkait ialah: Hadîts Ummu Salamah yang menerangkan bahwa: suatu hari Rasulullah pulang ke rumahku setelah ashar. Lalu beliau shalat dua raka’at, tak pernak aku melihat beliau melakukan hal yang sama.” Ummu Salamah pun bertanya: engakau melakukan shalat yang sebelum ini tak pernah sebelum ini aku melihatnya. Rasul menjawab: ”sebelum ini aku senantiasa melakukan shalat sunnat dua rakaat setelah shalat zuhur. Namun tadi aku tidak sempat melakuaknnya kerana sibuk menerima delegasi dari Tamim dan urusan sadaqah. Dua raka’at tadi ialah shalat dua rakaat setelah zuhur.[32]
Riwayat dari Qais juga dipadang mempunyai aspek korelasi dengan dua Hadîts yang dikeluarkan oleh Imam al-Bukhâriy yang bertentangan di atas. Qais berkata: pernah Nabi memandangku ketika aku melaksanakan shalat dua raka’at setelah subuh. Lantas beliaupun bertanya: shalat apakah yang engkau kerjakan ini ya Qais? Tadi aku tak sempat melakukan shalat sunat fajr. Lalu beliau diam mendengarkan penjelasanku.[33]
Keterangan dari Ummu Salamah dan Qais memastikan bahwa shalat yang dilarang pada Hadîts pertama merupakan shalat sunnat ghair muakkad. Untuk shalat sunnat muakkad, maka dua ketarangan di atas mengindikasikan bahwa ia boleh dilaksanakan.
d. Menggunakan Cara Ta’wîl
Takwil berarti memalingkan lafaz dari makna lahiriyahnya kepada makna lain yang dikandung oleh lafaz karena adanya qarinah yang menghendakinya. Hal ini dikukan makna lahiriyah yang ditampilkan oleh lafaz Hadîts dinilai tidak tepat untuk menjelaskan makna yang ditujunya, dengan mengambil kemungkinan makna lain yang lebih tepat di antara kemungkinan makna yang dikandung oleh lafaz. Pemalingan ini dilakukan kerana adanya dalil yang menghendakinya. Oleh al-Syafi’iy metode takwil dipandang dapat digunakan untuk menghilangkan pertenatangan antara satu Hadîts dengan Hadîts lainnya.[34] Contoh:
أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ ابْنِ عَجْلَانَ قَالَ حَدَّثَنِي عَاصِمُ بْنُ عُمَرَ بْنِ قَتَادَةَ عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَسْفِرُوا بِالْفَجْرِ[35]
و حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ وَإِسْحَقُ بْنُ مُوسَى الْأَنْصَارِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا مَعْنٌ عَنْ مَالِكٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ عَمْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ إِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُصَلِّي الصُّبْحَ فَيَنْصَرِفُ النِّسَاءُ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ مَا يُعْرَفْنَ مِنْ الْغَلَسِ و قَالَ الْأَنْصَارِيُّ فِي رِوَايَتِهِ مُتَلَفِّفَاتٍ [36]
Hadîts petama pada contoh di atas menggambarkan bahwa waktu yang lebi afdhal untuk melaksanakan shalat subuh ialah waktu asfar, yakni waktu subuh sudah mulai terang. Sedangkan Hadîts kedua menjelaskan bahwa waktu yang afdhal untuk melaksanakan shalat subuh ia ghalas, yakni susana gelap diujung malam dan datangnya cahaya subuh. Kedua Hadîts di atas menampilkan pertenatangan antara satu dengan lainnya, di mana Hadîts pertama di akhir waktu dan Hadîts kedua di awal waktu.
Dalam masalah ini Imam al-Syafi’iy justeru tidak melihat pertentanagn antara kedua Hadîts di atas. Imam syafi’iy men-takwil-kan kata isfâr pada Hadîts pertama. Di mana isfâr yang semulanya dimaknai dengan “waktu subuh yang sudah mulai terang mendekati matahari terbit” di-takwil-kan dengan makna “awal waktu subuh yang ditandai dengan terbitnya cahaya fajar yang tampak di langit.[37] Dalam kata lain, makna isfâr pada Hadîts pertama di-takwil-kan dengan makna ghalas pada Hadîts kedua. Hal ini dilakukan karena Hadîts kedua dipandang memiliki nilai lebih dibanding Hadîts kedua untuk dijadikan sebagai hujjah.[38]
Contoh lain Metode ini bisa menjadi salah satu alternatif baru dalam menyelesaikan hadits-hadits yang bertentangan. Sebagai contoh hadits tentang lalat. Hadits tersebut dinilai kontradiktif dengan akal dan teori kesehatan. Sebab lalat merupakan serangga yang sangat berbahaya dan bisa menyebarkan penyakit. Lalu bagaimana mungkin Nabi s.a.w. menyuruh supaya menenggelamkan lalat yang hinggap di minuman? Demikian kurang lebih keraguan dan penolakan Taufiq Shidqi terhadap kebenaran hadits tentang lalat sebagaimana dikutip G.H.A. Juynboll.[39] Hadis tersebut :
حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ مَخْلَدٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ قَالَ حَدَّثَنِي عُتْبَةُ بْنُ مُسْلِمٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ بْنُ حُنَيْنٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِي إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَالْأُخْرَى شِفَاءً
“Khalid Ibn Makhlad bercerita kepada kami, Sulaiman ibn Bilal bercerita kepada kami, dia berkata: Uthbah ibn Muslim telah bercerita kepadaku, dia berkata, Ubaidah ibn Hunain berkata: saya mendengar Abu Hurairah berkata: Rasulullah s.a.w. bersabda: apabila ada lalat jatuh dalam minuman salah seorang kalian, maka hendaklah ia membenamkannya sekalian, lalau buanglah lalat tersebut. Sesungguhnya pada salah satu sayapnya terdapat penyakit, sedang pada sayap yang lain terdapat penawar (obat).” (HR al-Bukhari).
Selintas hadits tersebut memang tidak masuk akal dan kontradiksi dengan teori kesehatan. Namun ternyata hasil penelitian dari sejumlah peneliti muslim di Mesir dan Saudi Arabia terhadap masalah ini, justeru membuktikan lain. Mereka membuat minuman yang dimasukkan kedalam beberapa bejana yang terdiri dari air, madu dan juice, kemudian dibiarkan terbuka agar dimasuki lalat. Setelah lalat masuk kedalam beberapa minuman tersebut, mereka melakukan komparasi penelitian, antara minuman yang ke dalamnya dibenamkan lalat dan tidak dibenamkan. Ternyata melalui pengamatan mikroskop diperoleh hasil bahwa minuman yang dihinggapi lalat dan yang tidak dibenamkan dipenuhi dengan banyak kuman dan mikroba, sementara minuman yang dihinggapi lalat justeru tidak dijumpai sedikitpun minuman dan mikroba. Ini adalah sebuah penelitian ilmiah dan semakin membuktikan kebenaran hadits tersebut secara ilmiah meskipun pada awalnya dari zhahir hadits terlihat mempunyai pertentangan dengan ilmu kesehatan.[40]
Sebenarnya masih terdapat metode dalam penyelesaian hadits mukhtalif yang mana biasa disebut metode tawaqquf. Namun ditengarai ketika orang menggunakan metode ini terkesan hanya membiarkan saja tanpa ada usaha untuk melakukan komparasi dengan penelitian lebih lanjut. Oleh karenanya penulis lebih cenderung menggunakan metode ta’wîl daripada menggunakan metode tawaqquf. Karena setiap sumber perkataan Nabi pasti mengandung sebuah makna dan tujuan sehingga bagaimanapun juga kita harus mengungkap makna yang tersirat di dalamnya.
2. Metode al-Jam’u wa at-Taufîq
Metode ini dinilai lebih baik daripada melakukan tarjîh (mengumpulkan salah satu dari dua hadits yang tampak bertentangan). Metode al-jam’u wa at-taufîq ini tidak berlaku bagi hadis–hadis dha’îf (lemah) yang bertentangan dengan hadits–hadits yang shahih.
Contoh aplikasi dari metode al-jam’u wa at-taufîq adalah hadits tentang cara berwudhu Rasulullah s.a.w.. Hadis pertama menyatakan bahwa Rasulullah s.aw. berwudhu dengan cara membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali, sebagaimana tampak dalam hadits berikut ini:
حَدَّثَنَا الْرَّبِيْعُ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا الْشَّافِعِيُّ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَضَّأَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ، وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ مَرَّةً مَرَّةً. اختلاف الحديث – ج ١ ص ٦
“Ar-Rabi’ telah bercerita kepada kami, dia berkata: Imam asy-Syafi’i memberi kabar kepada kami, Ia berkata: Abdul Aziz ibn Muhammad telah memberi kabar kepada kami dari Zaid ibn Aslam dari Atha’ ibn Yasar dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah s.a.w. berwudhu membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali-satu kali.” (H.R. asy-Syafi’i)
Sementara dalam riwayat lain dinyatakan bahwa Nabi s.a.w. berwudhu dengan membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala tiga kali, sebagaimana terbaca dalam hadits berikut ini:
أَخْبَرَنَا الْشَّافِعِيُّ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ ثَلاَثًا ثَلاَثًا.اختلاف الحديث – ج ١ ص٧
“Imam Asy-Syafi’i telah memberi kabar kepada kami, dia berkata Sufyan ibn ‘Uyainah telah memberi kabar kepada kami, dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya, dari Hamran maula “Utsman ibn ‘Affan bahwa Nabi s.a.w. berwudhu dengan mengulangi tiga kali (dalam membasuh dan mengusap).” (HR Asy-Syafi’i).
Kedua riwayat tersebut tampak bertentangan namun keduanya sama-sama shahih dan akhirnya diselesaikan dengan metode al-Jam’u wa at-Taufîq dengan komentar Imam asy-Syafi’i dalam kitab Ikhtilâf al- Hadîts :
قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَلاَ يُقَالُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذِهِ الأَحَادِيثِ: مُخْتَلِفٌ مُطْلَقًا، وَلَكِنَّ الْفِعْلَ فِيهَا يَخْتَلِفُ مِنْ وَجْهِ أَنَّهُ مُبَاحٌ لاِخْتِلاَفِ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ ، وَالأَمْرِ وَالنَّهْيِ، وَلَكِنْ يُقَالُ: أَقَلُّ مَا يَجْزِي مِنَ الْوُضُوءِ مَرَّةٌ، وَأَكْمَلُ مَا يَكُونُ مِنَ الْوُضُوءِ ثَلاَثٌ. اختلاف الحديث – ج ١ ص٧
Dengan terjemahan bebasnya adalah Imam asy-Syafi’i berkata: “hadits-hadits itu tidak bisa dikatakan sebagai hadits yang benar–benar kontradiktif. Akan tetapi bisa dikatakan bahwa berwudhu dengan membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali, sudah mencukupi, sedangkan yang lebih sempurna dalam berwudhu adalah mengulanginya tiga kali (dalam hal membasuh wajah dan mengusap tangan serta mengusap kepala)[41]
3. Penyelesaian dengan Cara Nasakh
Penyelesaian dalam bentuk nasakh dipandang sebagai bentuk penyelasaian Hadîts-Hadîts mukhtalif non-kompromi. Dikatakan demikian karena salah satu dari Hadîts tidak lagi dapat diamalkan, hal ini sesuai dengan ungkapan imam al-Syafi’iy terdahulu yakni: ”Dan jangan jadikan Hadîts-Hadîts bertentangan kecuali tidak mungkin untuk diamalkan selaian harus meninggalkan salah satu darinya.” Di sini terungkap bahwa cara kompromi tidak membuahkan penyelesaian, oleh sebab itu ditempuh cara nasakh. Sebab pada Hadîts-Hadîts mukhtalif yang pertentangannya tidak saja pada makna lahiriyahnya namun juga pada makna yang dikandungnya, dalam masalah seperti ini munkin sekali antara Hadîts-Hadîts tersebut telah terjadi nasakh.[42] Oleh karena itu ia mesti dipahami dengan melihat ketentuan-ketentuan nasakh yakni mengamalkan yang nâsikh dan meninggalkan yang mansûkh.[43]
Secara etimologi nasakh mengandung dua makna, yaitu الإزالة (menghilangkan) dan النقل (memindahkan).[44] Secara Istilah ulama ushûl merumuskan sebagai:
رفع الشارع حكما شرعيا بدليل عرعي متراخ عنه[45]
Pembatalan hukum syar’iy oleh syar’iy berdasarkan dalil syar’iy yang datang kemudian.
Sebagai contoh dapat dilihat dalam persoalan hukum makan daging kuda:
أَخْبَرَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ قَالَ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ عَنْ ثَوْرِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ صَالِحِ بْنِ يَحْيَى بْنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْخَيْلِ وَالْبِغَالِ وَالْحَمِيرِ وَكُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ[46]
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ وَنَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ جَابِرٍ قَالَ أَطْعَمَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لُحُومَ الْخَيْلِ وَنَهَانَا عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ.[47]
Dua Hadîts di atas terlihat saling bertantangan, Hadîts pertama bersisi tentang larangan makan daging kuda yang sekaligus menjadikan ia haram. Hadîts kedua menunjukkan kebolahan memakan daging kuda. Pertenatangan ini mesti dihilangkan dengan cara nasakh[48]. Hukum keharaman makan daging kuda pada Hadîts pertama telah di-nasakh-kan oleh hukum kobolehan makan daging kuda pada Hadîts Jâbir Ibn Abdallah yang datang setelahnya.
4. Penyelesaian dengan Cara Tarjîh.
Secara etimologi tarjîh berarti “menguatkan”, sedangkan secara terminologi tarjîh menurut didefenisi jumhur ulama ialah:
تقوية إحدى الإمارتين (أي دليلين الظنيين) على الأخرى ليعمل بها[49]
menguatkan salah satu indikator dalil yang zhanniy atas yang lainnya untuk diamalkan.
Dalam masalah penyelesaian Hadîts-Hadîts mukhtalif dengan cara tarjîh, dimaksudkan membandingkan Hadîts-Hadîts yang tampak bertentangan yang tidak dapat dikompromikan dan tidak pula ditemukan adanya indikasi nasakh, maka dengan perbandingan tersebut diambil Hadîts yang lebih kuat yang memilki nilai hujjah yang lebih tinggi dari Hadîts yang lainnya, di mana yang lebih kuat diamalkan dan yang lemah ditinggalkan.[50] Oleh karena hal-hal yang dapat menguatkan sautu Hadîts untuk dijadikan hujjah digunakan sebagi data dan senjata untuk melemahkan Hadîts lain yang memiliki data ke-hujjah-an yang lebih sedikit, baik dari aspek sanad maupun matn. Dengan mengadu data ke-hujjah-an dapat diketehaui antara Hadîts yang bertentangan tersebut yang lebih râjih, sehingga dengan marjûh-nya yang lemah mengakibatkan pertentangan yang terjadi hilang, dan sekaligus melahirkan konsekwensi baru, yakni ditinggalkannya yang lemah.
Sebelum masuk pada pembahasan berikutnya perlu dijelaskan bahwa konsep penyelesaian Hadîts mukhtalif di atas, menurut Imam al-Syafi’iy dilakukan dengan berurutan. Namun, menurut Hanafiyah, urutannya tidak seperti yang diungkapkan Imam al-Syaf’iy, dan bahkan Hanafiyah memiliki metode lain yang tidak ditemukan dalam pendapat Imam al-Syafi’iy. Hanafiyah mendahulukan penyelesaian Hadîts mukhtalif dengan terlebih dahulu menerapkan metode nasakh, jika tidak ditemukan indikasi nasakh dan mansûkh, maka diteruskan dengan tarjîh, jika dengan cara tarjîh tidak juga berbuah solusi atas pertentangan yang terjadi barulah digunakan jalan kompromi, terakhir kitika ketiga cara tidak juga menuai hasil yang pasti, maka Hanafiyah menempuh jalan yang tidak ada dalam konsep al-Syafi’iy, yakni tasâqut al-dalîlain. Tasâqut al-dalîlain mengandung arti menggungurkan dua dalil yang bertentangan, maka dalam proplem Hadîts mukhtalif kedau Hadîts yang saling bertentangan tersebut digugurkan segugur-gugurnya, untuk kemudian merujuk pada dalil yang derajatnya dibawah derajat dalil yang saling bertentangan tersebut.[51]
Di sini lah letak perbedaan Imam al-Syafi’iy dengan Hanafiyah dalam menyelesaikan bertentangan antara satu dalil dengan dalil lainnya. Hal ini didasari oleh cara pandang yang berbeda, Hanafiyah mendahulukan nasakh, hal ini bisa saja dilakukan agar kerja tidak berulang karena jika ditempuh kompromi terlebih dahulu, ternyata pertentangan yang terjadi sudah ada kejelasan nasakh-nya maka cara kompromi dipandang dapat menyita waktu. Dalam persoalan ini belum diteliti apa yang melatarbelakangi Hanafiah menggunakan urutan metode yang berbeda dengan al-Syafi’iy. Namun al-Syafi’iy dalam pernyataan terdahulu telah dijelaskan bahwa ia memilki prinsip mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada meninggalkan salah satu darinya, apalagi meninggalkan kedua dalil tersbut.
Metode ini dilakukan setelah upaya kompromi tidak memungkinkan lagi. Maka seorang peneliti perlu memilih dan mengunggulkan mana di antara hadits-hadits yang tampak bertentangan yang kualitasnya lebih baik. Sehingga hadits yang lebih berkualitas itulah yang dijadikan dalil.
Harus diakui bahwa ada beberapa matan (teks) hadits yang saling bertentangan. Bahkan ada juga yang benar-benar bertentangan dengan al-Quran. Antara lain adalah hadits tentang nasib bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup akan berada di neraka. Sebagai contoh adalah hadits berikut ini:
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ ، عَنْ دَاوُدَ بْنِ أَبِي هِنْدٍ ، عَنِ الشَّعْبِيِّ ، عَنْ عَلْقَمَةَ ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ يَزِيدَ الْجُعْفِيِّ ، قَالَ : انْطَلَقْتُ أَنَا وَأَخِي إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : قُلْنَا : يَا رَسُولَ اللهِ ، إِنَّ أُمَّنَا مُلَيْكَةَ كَانَتْ تَصِلُ الرَّحِمَ ، وَتَقْرِي الضَّيْفَ ، وَتَفْعَلُ ، وَتَفْعَلُ هَلَكَتْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ ، فَهَلْ ذَلِكَ نَافِعُهَا شَيْئًا ؟ قَالَ : لاَ قَالَ : قُلْنَا : فَإِنَّهَا كَانَتْ وَأَدَتْ أُخْتًا لَنَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ ، فَهَلْ ذَلِكَ نَافِعُهَا شَيْئًا ؟ قَالَ : الْوَائِدَةُ وَالْمَوْؤُودَةُ فِي النَّارِ ، إِلاَّ أَنْ تُدْرِكَ الْوَائِدَةُ الإِِسْلاَمَ ، فَيَعْفُوَ اللَّهُ عَنْهَا.
حَدِيثُ عَاصِمِ بْنِ عُمَرَ ، رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ.
“Perempuan yang mengubur bayi hidup-hidup dan bayinya akan masuk neraka.” (HR Abu Dawud)
Hadits tersebut diriwayatkan oleh imam Abu Dawud dari Ibnu Mas’ud dan Ibn Abi Hatim. Konteks munculnya hadits tersebut (Sabab Wurûdnya) adalah bahwa Salamah Ibn Yazid al-Ju’fi pergi bersama saudaranya menghadap Rasulullah s.a.w.. Seraya bertanya: “Wahai Rasul sesungguhnya saya percaya Malikah itu dahulu orang yang suka menyambung silaturrahmi, memuliakan tamu, tetapi ia meninggal dalam keadaan jahiliyah. Apakah amal kebaikannya itu bermanfaat baginya? Nabi menjawab: tidak. Kami berkata: dahulu ia pernah mengubur saudaranya perempuanku hidup-hidup di zaman Jahiliyah. Apakah amal akan kebaikannya bermanfaat baginya? Nabi menjawab: orang yang mengubur anak perempuannya hidup-hidup dan anak yang dikuburnya berada di neraka, kecuali jika perempuan yang menguburnya itu masuk Islam, lalu Allah memaafkannya. Demikian hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan an- Nasa’i, dan dinilai sebagai hadis hasan secara sanad oleh Imam Ibnu Katsir.[52]
Hadits tersebut dinilai musykil dari sisi matan dan mukhtalif dengan al-Quran surat at-Takwîr/81: 8-9 :
وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ
“Dan apabila bayi–bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh?”
Kalau seorang perempuan yang mengubur bayinya itu masuk ke neraka dapat dikatakan logis, tetapi ketika sang bayi yang tidak tahu apa-apa itu juga masuk ke neraka, masih perlu adanya tinjauan ulang. Maka dari itu, hadits tersebut harus ditolak meskipun sanadnya hasan, dan juga karena adanya pertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat nilainya, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Nabi pernah ditanya oleh paman Khansa’, anak perempuan al- Sharimiyyah: Ya Rasul, siapa yang akan masuk surga? Beliau menjawab: Nabi Muhammad s.a.w. akan masuk surga, orang yang mati syahid juga akan masuk surga, anak kecil juga akan masuk surga, anak perempuan yang dikubur hidup-hidup juga akan masuk surga. (HR. Ahmad.)
5. Masalah Tanawwu’ al-‘Ibâdah
Tanawwu’ al-‘Ibâdah merupakan salah satu cara yang ditempuh Imam al-Syafi’iy dalam menyelesaikan Hadîts mukhtalif dengan catatan mukhtalif tidak pada makna ta’âruth tapi tanawwu’. Adapun yang dimakud dengan Hadîts- Hadîts tanawwu’ al-ibâdah ialah Hadîts-Hadîts yang menerangkan praktek ibadah tertentu yang diajarkan oleh Rasulullah akan tetapi antara yang satu dengan yang lain terdapat perbedaan, bukan pertentangan, sehingga menggambarkan keberagaman dalam pelaksanaan ibadah tersebut.[53]
Manakah yang lebih afdhal untuk diamalkan? Dalam masalah ini perlu disimak tiga hal: (1) ragam ibadah yang sering dilakan oleh Rasulullah dan sahabat. (2) memperhatikan ajaran yang dibawa oleh Hadîts itu sendiri, manakah yang lebih tepat dan lengkap sesuai dengan situasi dan kondisi si pemakai. (3) memperhatikan manakah di antara Hadîts-Hadîts tersebut yang lebih tinggi tingkat ke-shahîh-annya.[54] Maka dalam hal ini tingkat kesumpurnaan lebih penting untuk dijadikan yang utama. Contoh: tentang ragam bacaan dalam rukû’ dan sujûd:
حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ أَبِي الضُّحَى عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ فِي رُكُوعِهِ وَسُجُودِهِ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي يَتَأَوَّلُ الْقُرْآنَ[55]
و حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ وَيُونُسُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى قَالَا أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ غَزِيَّةَ عَنْ سُمَيٍّ مَوْلَى أَبِي بَكْرٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ فِي سُجُودِهِ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي كُلَّهُ دِقَّهُ وَجِلَّهُ وَأَوَّلَهُ وَآخِرَهُ وَعَلَانِيَتَهُ وَسِرَّهُ[56]
و حَدَّثَنِي حَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْحُلْوَانِيُّ وَمُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ قَالَا حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ قَالَ قُلْتُ لِعَطَاءٍ كَيْفَ تَقُولُ أَنْتَ فِي الرُّكُوعِ قَالَ أَمَّا سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ فَأَخْبَرَنِي ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ افْتَقَدْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَظَنَنْتُ أَنَّهُ ذَهَبَ إِلَى بَعْضِ نِسَائِهِ فَتَحَسَّسْتُ ثُمَّ رَجَعْتُ فَإِذَا هُوَ رَاكِعٌ أَوْ سَاجِدٌ يَقُولُ سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ فَقُلْتُ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي إِنِّي لَفِي شَأْنٍ وَإِنَّكَ لَفِي آخَرَ[57]
Tiga contoh bacaan dalam rukû’ dan sujûd di atas merupakan ragam ibadah yang ketiganya diajarkan oleh Rasulullah dan diriwayatkan dengan isnad yang shahîh. Dalam mengamalkannya tergantung pada orang yang mengamalkannya manakah yang menurutnya tapat untuknya, baik dari kebiasaan, hafalan, atau makna yang dikandung oleh bacaan itu sesuai dengan doa yang ingin ia panjatkan ketika sujûd dan rukû’. Masih banyak bacaan yang lain yang diajarkan oleh Rasulullah menyangkut bacaan rukû’ dan sujûd, maupun bacaan yang lainnya.
D. KESIMPULAN
Berdasarkan pertanyaan yang diajukan pada sub pendahuluan dan paparan mengenai masalah yang dibahas, maka ada beberapa kesimpulan yang dapat dipetik:
- Ikhtilâf secara bahasa mengandung dua makna, yaitu, تعارض (pertentangan) dan تنوع (ragam). Sehingga dari makna ini Hadîts mukhtalif tidak saja dipahami sebagai Hadîts yang secara lahiriyahnya tampak bertentangan, namun juga digunakan untuk istilah ragam Hadîts yang mengandung perbedaan namun tidak membawa pertentangan.
- Hadîts mukhtalif dapat diartikan dengan Hadîts maqbûl, baik shahîh atau hasan yang secara lahiriyahanya tampak saling bertentangan dengan Hadîts lainnya yang berkwalitas sama, namun, makna yang sebenarnya tidaklah bertentangan karena satu dengan yang lainnya dapat selesaikan, baik dengan cara kompromi, nasakh atau pun tarjîh.
- Menurut Imam al-Syafi’iy Hadîts mukhtalif dalam kategori bertentangan dapat dipahami dan selesaikan pertenatangannya melelaui metode kompromi, nasakh atau pun tarjîh. Dimana metode kompromi meliputi bebarapa langkah yaitu: dengan menggunakan pemahaman dengan pendekatan kaedah ushûl, pemahaman kontekstual, korelatif, dan takwîl. Ketiga ini dilakukan dengan berurutan. Urutannya seperti yang diungkapkan Imam al-Syaf’iy ini, berbeda dengan Hanafiyah, di mana Hanafiyah menawarkan urutan nasakh, tarjîh, kompromi, dan yang terakhir ia menempuh metode yang tidak ada dalam konsep al-Syafi’iy, yakni tasâqut al-dalîlain. Kemudian bagi al-Syafi’iy untuk Hadîts mukhtalif dalam ketegori perbedaan yang mengandung keragaman diselesaikan dengan tanawwu’ al-ibâdah.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Badrân, Abu al-‘Ainain Badrân, Adllah al-Tasyrî’ al-Muta’âridhah wa Wujuh al-Tarjîh bainahâ, al-Iskandariah: Muassah al-Syiariy al-Jâmi’ah, 1985
2. al-Bukhâriy, Abu ‘Abdallah Muhammad Ibn Ismâ’îl Ibn Mughîrah Ibn Bardizbâ, Shahîh al-Bukhâriy, Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1999
3. CD al-Hadîst al-Syarif
4. CD maktabah as-samila
5. Ibn Manzhûr, Jamâl al-Dîn Muhammad Ibn Mukarram Lisân al-‘Arab, Bairût: Dâr Fikr, 1990
6. Al-Khatib, Muhammad Ajjâj, Ushul al-Hadîts Ulûmuh wa Musthalah, Bairût: Dâr Fikr, 1989
7. Ma’lûf, Lois, al-Munjid fiy Lughah wa al-I’lâm, Bairût: Dâr al-Masyrûq, 1994
8. Al-Naisâbûriy, Abi al-Hasan Muslim al-Hajjâj al-Qusairiy, Shahîh Muslim, al-Qâhirah: Dâr Ibn al-Haitsam, 2001
9. Al-Nasâ’iy, Abdurrahman Ahmad Ibn Syu’îb Ibn ‘Aliy, Sunan al-Nasâ’iy, Bairût Dâr Kutub al-‘Ilmiyah, 1995
10. Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wcana Ilmu, 1997), Cet ke-2, h. 196
11. al-Qâsimiy, Muhammad Jamâl al-Dîn, Qawâ’id al-Tahdîts min Funûn Mushthalah al-Hadîts, Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, tth
12. Safri, Edi, al-Imam al-Syafi’iy; Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, Padang: IAIN IB Press, 1999
13. Samrah, Abu ‘Isâ Muhammad Ibn ‘Isâ Ibn, Jâmi’ al-Shahîh Sunan al-Tirmidziy, Bairût: Dâr al-Fikr, 1994
14. Al-Syafi’iy, Muhammad Ibn Idris, al-Umm, Bairût, Dâr al-Fikr, 1983
15. Âmir Ahmad Khaidir (ed.), Ihktilâf al-Hadîts, Bairût, Mu’assasah al-Kutub al-Tsaqâfiyah, 1985
16. Al-Syuyûthiy, Jalâl al-Dîn Abu al-Fadhl Abd al-Rahmân, Tadrîb al-Râwiy fiy Syarh Taqrîb al-Nawâwiy, Bairût: Dâr Fikr, 1988
17. Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, Ushûl al-Hadîts: Pokok-pokok Ilmu Hadis, diterjemahkan oleh M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafik dari Ushûl al-Hadîts. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998) Cet. ke-1,
18. Syarf al-Dîn ‘Aliy al-Rajihi, Mushthalah al-Hadîts wa Atsaruh ‘ala al-Dâr al-Lughawiy ‘Inda al-‘Arabiy, (Barût: Dâr al-Nahdhat al-‘Arabiyah, tth),
19. Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ânil Hadîts (Yogyakarta : Idea Press, 2008).
20. G.H.A Juynboll, The Authenticity of the Tradition Literature; Discussion in Modern Egypt (Leiden: E.J Brill, 1969)
21. Shalahuddin Ibn Ahmad al-Adhlabi, Manhaj Naqd al-Matan ‘Inda Ulamâ al-Hadîts an-Nabawiy (Beirut: Dar al-Fikr al-Jadidah 1983),
[2] Jamâl al-Dîn Muhammad Ibn Mukarram Ibn Manzhûr al-Afriqiy al-Mishriy, Lisân al-‘Arab, (Bairût: Dâr Fikr, 1990), Jilid IX, h. 91
[3] Secara bahasa kata تعارض merupakan mashdar dari kata عارض yang berarti: تضاد (berlawanan) dan تباين (saling berjauhan). Secara istilah, Lois Ma’lûf mengartikan dengan تضاد بين شيئين يبرز أحدهما الأخر (dua hal yang saling berlawanan yang menimbulakan perbedaan antara satu dengan yang lainnya) .Lihat: Lois Ma’lûf, al-Munjid fiy Lughah wa al-I’lâm, (Bairût: Dâr al-Masyrûq, 1994), 966
[5] Jalâl al-Dîn Abu al-Fadhl Abd al-Rahmân al-Syuyûthiy (selanjutnya disebut dengan al-Syuyûthiy), Tadrîb al-Râwiy fiy Syarh Taqrîb al-Nawâwiy, (Bairût: Dâr Fikr, 1988), Juz II, h. 196
[6] Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, Ushûl al-Hadîts: Pokok-pokok Ilmu Hadis, diterjemahkan oleh M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafik dari Ushûl al-Hadîts. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998) Cet. ke-1, Hal. 254
[7] Edi Safri, al-Imam al-Syafi’iy; Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, (Padang: IAIN IB Press, 1999), h. 81-82
[8] al-Syuyûthiy, op. cit., h. 197-198
[9] Edi Safri, op. cit., h. 82, Mengutip Syarf al-Dîn ‘Aliy al-Rajihi, Mushthalah al-Hadîts wa Atsaruh ‘ala al-Dâr al-Lughawiy ‘Inda al-‘Arabiy, (Barût: Dâr al-Nahdhat al-‘Arabiyah, tth), h. 217
[10] Ibid. h. 218
[12] Muhammad Ibn Idris al-Syafi’iy, al-Umm, (Bairût, Dâr al-Fikr, 1983) Cet Ke-3, Jilid VII, h. 196
[16] Ibid. h. 100
[17] Abdurrahman Ahmad Ibn Syu’îb Ibn ‘Aliy al-Nasâ’iy (selanjutnya disebut dengan al-Nasâ’iy), Sunan al-Nasâ’iy, (Bairût Dâr Kutub al-‘Ilmiyah, 1995(, Juz VII, h. 222 Kerana waktu yang singkat takhrîj hanya bisa dilakukan dalam pengertian menelusuri Hadîts dari sumber ashli. Sedangkan takhrîj dalam artian menguji ke-shahîh-an Hadîts hanya dapat dilakukan dengan menggunakan CD al-Hadîst al-Syarif. Di mana data-data menunjukan bahwa Hadîts ini: (1) Sanad muttashil marfû’, (2) semua periwayat adil dan dhabith.
[18] Abi al-Hasan Muslim al-Hajjâj al-Qusairiy Al-Naisâbûriy (selanjunya disebut dengan Muslim), Shahîh Muslim, (al-Qâhirah: Dâr Ibn al-Haitsam, 2001) terbitan satu jilid, h. 401
[19] Ibid, h. 403
[20] Badrân Abu al-‘Ainain Badrân, Adllah al-Tasyrî’ al-Muta’âridhah wa Wujuh al-Tarjîh bainahâ, (al-Iskandariah: Muassah al-Syiariy al-Jâmi’ah, 1985), h. 169
[21] Edi Safri, op. cit,.. h. 103
[22] Contoh ini dekemukakan oleh Edi Safri, namun penulis mengambil riwayat pertama yang berbeda dengan yang dikutib Edi Safri. Tentang cara pemahaman yang sama juga dapat dilihat dalam contoh kedua yang dikemukakan Edi Safri tentang buang hajat.Lihat: Ibid. h. 105-110
[23] Muslim, op. cit., h. 347
[24] Ibid. h. 374
[25] Muhammad Ibn Idris al-Syafi’iy, Âmir Ahmad Khaidir (ed.), Ihktilâf al-Hadîts (selanjtnya disebut dengan al-Syafi’iy, Ihktilâf al-Hadîts), (Bairût, Mu’assasah al-Kutub al-Tsaqâfiyah, 1985), h. 247-248
[27] Ibid. h. 107-108
[28] Ibid. h. 111
[29] Contoh ini juga telah diungkapkan oleh Edi Safri, namun penulis melakukan konfirmasi dengan kitab Ikhtilâf al-Hadîts. Lihat:Ibid. h. 112-118 bandingkan dengan al-Syafi’iy, Ikhtilâf al-Hadîts, op. cit., h. 115-121
[30] Abu ‘Abdallah Muhammad Ibn Ismâ’îl Ibn Mughîrah Ibn Bardizbân al-Bukhâriy (selanjutnya disebut dengan al-Bukhâriy), Shahîh al-Bukhâriy, (Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1999) Juz I, h. 144
[31] Ibid. h. 146-147
[32] Muhammad Ibn Idris al-Syafi’iy, Âmir Ahmad Khaidir (ed.), Ihktilâf al-Hadîts (selanjtnya disebut dengan al-Syafi’iy, Ihktilâf al-Hadîts), (Bairût, Mu’assasah al-Kutub al-Tsaqâfiyah, 1985), h. 247-248
[33] Ibid. terjemahan oleh Edi Safri, lihat: Ibid. h. 118
[35] Al-Nasâ’iy, op. cit., Juz I, h. 198. setelah di-takhrîj melaluii CD Hadîts al-Syarîf, Hadîts ini shahîh, al-Isnad.
[36] Muslim, op. cit., h. 154
[37] Edi Safri, op. cit., h. 123
[38] Keterangan lebih lanjut: lihat: Ibid. h. 121-122
[39] G.H.A Juynboll, The Authenticity of the Tradition Literature; Discussion in Modern Egypt (Leiden: E.J Brill, 1969) hal. 141-142 dikutip dari Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ânil Hadîts (Yogyakarta : Idea Press, 2008). hal. 100-101.
[40] G.H.A Juynboll, The Authenticity of the Tradition Literature; Discussion in Modern Egypt (Leiden: E.J Brill, 1969) hal. 141-142 dikutip dari Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ânil Hadîts (Yogyakarta : Idea Press, 2008). hal. 100-101.
[42] Lihat: Ajjâj al-Khatib, op. cit. h. 288
[43] Edi Safri, op. cit., h. 125
[44] Ajjâj al-Khatib, op. cit. h. 287, lihat juga: Badrân, op. cit., h. 39
[45] Ibid., lihat juga: Muhammad Jamâl al-Dîn al-Qâsimiy, Qawâ’id al-Tahdîts min Funûn Mushthalah al-Hadîts, (Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, tth), h. 316
[46] Al-Nasâ’iy, op. cit.,
[47] Abu ‘Isâ menyebutkan bahwa Hadîst ini hasan shahîh. Lihat: Abu ‘Isâ Muhammad Ibn ‘Isâ Ibn Samrah, Jâmi’ al-Shahîh Sunan al-Tirmidziy, (Bairût: Dâr al-Fikr, 1994), Juz III, h. 310
[49] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wcana Ilmu, 1997), Cet ke-2, h. 196
[50] Edi Safri, op. cit., h. 130
[52] Shalahuddin Ibn Ahmad al-Adhlabi, Manhaj Naqd al-Matan ‘Inda Ulamâ al-Hadîts an-Nabawiy (Beirut: Dar al-Fikr al-Jadidah 1983), hal. 115.
[53] Edi Safri, op. cit., h. 132
[54] Ibid. h. 138
[55] Muslim, op. cit., h. 120
[56] Ibid.
[57] Ibid., 120-121
0 komentar:
Posting Komentar
berilah komentar yang saling mendukung saling menghormati sesama