A. Masuknya Islam ke Spanyol
Sebagaimana disebutkan dalam makalah sebelumnya, Spanyol diduduki umat Islam pada zaman Khalifah Al-Walid (705-715 M), salah seorang khalifah dari Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus. Sebelum penaklukan Spanyol, umat Islam telah menguasai Afrika Utara dan menjadikan sebagai salah satu propinsi dari dinasti Bani Umayyah. Penguasaan sepenuhnya atas Afrika Utara itu terjadi di Khalifah Abdul Malik (685-705 M).
Khalifah Abdul Malik mengangkat Hasan ibn Nu’man Al-Ghassani menjadi gubernur di daerah itu. pada masa Khalifah AL-Walid, Hasan Ibn Nu’man sudah digantikan oleh Musa ibn Nushair. Di zamannya Al-Walid, Musa ibn Nushair memperluas wilayah kekuasaannya dengan menduduki Aljazair dan Maroko. Selain itu ia juga menyempurnakan penaklukan ke daerah-daerah bekas kekuasaan bangsa Barbar di pegunungan-pegunungan, sehingga mereka menyatakan setia dan berjanji tidak akan membuat kekacauan-kekacauan seperti yang pernah mereka lakukan sebelumnya. Penaklukan atas wilayah Afrika Utara itu pertama kali dikalahkan sampai menjadi salah satu propinsi dari Khalifah bani Umayah memakan waktu selama 53 tahun, yaitu mulai tahun 30 H (masa-masa Al-Walid). Sebelum dikalahkan dan kemudia dikuasai Islam, di kawasan ini terdapat kantung-kantung yang menjadi basis kekuasaan kerajaan Romawi, yaitu kerajaan Gothik. Kerajaan ini sering menghasut penduduk agar membuat kerusuhan dan menentang kekuasaan Islam. setelah kawasan ini betul-betul dapat dikuasai, umat Islam mulai memusatkan perhatiannya untuk menaklukan Spanyol. Dengan demikian, Afrika Utara menjadi batu loncata bagi kaum Muslimin dalam penaklukan wilayah Spanyol.
Dalam proses penaklukan Spanyol terdapat tiga pahlawan Islam yang dapat dikatakan paling berjasa memimpin satuan-satuan pasukan ke sana. Mereka adalah Tharif ibn Malik, Thariq ibn Ziyad, dan Musa ibn Nushair. Tharif dapat disebut sebagai perintis dan penyelidik. Ia menyeberangi selat yang berada di antara Maroko dan benua Eropa itu dengan satu pasukan perang, lima ratus orang di antaranya adalah pasukan tentara berkuda, mereka menaiki empat buah kapal yang disediakan oleh Julian. Dalam penyerbuan itu Tharif tidak mendapat perlawanan yang berarti. Ia menang dan kembali ke Afrika Utara membawa harta rampasan yang tidak sedikit jumlahnya. Didorong oleh keberhasilan Tharif dan kemelut yang terjadi dalam tubuh kerajaan Visigothic yang berkuasa di Spanyol pada saat itu, serta dorongan yang besar untuk memperoleh harta rampasan perang, Musa ibn Nushair pada tahun 711 M mengirim pasukan ke Spanyol sebanyak 7000 orang di bawah pimpinan Thariq ibn Ziyad.
Thariq ibn Ziyad leih banyak dikenal sebagai penakluk Spanyol, karena pasukannya lebih besar dan hasilnya lebih nyata. Pasukannya terdiri dari sebagian besar suku Barbar yang didukung oleh Musa ibn Nushair dan sebagian lagi orang Arab yang dikirim Khalifah Al-Walid. Pasukan itu kemudian menyeberangi selat di bawah pimpinan Thariq ibn Ziyad. Sebuah gunung tempat pertama kali Thariq dan pasukannya mendarat dan menyiapkan pasukannya, dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Thariq). Dengan dikekuasainya daerah ini, maka terbukalah pintu secara luas untuk memasuki Spanyol. Dalam pertempuran di suatu tempat yang bernama Bakkah (lembah), Raja Roderick dapat dikalahkan. Dari situ Thariq dan pasukannya terus menaklukkan kota-kota penting, seperti Cordova, Granada, dan Toledo, ia meminta tambahan pasukan kepada Musa ibn Nushair di Afrika Utara. Musa mengirimkan tambahan pasukan sebanyak 5000 personel, sehingga jumlah pasukan Thariq seluruh 12.000 orang. Jumlah ini belum sebandig dengan pasukan Gothik yang jauh lebih besar, 100.000 orang.
Kemengangan pertama yang dicapai oleh Thariq ibn Ziyad membuka jala untuk penaklukan wilayah yang lebih luas lagi. Untuk itu, Musa ibn Nushair merasa perlu melibatkan diri dalam gelanggang pertempura dengan maksud membantu perjuangan Thariq. Dengan suatu pasukan yang besar, ia berangkatkan menyeberangi selat itu dan satu persatu kota yang dilewatinya dapat ditaklukkannya. Setelah Musa berhasil menaklukkan Sidonia, Karmona, Seville, Merida serta mengalahkan penguasa kerajaan di Toledo. Selanjutnya, keduanya berhasil menguasai seluruh kota penting di Spanyol, termasuk bagian utaranya, mulai dari Saragosa, sampai Navarre.
Gelombang perluasan wilayah berikutnya muncul pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Abdil Aziz tahun 99 H/17 M. kali ini, sasaran ditujukan untuk menguasai daerah sekitar pegunungan Pyrenia dan Perancis Selatan. Pimpinan pasukan dipercayakan kepada Al-Samah, tetapi usahanya gagal dan ia sendiri terbunuh pada tahun 102 H. Selanjutnya, pimpinan pasukan diserahkan kepada Abd Al-Rahman ibn Abdullah Al-Ghafiqi. Dengan pasukannya, ia menyerang kota Bordesu, Poiter, dan dari sini mencoba menyerang kota Tours. Akan tetapi, di antara kota Poiter dan Tours itu ia ditahan oleh Charles Martel, sehingga penyerangan ke Prancis kembali ke Spanyol.
Sesudah itu, masih juga terdapat penyerangan-penyerangan seperti ke Avirignon tahun 734 M, ke Lyon tahun 743 M, dan pulau-pulau yang terdapat di laut tengah. Majorca, Corsia, Sardinia, Creta, Rhodes, Cyprus, dan sebagian dari Sicilia juga jatuh ke tangan Islam di Zaman Bani Umayah. Gelombang kedua terbesar dari pernyerbuan kaum Muslimin yang gerakannya dimulai pada permulaan abad ke-8 M ini, telah menjangkau seluruh Spanyol dan melebar jauh menjangkau Prancis tengah dan bagian-bagian penting dari Italia.
Kemenangan-kemenangan ang dicapai umat Islam Nampak begitu mudah. Hal itu tak mampu dipisahkan dari adanya faktor eksternal dan internal yang menguntungkan.
Yang dimaksud dengan faktor eksternal adalah suatu kondisi yang terdapat di dalam negeri Spanyol sendiri. Pada masa penaklukan Spanyol oleh orang-orang Islam, kondisi social, politik, dan ekonomi negeri ini berada dalam keadaan menyedihkan. Secara politik, wilayah Spanyol terkoyak-koyak dan terbagi-bagi ke dalam beberapa negeri kecil. Bersamaan dengan itu, penguasa Gothic bersikap tidak toleran terhadap aliran agama yang dianut oleh penguasa, yaitu aliran Monofisit, apalagi terhadap penganut agama lain, Yahudi. Penganut agama Yahudi yang merupakan bagian terbesar dari penduduk Spanyol dipaksa dan dibunuh secara brutal. Rakyat dibagi-bagi ke dalam system kelas, sehinga, keadaannya diliputi oleh kemelaratan, ketertindasan, dan ketiadaan persamaan hak. Di dalam situasi seperti itu, kaum tertindas menanti kedatangan juru pembebas dan juru pembebasnya mereka temukan dari orang Islam. Berkenaan dengan itu, Ameer Ali, seperti dikutip oleh Imamudin mengatakan, ketika Afrika (Timur dan Barat) menikmati kenyamanan dalam segi material, kebersamaan, keadilan, dan kesejahraan tetangganya di jazirah Spanyol berada dalam keadaan menyedihkan di bawah kekuasaan tangan bengis penguasa Visighotic. Di sisi lain, kerajaan berada dalam kemelut yang membawa akibat pada penderitaan masyarakat. Akibat perlakuan yang keji, koloni-koloni Yahudi yang penting menjadi tempat-tempat perlawanan dan pemberontakan. Perpecahan dalam negeri Spanyol ini banyak membantu keberhasilan campur tangan Islam di tahun 711 M. Perpecahan itu amat banyak coraknya dan sudah ada jauh sebelum kerajaan Gothic berdiri.
Perpecahan politik memperburuk keadaan ekonomi masyarakat. Ketika Islam masuk ke Spanyol, ekonomi masyarakat dalam keadaan lumpuh. Padahal, sewaktu Spanyol berada di bawah pemerintah Romawi, berkat kesuburan tanahnya, pertanian maju pesat. Demikian juga pertambangan, industry, dan perdagangan karena didukung oleh saranan transportasi yang baik. Akan tetapi, setelah Spanyol berada di bawah kekuasaan kerajaan Goth, perekonomian lumpuh dan kesejahteraan masyarakat menurun. Hektaran tanah dibiarkan terlantar tanpa digarap, beberapa pabrik ditutup, dan antara satu daerah dengan daerah lain sulit dilalui akibat jalan-jalan tidak mendapat perawatan.buruknya kondisi social, ekonomi, dan keagamaan tersebut terutama disebabkan oleh keadaan politik yang kacau. Kondisi terburuk terjadi pada masa pemerintahan raja Roderick, raja Goth, terakhir yang dikalahkan Islam.
Awal kehancuran kerajaan Goth adalah ketika raja Roderick memindahkan ibu kota negaranya dari Seville ke Toledo, sementara Witiza, yang saat itu menjadi penguasa atas wilayah Toledo, diberhentikan begitu saja. Keadaan ini memancing amarah dari Oppas dan Achila, kakak, dan anak Witiza. Keduanya kemudian bangkt menghimpun kekuatan untuk menjatuhkan Roderick. Mereka pergi ke Afrika Utara dan bergabung dengan kaum Muslimin. Sementara itu, terjadi konflik antara Roderick dengan Ratu Julian, mantan penguasa wilayah Septah. Julian juga bergabung dengan kaum Muslimin di Afrika Utara dan mendukung umat Islam untuk menguasai Spanyol. Julian bahkan memberikan pinjaman empat buah kapal yang dipakai oleh Tharif, Thariq, dan Musa.
Hal yang menguntungkan tentara Islam lainnya adalah tentara Roderick yang terdiri dari para budak yang tertindas tidak lagi mempunyai semangat perang. Selain itu, orang Yahudi, yang selama ini tertekan juga mengadakan persekutuan dan memberikan bantuan bagi perjuangan kaum Muslimin.
Adapun yang dimaksud dengan faktor internal adalah suatu kondisi yang terdapat dalam tubuh penguasa, tokoh-tokoh pejuang, dan para prajurit Islam yang terlibat dalam penaklukan wilayah Spanyol pada khususnya. Para pemimpin adalah tokoh-tokoh yang kuat, tentara kompak, bersatu, dan penuh percaya diri. Mereka pun cakap, berani dan tabah dalam menyikapi setiap persoalan. Yang tak kalah pentingnya adalah ajaran Islam yang ditujukkan para tentara Islam, yaitu toleransi, persaudaraan, dan tolong menolong. Sikap toleran agama dan persaudaraan yang terdapat dalam pribadi kaum Muslimin itu menyebabkan penduduk Spanyol menyambut kehadiran Islam di sana.
B. Perkembangan Islam di Spanyol
Sejak pertama kali menginjakkan kaki di tanah bencah Spanyol hingga jatuhnya kerajaan Islam terakhir di sana, Islam memainkan peranan sangat besar. Masa itu berlangsung lebih dari tujuh setengah abad. Sejarah panjang yang dianut umat Islam di Spanyol itu dapat dibagi menjadi enam periode, yaitu:
1. Periode Pertama (711-755 M)
Pada priode ini, Spanyol berada di bawah pemerintahan para wali yang diangkat oleh Khalifah bani Umayah yang berpusat di Damaskus. Pada priode ini stabilitas politik negeri Spanyol belum tercapai secara sempurna, gangguan-gangguan masih terjadi, baik datang dari dalam maupun dari luar. Gangguan dari dalam antara lain berupa perselisihan di antara elit penguasa, terutama akibat perbedaan etnis dan golongan. Di samping itu, terdapat perbedaan pendangan antara khalifah di Damaskus dan gubernur Afrika yang berpusat di Kairawan. Masing-masing mengaku bahwa merekalah yang paling berhak menguasai daerah Spanyol ini. Oleh karena itu, terjadi dua puluh kali pergantian wali (gubernur) Spanyol dalam jangka waktu yang sangat singkat. Perbedaan pangangan poitik itu menyebabkan seringnya terjadi perang saudara. Hal ini ada hubungannya dengan perbedaan etnis, terutama antara Barbar asal Afrika Utara dan Arab. Di dalam Etnis arab sendiri, teradpat dua golongan yang terus-menerus bersaing, yaitu suku Qaisy (Arab Utara) dan Arab Yaman (Arab Selatan).perbedaan etnis ini seringkali menimbulkan konflik politik, terutama ketika tidak pada satu saat itu tidak ada gubernur yang mampu mempertahankan kekuasaannya untuk jangka waktu yang agak lama.
Karena eringnya terjadi konflik internal dan berperang menghadapi musuh dari luar, maka dalam priode ini Islam Spanyol belum memasuki kegiatan pembangunan di bidang peradaban dan kebudayaan. Priode ini berakhir dengan datangnya Abd Al-Rahman Al-Dakhil ke Spanyol pada tahun 138 H/755 M.
2. Periode Kedua (755-912 M)
Pada periode ini, Spanyol berada di bawah pemerintahan seorang yang bergelar amir (panglima atau gubernur) tetapi tidak tunduk pada pusat pemerintahan Islam yang ketika itu dipegang oleh Khalifah Abbasiyah di Baghdad. Amir pertama adalah Abdurrahman I, yang memasuki Spanyol pada tahun 138 H/755 M dan diberi gelar Al-Dakhi (Yang Masuk ke Spanyol). Dia adalah keturunan Bani Umayah yang berhasil lolos dari kerajaan Abbas ketika yang terkhir ini berhasil menaklukkan Bani Umayah di Damaskus. Selanjutnya, ia berhasi mendirikan dinasti Bani Umayah di Spanyol. Penguasa-penguasa Spanyol pada periode ini adalah Abd Rahman Al-Dakhi, Hisyam I, Hakam I, Abd Al-Rahman Al-Ausath, Muhammad ibn Abd Rahman, Munzir ibn Muhammad, dan Abdullah ibn Muhammad.
Pada periode ini, umat Islam Spanyol mulai memperoleh kemajuan-kemajuan, baik dalam bidang politik maupun dalam bidang peradaban. Abd Al-Rahman mendirikan masjid Cordova dan sekolah-sekolah di kota-kota besar Spanyol. Hisyam dikenal berjasa dalam menegakkan hukum Islam dan Hakam dikenal sebagai pembaharu dalam bidang kemiliteran. Dialah yang memprakarsai tentara bayaran di Spanyol. Sedangkan Abd Al-Rahman Al-Ausath dikenal sebagai penguasa yang cinta ilmu. Pemikiran filsafat juga mulai masuk pada periode ini, erutama di zaman Abdurrahman Al-Ausath. Ia mengundang para ahli dari dunia Islam lainnya untuk datang ke Spanyol sehingga kegiatan ilmu pengetahuan di Spanyol mulai marak.
Sekalipun demikian, berbagai ancaman dan kerusuhan terjadi. Pada pertengahan abad ke-9, stabilitas negara terganggu dengan munculnya gerakan Kristen fanatic yang mencari kesyahidan. Namun, gereja Kristen lainya di seluruh Spanyol tidak menaruh simpati pada gerakan itu, karena pemerintahan Islam mengembangkan kebebasan beragama. Penduduk Keristen diperbolehkan memiliki pengadilan sendiri berdasarkan hukum Kristen. Peribadatan tidak dihalangi, lebih dari itu, mereka diizinkan mendirikan gereja baru, biara-biara di samping asrama rahib atau lainnya. Mereka juga tidak dihalangi bekerja sebagai pegawai pemerintahan atau menjadi karyawan pada instansi militer.
3. Periode Ketiga (912-1013 M)
Periode ini berlangsung mulai dari pemerintahan Abdurrahman III yang bergelar An-Nasir sampai munculnya "raja- raja kelompok" yang dikenal dengan sebutan Muluk al-Thawaij. Pada periode ini Spanyol diperintah oleh penguasa dengan gelar khalifah, penggunaan gelar khalifah tersebut bermula dari berita yang sampai kepada Abdurrahman III, bahwa Al-Muktadir, Khalifah daulat Bani Abbas di Baghdad meninggal dunia dibunuh oleh pengawalnya sendiri. Menurut penilaiannya, keadaan ini menunjukkan bahwa suasana pemerintahan Abbasiyah sedang berada dalam kemelut. Ia berpendapat bahwa saat ini merupakan saat yang paling tepat untuk memakai gelar khalifah yang telah hilang dari kekuasaan Bani Umayyah selama 150 tahun lebih. Karena itulah, gelar ini dipakai mulai tahun 929 M. Khalifah-khalifah besar yang memerintah pada periode ini ada tiga orang, yaitu Abdurrahman al-Nasir (912-961 M), Hakam II (961-976 M), dan Hisyam II (976-1009 M).
Pada periode ini umat Islam Spanyol mencapai puncak kemajuan dan kejayaan menyaingi kejayaan daulat Abbasiyah Baghdad. Abdurrahman al-Nashir mendirikan universitas Cordova. Perpustakaannya memiliki koleksi ratusan ribu buku. Hakam II juga seorang kolektor buku dan pendiri perpustakaan. Pada masa ini, masyarakat dapat menikmati kesejahteraan dan kemakmuran. Pembangunan kota berlangsung cepat.
Awal dari kehancuran khilafah Bani Umayyah di Spanyol adalah ketika Hisyam naik tahta dalam usia sebelas tahun. Oleh karena itu kekuasaan aktual berada di tangan para pejabat. Pada tahun 981 M, Khalifah menunjuk Ibn Abi Amir sebagai pemegang kekuasaan secara mutlak. Dia seorang yang ambisius yang berhasil menancapkan kekuasaannya dan melebarkan wilayah kekuasaan Islam dengan menyingkirkan rekan-rekan dan saingan-saingannya. Atas keberhasilan-keberhasilannya, ia mendapat gelar al-Manshur Billah. Ia wafat pada tahun 1002 M dan digantikan oleh anaknya al-Muzaffar yang masih dapat mempertahankan keunggulan kerajaan. Akan tetapi, setelah wafat pada tahun 1008 M, ia digantikan oleh adiknya yang tidak memiliki kualitas bagi jabatan itu. Dalam beberapa tahun saja, negara yang tadinya makmur dilanda kekacauan dan akhirnya kehancuran total. Pada tahun 1009 M khalifah mengundurkan diri. Beberapa orang yang dicoba untuk menduduki jabatan itu tidak ada yang sanggup memperbaiki keadaan. Akhirnya pada tahun 1013 M, Dewan Menteri yang memerintah Cordova menghapuskan jabatan khalifah. Ketika itu, Spanyol sudah terpecah dalam banyak sekali negara kecil yang berpusat di kota-kota tertentu.
4. Periode Keempat (1013-1086 M)
Pada periode ini, Spanyol terpecah menjadi lebih dari tiga puluh negera kecil di bawah pemerintahan raja-raja golongan atau Al-Mulukuth Thawaif, yang berpusat di suatu kota seperti Seville, Cordova, Toledo, dan sebagainya. Yang terbesar diantaranya adalah Abbadiyah di Seville. Pada periode ini umat Islam Spanyol kembali memasuki masa pertikaian intern. Ironisnya, kalau terjadi perang saudara, ada diantara pihak-pihak yang bertikai itu yang meminta bantuan kepada raja-raja Kristen. Melihat kelemahan dan kekacauan yang menimpa keadaan politik Islam itu, untuk pertama kalinya orang-orang Kristen pada periode ini mulai mengambil inisiatif penyerangan. Meskipun kehidupan politik tidak stabil, namun kehidupan intelektual terus berkembang pada periode ini. Istana-istana mendorong para sarjana dan sastrawan untuk mendapatkan perlindungan dari satu istana ke istana lain.
5. Periode Kelima (1086-1248 M)
Pada periode ini Spanyol Islam meskipun masih terpecah dalam beberapa negara, tetapi terdapat satu kekuatan yang dominan, yaitu kekuasaan dinasti Murabithun (086-1143 M) dan dinasti Muwahhidun (1146-1235 M). Dinasti Murabithun pada mulanya adalah sebuah gerakan agama yang didirikan oleh Yusuf ibn Tasyfin di Afrika Utara. Pada tahun 1062 M ia berhasil mendirikan sebuah kerajaan yang berpusat di Marakesy. Ia masuk ke Spanyol atas "undangan" penguasa-penguasa Islam di sana yang tengah memikul beban berat perjuangan mempertahankan negeri-negerinya dari serangan-serangan orang-orang Kristen. Ia dan tentaranya memasuki Spanyol pada tahun 1086 M dan berhasil mengalahkan pasukan Castilia. Karena perpecahan di kalangan raja-raja muslim, Yusuf melangkah lebih jauh untuk menguasai Spanyol dan ia berhasil untuk itu. Akan tetapi, penguasa-penguasa sesudah ibn Tasyfin adalah raja-raja yang lemah. Pada tahun 1143 M, kekuasaan dinasti ini berakhir, baik di Afrika Utara maupun di Spanyol dan digantikan oleh dinasti Muwahhidun. Pada masa dinasti Murabithun, Saragossa jatuh ke tangan Kristen, tepatnya tahun 1118 M. Di Spanyol sendiri, sepeninggal dinasti ini, pada mulanya muncul kembali dinasti-dinasti kecil, tapi hanya berlangsung tiga tahun. Pada tahun 1146 M penguasa dinasti Muwahhidun yang berpusat di Afrika Utara merebut daerah ini. Muwahhidun didirikan oleh Muhammad ibn Tumart (w. 1128). Dinasti ini datang ke Spanyol di bawah pimpinan Abd al-Mun'im. Antara tahun 1114 dan 1154 M, kota-kota muslim penting, Cordova, Almeria, dan Granada, jatuh ke bawah kekuasaannya. Untuk jangka beberapa dekade, dinasti ini mengalami banyak kemajuan. Kekuatan-kekuatan Kristen dapat dipukul mundur. Akan tetapi tidak lama setelah itu, Muwahhidun mengalami keambrukan. Pada tahun 1212 M, tentara Kristen memperoleh kemenangan besar di Las Navas de Tolesa. Kekalahan-kekalahan yang dialami Muwahhidun menyebabkan penguasanya memilih untuk meninggalkan Spanyol dan kembali ke Afrika Utara tahun 1235 M. Keadaan Spanyol kembali runyam, berada di bawah penguasa-penguasa kecil. Dalam kondisi demikian, umat Islam tidak mampu bertahan dari serangan-serangan Kristen yang semakin besar. Tahun 1238 M Cordova jatuh ke tangan penguasa Kristen dan Seville jatuh tahun 1248 M. Seluruh Spanyol kecuali Granada lepas dari kekuatan Islam.
6. Periode Keenam (1248-1492 M)
Pada periode ini, Islam hanya berkuasa di daerah Granada, di bawah dinasti Bani Ahmar (1232-1492). Peradaban kembali mengalami kemajuan seperti di zaman Abdurrahman an-Nasir. Akan tetapi, secara politik, dinasti ini hanya berkuasa di wilayah yang kecil. Kekuasaan Islam yang merupakan pertahanan terakhir di Spanyol ini berakhir karena perselisihan orang-orang istana dalam memperebutkan kekuasaan. Abu Abdullah Muhammad merasa tidak senang kepada ayahnya karena menunjuk anaknya yang lain sebagai penggantinya menjadi raja. Dia memberontak dan berusaha merampas kekuasaan. Dalam pemberontakan itu, ayahnya terbunuh dan digantikan oleh Muhammad ibn Sa'ad. Abu Abdullah kemudian meminta bantuan kepada Ferdenand dan Isabella untuk menjatuhkannya. Dua penguasa Kristen ini dapat mengalahkan penguasa yang sah dan Abu Abdullah naik tahta.
Tentu saja, Ferdenand dan Isabella yang mempersatukan dua kerajaan besar Kristen melalui perkawinan itu tidak cukup merasa puas. Keduanya ingin merebut kekuasaan terakhir umat Islam di Spanyol. Abu Abdullah tidak kuasa menahan serangan-serangan orang Kristen tersebut dan pada akhirnya mengaku kalah. Ia menyerahkan kekuasaan kepada Ferdenand dan Isabella, kemudian hijrah ke Afrika Utara. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Islam di Spanyol tahun 1492 M. Umat Islam setelah itu dihadapkan kepada dua pilihan, masuk Kristen atau pergi meninggal Spanyol. Pada tahun 1609 M, boleh dikatakan tidak ada lagi umat Islam di daerah ini.
C. Mulk Tawa’if
A. DinastiMurabithun
1. Proses Berdiri dan Perkembangan Dinasti Murabithun
Murabithun adalah sebuah Dinasti yang pernah beruasa di Maroko, al-Jazair Barat dan Andalusia sekitar tahun 1061-1147 M. Munculnya Dinasti ini berawal dari suatu gerakan keagamaan yang bertujuan memberantas berbagai penyelewengan dalam bidang agama, dan berusaha menyebarkan ajaran agama yang benar. Namun dalam perkembangannya, gerakan ini tidak hanya memfokuskan diri dalam bidang keagamaan, juga memasuki wilayah militer dan kemudian politik dan kekuasaan. Gerakan ini dimotori oleh suku Lamtunah, cabang suku Shanhajah da-ri su¬ku Barbar. Suku ini merupakan sempalan dari suku Arab Bani Himyar yang bermigrasi ke wilayah Afrika Utara bersamaan dengan kedatangan gubernur Bani Umayah bernama Uqbah bin Nafi’. Jumlah mereka semakin bertambah ketika Musa bin Nushair menjadi gubernur di wilayah Afrika. Dalam perkembangan berikutnya, mereka menjadi sebuah komunitas yang cukup dominan di wilayah tersebut. Oleh karena itu, wajar kalau kemudian gerakan Murabithun ini yang dipelopori Yahya bin Ibrahim al-Jaddali, salah seorang kepala suku Lamtunah, sempalan dari generasi Bani Himyar. Gerakan ini dimulai sekembalinya dari perjalanan ibadaah haji.
Dalam perjalanannya kembali ke kampung halaman, di Naflis ia berjumpa dengan seorang alim bernama Abdullah bin Yasin al-Jazuli. Dengan kesungguhan hati, Yahya bin Ibrahim meminta Abdullah bin Yasin untuk datang ke tempat tinggalnya dan mengajarkan ilmu agama yang benar kepada penduduk di tempat tinggal Yahya. Ajakan itu diterima dengan baik oleh Abdullah bin Yasin, sehingga ia bersama Yahya pergi menuju tempat kelahiran Yahya bin Ibrahim. Akan tetapi, dakwah Islam yang disampaikan oleh Abdullah bin Yasin tidak mendapat banyak sambutan, kecuali dari keluarga Yahya bin Ibrahim, Yahya bin Umar dan keluarga adinya, Abu Bakar bin Umar. Melihat kegagalan dakwah yang disampaikannya, akhirnya Abdullah bin Yasin mengajak beberapa orang pengikutnya pergi ke sebuah pulau di Sinegal. Di sinilah Abdullah bin Yasin dan para pengikutnya mendirikan ribath. Orang-orang yang tergabung dalam kelompok Abdullah bin Yasin dan Yahya bin Ibrahim, semakin bertam¬bah banyak. Ketika jumlah pengikutnya sekitar seribu orang, Abdullah bin Yasin memerintahkan kepada seluruh pengikutnya untuk menyebarkan ajaran mereka ke luar ribath dan memberantas berbagai penyimpangan ajaran agama. Sasaran usaha kelompok ribath ini tidak hanya ditujukan kepada individu, juga kepada para penguasa yang memungut pajak terlalu tinggi tanpa ada distribusi yang jelas kepada masyarakat.
Dalam perkembangan selanjutnya, ketika pengikur ribath semakin bertambah banyak, mereka mulai melirik cara lain dalam pengembangan ajaran kelompok ini, yaitu dengan memasuki wilayah politik militer dan kekuasaan. Untuk kepentingan itu, mereka mengangkat Yahya bin Umar menjadi panglima milter mereka. Kelompok ini kemudian melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah Sahara Afrika dan menaklukkan penduduk-nya. Usaha ekspansi ini bukan berarti tidak ada pelawanan, penguasa Sijil-mash bernama Mas’ud bin Wanuddin al-Magrawi melakukan perlawanan sengit, meskipun akhirnya ia gugur dalam pertempuran tersebut dan ibu kota Wadi Dar’ah direbut oleh kelompok Murabithun pada tahun 1055 M.
Setelah Yahya bin Umar meninggal pada tahun 1056 M, tampuk kekuasaan diambil alih oleh adiknya bernama Abu Bakar dan kemenakan-nya bernama Yusuf bin Tasyfin. Setelah Abdullah bin Yasin meninggal pada tahun 1059 M, dalam sebuah pertempuran melawan suku-suku Barbar di pantai Samudera Atlantik. Sepeninggal Abdullah bin Yasin, tampuk kekuasaan dan wilayah-wilayah kekuasaan kaum ribath diambil alih oleh Abu Bakar dan Yusuf bin Tasyfin.
Ketika terjadi konflik di antara suku-suku yang ditinggalkannya di bagian utara, kedua berpisah. Abu Bakar kembali ke sahara untuk mengem¬balikan keamanan dan ketertiban. Sementara Yusuf bin Tasyfin melanjutkan usaha penaklukkannya ke wilayah Utara. Usaha keduanya berhasil dengan baik. Karena itu, Abu Bakar berkeinginan kembali ke Utara dan mengambil kendali kekuasaan. Tetapi apa yang diharapkan Abu Bakar tidak menjadi kenyataan. Karena kedatangannya di wilayah Maghribi tidak diharapkan oleh Yusuf bin Tasyfin dan isterinya bernama Zainab. Karena itu, ketika Abu Bakar tiba Yusuf tidak pernah menyinggung soal kepemimpinan. Yusuf hanya memberikan hadiah dengan junmlah yang cukup banyak.
Tampaknya Abu Bakar tidak mau bersitegang dengan kemenakannya hanya karena persoalan politik kekuasaan. Karena ia menyadari bahwa latar belakang berdirinya kelompok ini semata bertujuan memberikan pe-ringatan kepada semua orang dan para penguasa yang telah melakukan pe-nyimpangan ajaran agama. Karena itu kemudian ia pergi meninggalkan Maghribi dan kembali ke sahara, terus pergi ke Sudan dan meninggal di sini pada tahun 1078 M.
Sepeninggal Abu Bakar, Yusuf bin Tasyfin yang telah menjadi pe-nguasa baru, mulai melakukan gerakan pembangunan. Salah satunya ada-lah membangun kota Maroko sebagai pusat gerakannya. Setelah itu, Yusuf melajutkan usaha ekspansinya ke wilayah lain. Pada tahun 1070 M ia ber-hasil merebut kota Fez. Tahun 1078 M merebut Tangier dan pada tahun 1080-1082 M ia berusa memperluas wilayah kekuasaanya hingga ke al-Jazair. Dengan demikian, Murabithun di bawah kendali Yusuf bin Tasyfin telah memiliki luas wilayah yang terbentang dari Pantai Utara Afrika hing-ga Sinegal.
Usaha selanjutnya yang dilakukan Yusuf adalah mempluas wilayah kekkuasaan ke Andalusia. Pada masa itu, pemerintahan Islam di Andalusia tengah mengalami kelemahan, karena tidak ada kesatuan kepemimpinan. Umat Islam di Andalusia berada dalam perpecahan di bawah kerajaan-kerajaan kecil atau mulukut thawaif. Selain itu, para penguasa Kristen seperti Alfonso VI yang memerintah Leon dan Castille. Raja ini menguasai wilayah Islam dan memungut upeti dari para raja lokal. Selanjutnya, raja Alfonso ini menguasai Toledo pada tahun 1085 M. Toledo, sebelumnya dikenal sebagai salah satu pusat kekuasaan Islam yang cukup besar ketika itu. Jatuhnya Toledo ke tangan raja Alfonso VI mamaksa al-Mu’tamid bin Ibbad, raja Seville, meminta bantuan kepada Yusuf bin Tasyfin, penguasa Murabithun. Permintaan tersebut disambut dengan baik oleh Yusuf bin Tasyfin. Setelah ia bermusyawarah dengan pembesar istana dan ulama, akhirnya pada tahun 1086 M mengirimkan bantuan ke Andalusia.
Dalam sebuaha pertempuran di Zallaka dekat Bedajoz, Yusuf dan pasukannya bverhasil mengalahkan pasukan Castille dan berhasil membu-nuh Alfnso VI. Tetapi kemenangan itu masih dianggap belum optimal, karena Yusuf belum berhasil menguasai Badajoz dan Toledo masih berada di bawah kekuasaan orang-orang Kristen. Kemenangan Yusuf di Zallaka ini merupakan langkah awal bagi Yusuf untuk menjadi penguasa di Andalusia. Mulai saat itu, Yusuf menggunakan gelar Amirul Mukminin. Meskipun begitu, kepemimpinannya masih tetap mengakui keberadaan Dinasti Ababsiyah di Bagdad. Untuk mempertahankan wilayan yang baru itu, Yusuf menempatkan 300 personel tentara di Andalusia. Sementara Yusuf sendiri kembali ke Afrika Utara karena mendengar berita kematian anaknya. Akan tetapi, kekuatan yang ditinggalkan Yusuf di Andalusia, tidak mampu menandingi kekuatan Kristen. Sebab kekuatan yang kecil itu tidak sebanding dengan kekuatan tentara yang dimiliki penguasa Kristen yang menguasai hampir seluruh wilayah di Andalusia. Dampaknya, kekuatan tentara Kristen akan mengancam kekuasaan al-Mu’tamid di Andalusia. Karena itu, untuk kedua kalinya, al-Mu’tamid mengundang Yusuf bin Tasyfin guna membantunya dari ancaman tentara Kristen. Akhirnya pada tahun 1090 M, Yusuf dan pasukannya kembali datang ke Andalusia. Serangan pertama berhasil menaklukkan Ale¬do dan menguasai Castille. Kedatangannya yang kedua kali ini menyadarkan diri Yusuf, bahwa kelemahan politik dan keruntuhan moral di Andalusia mengharuskan Murabithun menguasai Andalusia. Untuk itu, Yusuf meminta bantuan kepada para ulama di Granada dan Malaga untuk mengeluarkan fatwa. Fatwa itu berisi tentang ketidakcakapan para penguasa muslim di Andalusia karena mereka telah menyimpang dari ajaran al-Qur’an. Fatwa ini juga didukung oleh Imam al-Ghazali. Fatwa inilah yangdijadikan dasar kita bagi Yusuf bin Tasyfin untuk menguasai Andalusia. Para penguasa Islam yang tidak mau menyerahkan kekuasannya kepada Murabithun, akan diperangi. Tekad Yusuf tidak hanya menghapuskan kekuasan Kristen dan rfaja-raja kecil di Andalusia, juga menjadikananya sebagai bagian integral dari kekuasaan kaum Murabithun di Afrika Utara. Tekad ini dibuktikan oleh Yusuf bin Tasyfin. Karena itu, pada tahun 1090 M Granada dapat dikuasai. Tahun 1091 M, Cordova jatuh ke tangan kekuasaan Yusuf dan dijadikan sebagai ibu kota kedua Dinasti Murabithun. Setelah itu, Seville dapat juga dikuasai dan al-Mu’tamid ditangkap serta dibuang ke Afrika Utara hingga ia meninggal di sana pada tahun 1095 M. Dari selatan kemudian Yusuf bin Tasyfin menaklukkan wilayah Utara An¬dalusia, sehingga pada tahun 1094 M Bajoz dikuasai, terus Valensia pada tahun 1102 M, dan Saragossa pada tahun 1110 M.
Kemenangan-kemenangan Yusuf tersebut menunjukkan bahwa ten-tara Yusuf lebih kuat dibanding dengan tentara Kristen. Selain itu, juga mendapat dukungan kuat dari masyarakat muslim Andalusia. Tetapi ke¬ge-milangan Yusuf tidak berlangsung lama, sebab pada tahun 1106 M, Yusuf bin Tasyfin meninggal dunia. Kekuasaan sebesar dan seluas itu, mulai dari Afrika Utara dan lainnya hingga Andalusia. Akan tetapi, kecakapan Yusuf dalam memimpin, tidak dapat diwa¬ri-si oleh Ali bin Yusuf bin Tasyfin. Meskipun begitu, pada masa kepe¬mim-pinannya ditemukan banyak kemajuan, terutama dalam bidang arsitektur bangunan, sehingga banyak bangunan megah di wilayah kekuasaan Mu-rabithun.
2. Kemajuan-kemajuan yang Dicapai Dinasti Murabithun
Selama masa pemerintahan Dinasti Murabithun di Andalusia (1061 – 1147 M) banyak perkembangan yang dicapai, terutama pada masa kepe-mimpinan Yusuf bin Tasyfin dan puteranya Ali bin Yusuf bin Tasyfin. Di antara perkembangan dan kemajuan yang dicapai ketika itu adalah:
a. Filsafat.
Sebagaimana ditegaskan pada bagian sebelumnya bahwa berkat jasa khalifah al-Hakam (961-976 M) dari Dinasti Bani Umayah, karya-karya il¬mi-ah dan filosofis diimport dari Timur dalam jumlah besar, sehingga Cor¬dova dengan per¬pus¬ta¬kaan dan universitas-universitasnya mampu menyaingi Bagdad sebagai pusat ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Kebijakan para penguasa Dinasti Bani Umayah di Andalusia ini merupakan langkah untuk melahirkan para ilmuan dan filosuf terkanal. Meskipun Bani Umayah II telah mundur dan munculnya kerajaan-kerajaan kecil srta kedatangan kelompok Murabithun, proses pengkajian dan penulisan karya filsafat terus berlangsung. Aktifitas para intelektual dan filosuf muslim tidak terpengaruh oleh situasi sosial politik yang tengah tidak menentu. Hak itu ditandai dengan masih lairnya seorang filosuf terkenal kelahiran Saragossa. Dia adalah Abu Bakar bin Muhamad bin al-Sayyigh yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Bajjah. Pengembaraan intelektualnya dari Saragossa, Sevilla, Granada dan Fez melahirkan karya terkenalnya, yaitu Tadbir al-Muytawahis. Karya filsafat ini berisi tentang filsafat etika dan masalah-masalah eskatologis. Filusuf kedua yang sangat terkenal dengan roman filsafatanya adalah Ibnu Thufail. Ia dilahirkan di sebuah desa kecil di Wadi Asy, sebelah timur Granada. Karya monumentalnya adalah Hay bin Yaqdzan. Selain itu, sekitar tahun 1126 M lahir seseorang yang kemudian dikenal sebagai filosuf ke¬namaan, yaitu Ibnu Ruaysd di Cordova. Ibnu Ruayd dalam jajaran filosuf dikenal sebagai komentator filsafat Aristoteles. Dari komentar-komentar yang dikemukakannya, masyarakat dapat memahami dengan mudah fil¬safat Arfsitoteles. Dia juga dikenal sebagai seorang filosuf yang mencoba mendamaikan antara filsafat dengan agama. Di antara karya monumen¬tal¬nya adalah Bidayah al-Mujtahid.
b. Sains
Riset ilmiah yang dilakukan para ilmuan muslim ketika itu meng¬ha-silkan berbagai teori sains dan ilmu pengetahuan. Di antara sains yang ber-kembang saat itu adalah kedokteran, musik, matematika, astronomi, kimia dan lain-lain. Salah seorang tokoh terkenal dalam ilmu kimia dan astronomi adalah Abbas bin Farmas. Dia adalah orang pertama yang menemukan pem-buatan kaca dari batu. Ibrahim bin Yahya al-Naqqash terkenal dalam ilmu astronomi. Dalam riset yang dilakukannya berhasil menentukan waktu ter-jadinya gerhana matahari dan menentukan berapa lama terjadinya gerhana tersebut. Selain itu, ia juga berhasil membuat teropong bintang modern yang dapat menentukan jarak antara tata surya dan bintang-bintang. Ah-mad bin Ibbas dari Cordova adalah seorang ahli dalam bidang obat-obatan. Ummul Hasan binti Abi ja’far dan saudara perempuannya al-Hafidz Adalah dua orang ahli kedokteran dari kalangan wanita.
c. Fiqih mazhab Maliki.
Dalam bidang fiqih, mazhab yang berkembang dengan baik di An-dalusia adalah mazhab Maliki. Orang yang pertama kali yang memper¬ke-nalkan mazhab ini ke Andalusia adalah Ziyad bin Abdurrahman. Per¬kem-bangan selanjutnya ditentukan oleh Ibnu Yahya yang menjadi qadli ( hakim agung) pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdurrahman. Para ahli fiqih lainnya antara lain adalah Abu Bakar bin al-Quthiyah, Munzir bin Sa’ad al-Baluthi dan Ibnu Hazam.
Mazhab Maliki ini mengalami perkembangan yang sangat signifikan, karena selain satu-satunya mazhab yang dapat diterima di kalangan muslim Andalusia, juga karena mendapat dukungan kuat dari para penguasa Mu¬ra¬bithun dan para fuqaha. Karenanya wajar bila mazhab ini mengalami ke¬ma¬juan dengan pesat.
3. Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Murabithun
Sepeninggal Yusuf bin Tasyfin pada 1106 M, kekuasaan Murabithun hanya bertahan kurang lebih setengah abad. Karena pada fase ini Ali bin Yusuf tidak banyak melakukan konsolidasi kekuatan dan kekuasaan, se-hingga mengalami masa-masa kemunduran.dalam catatan sejarah, diketahui bahwa Ali bin Yusuf tidak secakap ayahnya dalam masalah kepemimpinan dan politik, karena ternyata Ali lebih cenderung ke masalah-masalah keagamaan. Sehingga untuk masalah kepemimpinan dan kenagaraan, para ulama yang memainkannya.
Peranan ulama yang sangat dominan di dalam pemerintahan, men-jadi penyebab ketidaksukaan kelompok Kristen. Sebab kedudukan dan jabatanjabatan strategis dalam pemerintahan dipegang oleh mereka. Mereka mengeluarkan kebijakan yang sangat diskriminatif, khususnya terhadap kelompok Yahudi dan Kristen. Apabila kelompok non muslim ingin menjalankan praktik keagamaan, mereka diminta untuk membayar pajak bila ingin bebas menjalankan ibadahnya.
Bagi kelommpok masyarakat non-muslim yang tidak mampu membayar, mereka diminta untuk pergi me-ninggalkan tempat tinggal mereka. Kebijakan yang tidak populer ini men-ja¬di salah satu faktor penyebab perlawanan masyarakat non muslim An-dalusia.
Ketidakmampuan Ali dalam mengendalikan pemerintahan dan kecenderungan zuhudnya, membuatnya tidak berdaya ketika para tokoh agama mengatur dirinya. Kondisi ini diperparah dengan adanya kecenderungan para fuqaha yang suka menump;uk harta kekayaan dan meng¬ka-firkan orang lain. Mereka seringkali terlibat perdebatan di sekiktar furuiyah dalam masalah fiqih, sehingga dengan mudah menjatuhkan vonis kepada seaorang. Lebih parah lagi, pendapat merekalah yang dijadikan bahan rujukan dalam menjalankan roda pemerintahan Dinasti Murabithun saat itu. Ketidakbecusan Ali, kerakusan para fuqaha dalam menimbun harta dan kesukaan mereka mengkafirkan orang lain, menjadikan negara tidak dapat dikontrol dengan baik. Sehingga satu persatu wilayah Dinasti Mu-rabithun jatuh ke tangan pihak lain. Sekitar tahun 1118 M, Saragossa jatuh ke tangan Alfonaso I, raja Aragon. Raja tersebut meluaskan pengaruhnya sampai ke Selatan Andalusia dengan melakukan ekspansi pada tahun 1125-1126 M. Tindakan ini diikuti oleh Alfonso VI, raja Castila yang melakukan ekspansi ke Selatan Andalusia pada tahun 1133 M. Ketika Ali bin Yusuf meninggal dunia pada tahun 1143 M, kekua¬sa-annya diwariskan kepada puteranya bernama Tasyfin bin Ali. Seperti ayah-nya, Tasyfin juga tidak mampu mengendalikan pemerintahan. Keadaan ini membuat Dinasti Murabithun menjadi sasaran empuk para penguasa Kristen. Keadaan ini se¬ma¬kin parah ketika kelompok Muwahhidun meng-uasai ibu kota Dinasti Mura¬bi¬thun, Maroko pada tahun 1146 M dan mem-bunuh raja terakhir Mura¬bithun, ya¬itu Ishaq bin Ali. Dengan jatuhnya Ma-roko ke tangan Muwah¬hidun, secara oto¬matis wilayah kekuasaan Mu¬ra-bithun di Andalusia menjadi wilayah kekuasaan Dinasti Muwahhidun.
Untuk mengetahui faktor-faktor kemunduran dan kehancuran Dinasti Murabithun, berikut uraian singkat.
1. Ketidakcakapan generasai penerus setelah Yusuf bin Tasyfin dalam menjalankan roda pemerintahan. Hal ini menimbulkan konflik in-ternal dan eksternal yang menyebabkan wilayah kekuasaannya mengalami disintegrasi dan ditaklukkan oleh tentara Kristen.
2. Kehidupan mewah yang dijalani para penguasa yang umumnya berasal dari bangsa Barbar, sehingga tidak mementingkan rakyat dan memperhatikan wilayah kekuasannya.
3. Rendahnya moral para penguasa dan melupakan tujuan awal pendirian murabithun yang ingin menghapus kebiasaan buruk para penguasa dan mereka yang telah melakukan penyimpangan ajaran agama
4. Fanatisme (ta’ashub) terhadap mazhab Maliki dan menganggap remeh penganut mazhab lain
5. Para ulama dan fuqaha telah melupakan al-Qur’an dan hadis dalam mengeluarkan berbagai fatwa.
Faktor–faktor tersebut antara lain yang menjadi penyebab kemun-duran dan kehancuran Dinasti Murabithun di Azndalusia.
B. Dinasti Muwahhidun (1121-1235 M)
1. Proses Berdiri dan Perkembangan Dinasti Muwahhidun.
Dinasti Muwahhidun merupakan salah satu kerajaan Islam yang didirikan oleh bangsa Barbar Islam II setelah Dinasti Murabithun. Dinasti ini pernah menguasai wilayah yang terbentang dari pulau-pulau di Samudera Atlantik hingga ke perbatasan Mesir dan Andalusia (Eropa). Ini merupakan prestasi besar yang dilakukan bangsa Barbar Islam di Afrika Utara, setelah Murabithun. Muwahhidun adalah nama sebuah Dinasti yang didirikan oleh Ibnu Tumart pada tahun 1121 M. Ibnu Tumart dilahirkan di Sus, Maroko. Ia be-rasal dari suku Masmudah, salah satu suku yang terkenal dengan kebe¬ra¬ni-annya, mulia, kaya dan tersebar di seluruh Maroko. Hal-hal di atas meru-pakan faktor penunjang dari keberhasilan Ibnu Tumart dalam menjalankan pergerakannya. Dalam catatan sejarah, Ibnu Tumart pernah belajar di pusat-pusat studi Islam kenamaan, seperti Cordova, Alexandria, Makah dan Bagdad. Di kota Bagdad, Ibnu Tumart pernah belajar di Madrasah Nidlamiyah, sebuah perguruan tinggi terkemuka di kota Bagdad. Dalam pengembaraan ilmi¬ah-nya ia banyak berdialog dengan pemikiran-pemikiran yang aktual saat itu, di antaranya adalah soal tidak diperlukan lagi bagi para penganut mazhab Maliki untuk belajar tafsir al-Qur’an dan al-Hadis, karena keduanya telah dilakukan oleh Imam Malik. Kenyataan ini membuat Ibnu Tumart merasa ditantang. Untuk mengimbangi pemikiran seperti itu, ia menyerukan ke¬pa-da umat Islam di Andalusia, agar menjadikan al-Qur’an dan al-Hadis serta Ijma’ sahabat sebagai dasar dari ajaran Islam. Selain itu, ia menolak ra’yu dan Qiyas sebagai dasar hukum. Pemikiran keagamaan dan hukum yang stagnan (mandek) serta pen-didikan yang rendah pada masa pemerintahan Dinasti Murabithun, dija-dikan sebagai motivasi dirinya untuk pergi ke Bagdad mencari ilmu. Se-kembalinya dari Bagdad ke Afrika Utara, Ibnu Tumart pada tahun 1100 M bertekad untuk melakukan pemurnian ajaran Islam. Karena menurut¬nya, ajaran Islam di bawah pememrintahan Dinasti Murabhitun, mengalami pe-nyimpangan. Gerakannya ini didasari atas keinginan untuk memurnikan ajaran Islam berdasarkan tauhid. Karena itu, gerakannya ini kemudian di-ke¬nal dengan sebutan Muwahhidun. Gerakan yang dilakukannya ini tidak banyak mendapat respons dari masyarakat, sehingga ia lebih memilih nomaden. Di tengah perjalanan, setelah keluar dari kota Bogie tahun 1117 M, ia bertemu dengan Abdul Mu’in. Dialah orang yang akan menggantikan posisinya kelak sebagai pemimpin kelompok Muwahhidun. Dari Maroko, Ibnu Tumart dan Abdul Mu’in pindah ke Tinmal. Dari kota inilah Ibnu Tumart melancarkan propa-gandanya.
Setelah mendapat pengikut yang banyak dan kepercayaan penuh dari orang-orang terkemuka di sukunya, pada tahun 1121 M ia mengaku dirinya sebagai al-Mahdi dan bertekad untuk mendirikan pemerintahan Islam yang didasari atas prinsip-prinsip ketauhidan.
Untuk mewujudkan semua keinginannya, Ibnu Tumart mengirim sejumlah pengikutnya ke berbagai tempat untuk mengajak penduduk itu ke jalan yang benar sesuai dengan ajaran Islam dan menyelamatkan diri dari ajaran kelompok Murabithun yang dianggap telah menyekutukan Allah. Anjuran yang selalu diajarkan kepada para pengikutnya adalah untuk berakhlak mulia, taat pada undang-undang, shalat tepat pada waktunya, membawa wirid yang dibuat al-Mahdi dan buku-buku akidah Muwah¬hi¬dun. Sejak ia mengaku dirinya sebagai al-Mahdi, pengikutnya terus ber-tambah dan berhasil, menghimpun sejumlah orang Barbar yang ketuanya adalah sahabat atau murid Ibnu Tumart. Dari sinilah kemudian Ibnu Tu-mart menyusun konsep dan memberikan defenisi yang jelas bagi ke¬lom-poknya. Pertama, kelompok Muwahhidun merupakan suatu kesatuan sosial yang beriman secara benar. Di luar mereka adalah kafir yang perlu di¬pe-rangi. Kedua, kesatuan sosial itu dipimpin oleh imam. Imam pertama adalah al-Mahdi selanjutnya adalah khalifah-khalifah.ketiga, al-Mahdi dibantu oleh 10 orang yang dipilih secara ketat dan berfungsi sebagai kabinet peme-rin¬tahan. Kesepuluh oranag ini dapat menjadi komandan militer atau me-wa¬ki¬li al-Mahdi dalam imam shalat. Keempat, dewan 50 orang yang anggota-anggotanya terdiri dari cabang-cabang Barbar yang merupakan bagian dari masyarakat Muwahhidun yang berfungsi sebagai penasihat. Kelima, dewan 70 orang sebagai anggota majli rakyat. Kontak pertama dengan Murabhitun terjadi ketika gubernur Sus de-ngan pasukannya menyerang suku Hurglah yang membangkan terhadap pemerintah Murabithun. Tetapi, pasukan itu dapat dikalahkan oleh ke¬lom-pok Muwahhidun. Kemenangan pertama ini membangkitkan semangat ke-lompok Muwahhidun untuk melakukan serangan ke Maroko. Dengan kekuatan besar, kelompok Muwahhidun berusaha menaklukkan Maroko pada tahun 1125 M, tetapi gagal. Setelah Ibnu Tumart wafat pada tahun 1128 M, posisinya digantikan oleh Abdul Mu’in setelah mendapat pengakuan dan dinobatkan oleh De-wan 10 orang. Gelar yang dipakai bukanlah al-Mahdi, melainkan khalifah. Setelah dinyatakan sah sebagai khalifah, langkah pertama yang di¬la-kukannya adalah menundukkan kabilah-kabilah di Afrika Utara dan meng-akhiri kekuasaan Mrabhitun di Afrika Utara. Sejak tahun 1144-1146 M, ia berhasil menguasai kota-kota yang pernah dikuasai Murabithun, seperti Tlemcen, Fez, Tangier, dab Aghmat. Setelah itu, Andalusia dikuasainya pa-da tahun 1145 M. Kemudian pada tahun 1147 M seluruh wilayah Mu¬ra¬bi-thun dikuasai Muwahhidun. Usaha ekspansi Abdul Mu’min terus berlanjut. Pada tahun 1159 M, ia berhasil menaklukkan Almeria dan menjadikan Giblaltar sebagai pusat pe¬merintahannya. Kemudian pada tahun 1162 M ia kembali ke Afrika Utara untuk memperkuat pangkalan militernya di Rabath guna memperkuat se-rangannya ke beberapa wilayah di Andalusia. Namun sebelum keingin¬an-nya itu terwujud, ia keburu wafat pada tahun 1163 M. dapat ditaklukkan oleh Abdul Mu’in pada tahun 1125 M.
Sepeninggal Abdul Mu’min, jabatan khilafah dipegang oleh anaknya bernama Abu Ya’kub Yusuf (1162 M). Dalam menjalankan roda peme¬rin-tahan, ia tetap berpegang pada kebijakan ayahnya. Karena itu, pada tahun 1172 M Abu Ya’kub berhasil merebut Seville, salah satu bandar penting di Andalusia. Serangan ini dilanjutkan hingga ke Toledo. Ketika pasukan Abu Ya’kub bermaksud mengadakan serangan ke Lisbon, di tengah perjalanan di Santarem pasukannya dihadang oleh pasukan Kristen. Serangan ini me-nyebabkan ia tidak dapat menghindar hingga ia terluka dan kemudian wa-fat tahun 1184 M. Posisinya kemudian digantikan oleh Abu Yusuf Ya’kub al-Mansur. Untuk menjalankan pemerintahan, ia mengangkat Hafs sebagai Wazir dan Yahya bin Yusuf sebagai panglima militer di Andalusia. Pada masa pe¬me-rintahannya, ia menghadapi pemberontakan yang dilakukan oleh sisa-sisa kekuatan Murabithun, seperti Yahya, gubernur Valencia dan Muha¬mad, gu¬bernur Cordova. Namun keduanya dapat dikalahkan. Al-Mansur kemudian melanjutkan serangannya dan berhasil menguasai Bogie dan bagian daerah al-Jazair.
Peristiwa paling bersejarah dalam masa kepemimpinannya adalah usahanya yang berhasil mematahkan serangan Alfonso VIII di Alacros yang terletak di antara Cordova dan Toledo. Usai kemenangan itu, pada tahun 1198 M, al-Mansur meninggal dan posisinya digantikan oleh Muhamad al-Nasir. Pada masanya, Dinasti Muwahhidun mulai melemah, sementara pasukan Kristen semakin kuat.
2. Kemajuan-kemajuan yang Dicapai Dinasti Muwahhidun
Berbagai kemajuan telah dicapai oleh Dinasti Muwahhidun, di antaranya adalah sebagai beriikut:
a. Politik.
Dalam bidang politik, Muwahhidun berhasil mengua-sai daerah kepulauan Samudera Atlantik hingga Mesir dan Andalusia.
b. Ekonomi.
Dalam bidang ekonomi, Dinasti Muwahhidun meng-uasai jalur-jalur strategis di Italia dan menjalin hubungan dagang dengan Genoa, Pisa Marseila, Venecia dan Sicilia. Pa-da tahun 1154 M Muwahhidun mengadakan perjanjian da-gang dengan Genoa dan tahun 1157 M dengan Pisa. Perjanjian itu berisi tentang perdagangan, ijin mendirikan bangunan ge-dung, kantor, loji dan pemungutan pajak.
c. Dalam bidang arsitektu yang berbentuk monumen, seperti Giralda, menara pada masjid Jami’ di Seville, Bab Aguwnaou dan al-Kutubiyah, menara yang sangat megah di Maroko dan menara Hasan di Rabath.
d. Bidang Ilmu Pengetahuan dan filsafat. Pada masa Abu Ya’kub hidup orang terkenal seperti Ibrahim bin Malik (Ibnu Mul-kun), seorang pakar al-Qur’an dan nahwu, al-Hafidz Abu Ba-kar bin al-Jad, ahli fiqih, Ibnu Zuhry, ahli kedokteran, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd, para filosuf muslim kenamaan.
3. Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Muwahhidun
Sejak khilafah dipegang oleh Muhamad al-Nasir, Dinasti Muwah¬hi-dun mulai menunjukkan kelemahan-kelemahannya, karena khalifah ini ti-dak memiliki kemampuan untuk menyusun strategi militer guna meng¬ha-dapi kekuatan tentara Kristen.
Akibatnya, kekuasaan yang ada di tangannya digerogoti oleh ke¬ku-atan tentara Kkristen. Pada tahun 1212 M raja Alfonso VIII dan pasukan se-kutunya dari Leon, Castille, Navarre dan Aragon, melakukan serangan ke markas Muwahhidun di Las Navas de Tolosa (al-‘Uqd). Dalam per¬tem-puran ini, pasukan Muwahhidun mengalami kekalahan.
Kekalahan ini membawa derita yang cukup dalam di hati khalifah, dan akhirnya ia meninggalkan Andalusia untuk kembali ke Fez dan An¬da-lus diserahkana kepada anaknya yang baru berusia 15 tahun bernama Abu Ya’kub Yusuf II dengan gelar al-Muntasir. Karena usianya masih muda, ia tidak mampu menjalankan pemerintahan. Akibatnya, perpecahan di ka-langan keluarga istana tidak dapat dihindari, terutama setelah kematian-nya pada tahun 1224 M. Hal itu terjadi karena khalifah al-Muntashir tidak memiliki anak yang dapat menggantikan posisinya sebagai khalifah.
Melihat kenyataan ini, akhirnya beberapa orang kelompok Muwah-hidun meneruskan pemerintahannya masing-masing di daerah tertentu. Ke-adaan ini dimanfaatkan oleh kakuatan Kristen untuk menyingkirkan para penguasa Dinasti Muwahhidun dari Andalusia. Usaha ini berhasil dengan terusirnya mereka dari Andalusia pada tahun 1236 M. Pengusiran secara total baru terjadi pada tahun 1238 M, kecuali daerah Granada yang dikuasai Dinasti Bani Nasr (Bani Ahmar) dari kerajaan Arab Madinah.
Kehancuran Muwahhidun di Andalusia diikuti oleh Muwahhidun di Afrika Utara. Wilayah Tripoli, sejak lama telah dikuasai oleh Shalahuddin al-Ayyubi (1172 M) dan Maroko direbut oleh Bani Marin tahun 1269 M. Dengan demikian, hancurlah kekuasaan Dinasti Muwahhidun.
Adapun faktor-faktor penyebab kemunduran dan kehancuran Dinas-ti Muwahhidun adalah sebagai berikut:
a. Ketidakmampuan generasi penerus Ibnu Tumart dan Abdul Mu’min dalam menjalankan pemerintahan, sehingga menim-bulkan konflik di kalangan istana dalam masalah kepe¬mim-pinan.
b. Ketidakmampuan khalifah untuk melakukan kontrol terhadap para penguasa daerah, sehingga pusat menjadi lemah.
c. Para penguasa dan kelompok Muwahhidun lain melupakan garis perjuangan Ibnu Tumart dan Abdul Mu’min, sehingga mereka mulai melemah.
d. Menguatnya kelompok dan raja-raja Kristen di Andalusia, dan lain-lain.
Demikian sekilas perjalanan sejarah Dinasti Muwahhidun yang telah berjaya menguasai Andalusia. Tetapi, karena banyak persoalan yang diha-dapi, akhirnya kekuasaan Dinasti Muwahhidun melemah dan kemudian hancur akibat serangan dari berbagai pihak, baik di Andalausia maupun di Afrika Utara.
C. Dinasti Bani Ahmar (1232-1292 M).
1. Pertumbuhan dan Perkembangan Dinasti Bani Ahmar.
Setelah pemerintahan Dinasti Muwahhidun meninggalkan Andalusia, pasukan Kristen semakin leluasa memasuki dan menduduki wilayah-wilayah kekuasaan Islam. Satu persatu daerah kekuasaan Islam jatuh ke tangan raja-raja Kristen. Pada tahun 636 H raja Ferdinand III dari Castille dan raja Jayme I dari Aragon menduduki kota Valensia, Cordova, dan kota Mursia. Kemudian pada tahun 646 H kota Seville juga ditaklukkan. Dengan demikian, akhirnya raja-raja Islam terkepung di Granada, daerah yang terletak di antara pegunungan Nevada dan pantai Laut Tengah. Daerah ini merupakan wilayah kekuasaan Bani Ahmar yang berkuasa sejak tahun 1232 M hingga 1492 M.
Meskipun wilayah-wilayah lain telah jatuh ke tangan kekuasaan raja-raja Kristen, Granada tepat dapat dipertahankan dengan baik hingga di¬tak-lukkan oleh raja Ferdinand dan Issabela pada tahun 1492 M. Wilayah ini dapat dikuasai oleh Bani Ahmar selama dua setengah abad. Selama itu pula Granada menjadi pusat riset dan pengembangan peradaban muslim yang menjadi rujukan ilmuan dan satrawan muslim maupun non muslim di Barat. Di antara raja Bani Ahmar yang termasyhur adalah Muhamad V (755 H). Selama masa pememrintahannya, Granada mengalami kemajuan yang cukup pesat dalam berbagai bidang, terutama arsitektur bangunan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam.
Di antara kemajuan yang dicapai pada masa pemerintahan Bani Ahmar di Granada adalah seni bangunan arsitektur, seperti bangunan istana Alhamra dan masjid Al-Hamra yang sangat terkenal di dunia. Tokoh terkenal dalam bidang sejarah di Granada adalah Ibnu Bathutah (1304-1377 M) yang berasal dari Tangier, berhasil melakukan perjalanan panjang mengelilingi dunia dan mencatat semua temuan lapangan ke dalam catatan perjalan-annya yang sangat penting. Catatan itu kemudian dikenal dengan sebutan al-Muhadzdzab Rihlah Ibnu Bathuthah. Tokoh penting lain yang memiliki pe-ran penting di dalam melestarikan peninggalan sejarah Islam di Anda¬lu¬sia adalah Ibnu al-Khatib (1317-1374 M). Ia menulis karya monumental tentang sejarah Granada. Tokoh lain yang tak kalah pentingnya adalah Ibnu Khal-dun. Mesikpun ia berasal dari Tunisia, ia bertempat tinggal di An¬da¬lusia. Selain sebagai seorang sejawaran, ia juga dikenal sebagai sosiolog muslim pertama dan perumus filsafat sejarah.
4. Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Bani Ahmar
Seperti telah disinggung pada bagian terdahulu bahwa Granada merupakan benteng terakhir pertahanan umat Islam di Andalusia. Sebab wilayah lainnya telah jatuh satu persatu ke tangan para penguasa Kristen. Karena itu, tak heran kalau pemerintahan Bani Ahmar selalu mendapat ancaman dan teror dari para penguasa Kristen tersebut. Ancaman itu semakin menjadi ketika terjadi persekutuan antara wilayah Aragon dengan Castille melalui perkawinan raja Ferdinand dengan Issabella. Kekuatan itu semakin menyudutkan kekuatan Bani Ahmar dan mengancam keberadaan umat Islam di Granada.
Meskipun begitu, beberapa kali serangan yang dialncarkan oleh Ferdinand dan Issabella, dapat dipatahkan oleh kekuatan Bani Ahmar di bawah pimpinan Abul Hasan. Bahkan ia menolak membayar upeti kepada pemerintahan Castille, seperti yang dilakukan pada wilayah lain sebelum-nya. Hal itu ditandai dengan diusirnya utusan Ferdinand yang datang un-tuk menagih upeti tersebut. Utusan itu dihardik dan diusir dengan kata-ka-ta yang cukup pedas. “ Katakan kepada penguasamu bahwa raja-raja Gra-nada yang bersedia membayar upeti telah meninggal. Sekarang tidak ada lagi upeti, melainkan pedang”. Bahkan Abul Hasan melakukan penye¬rang-an dan berhasil menduduki kota Zahra.
Untuk membalas dendam, Ferdinand menlancarkan serangan men-dadak terhadap istana al-Hamra dan berhasil merebutnya. Dalam penye-rangan itu, banyak wanita dan anak-anak kecil yang berlindung di masjid dibantai oleh pasukan Ferdinand. Jatuhnya al-Hamra ini pertanda keja¬tuh-an pemerintahan Granada.
Situasi pemerintahan pusat di Granada semakin kritis dengan terjadinya beberapa kali perselisihan danperebutan kekuasaan, antara Abul Hasan dengan anaknya bernama Abdullah. Serangan pasukan Kristen yang bebrusaha memanfaatkan situasi kritis ini, dapat dipatahkan oleh Zaghal, saudara Abul Hasan. Zaghal menggantikan Abul Hasan sebagai penguasa Granada, dan berusaha mengajak Abdullah bergabung untuk mengatasi kekuatan musuh Kristen mereka. Namun tawaran itu ditolak Abdullah. Dalam situasi kritis seperti itu, pasukan Kristen melakukan serangan dan berhasil menguasai kota Alora, Kars-Bonela, Ronda, Malaga, Loxa dan beberapa kota penting lainnya.
Dengan jatuhnya beberapa tempat itu ke dalam kekuasaan Fer¬di-nand, maka daerah kekuasaan Zaghal terus mengecil dan memudahkan Ferdinand melakukan penaklukkan. Serangan Ferdinand terus dilancarkan kepada sisa-sisa kekuatan Zaghal, hingga akhirnya Zaghal dikalahkan dan melarikan diri ke Afrika. Dengan demikian, satu-satunya kekuatan muslim di Granada hanya kekuatan yang dimiliki Abdullah.
Penguasa terakhir ini juga mendapat serangan bertubi-tubi, hingga akhirnya raja terakhir Bani Ahmar, Abdullah, dan jenderal perangnya ber-nama Musa, dikalahkan. Abdullah dipaksa untuk menyatakan sumpah setia kepada Ferdinand, dan bersedia melepaskan harta kekayaan umat Islam, dengan syarat umat Islam diberi hak hidup dan kebebasan beragama. Peralihan kekuasaan ini terjadi pada tanggal 3 Januari 1492 M. Namun setelah Ferdinand menguasai Granada, raja Kristen ini me-ngeluarkan dekrit yang berisikan umat Islam harus menentukan pilihan bila ingin tetap tinggal di Granada dan wilayah Andalusia. Pilihan itu adalah bersedia dibaptis sebagai pemeluk Kristen atau keluar dari Andalusia. Se¬bagian muslim Andalusia bersedia pindah agama, dari Islam ke Kristen, da¬ripada harus meninggalkan tanah airnya. Sedang sebagian la-innya, tetap pada pendirian keyakinan mereka, meskipun harus menderita berbagai sik¬saan yang kejam dan pengusiran dari Andalusia. Kebanyakan mereka pindah ke Maroko, Mesir, dan Turki. Pasukan Ferdinand tidak hanya mela¬kukan pengusiran dan pembataian terhadap umat Islam, juga membakar hangus sejumlah besar manuskrip Arab.
Jatuhnya pusat-pusat kekuasaan muslim di Andalusia, menandai lenyapnya pusat peradaban Islam di Barat. Sejak saat itu, tidak ada lagi ak-tifitas keilmuan dan peradaban yang dilakukan, kecuali penancapan ke-kuasan Kristen yang semakin kuat dan perasaan dendam Kristen (recon-quiesta) terhadap umat Islam di seluruh dunia dengan melakukan berbagai ekspansi dan penjajahan, demi mengeruk keuntungan dan ke¬ka¬yaan dari negeri-negeri Timur yang mayoritas muslim. Penjajahan itu terus berlanjut hingga akhirnya satu persatu negara-negara di Timur dapat memerdekakan diri pada pertengahan dan akhir abad ke-20 M.
0 komentar:
Posting Komentar
berilah komentar yang saling mendukung saling menghormati sesama