ISLAM DI ASIA TENGGARA
=============================================================================
Di Asia Tenggara, Islam merupakan kekuatan sosial yang patut diperhitungkan, karena hampir seluruh negara yang ada di Asia Tenggara penduduknya, baik mayoritas ataupun minoritas memeluk agama Islam. Misalnya, Islam menjadi agama resmi negara federasi Malaysia, Kerajaan Brunei Darussalam, negara Indonesia (penduduknya mayoritas atau sekitar 90% beragama Islam), Burma (sebagian kecil penduduknya beragama Islam), Republik Filipina, Kerajaan Muangthai, Kampuchea, dan Republik Singapura (Muzani,
1991: 23).
Dari segi jumlah, hampir terdapat 300 juta orang di seluruh Asia Tenggara yang mengaku sebagai Muslim. Berdasar kenyataan ini, Asia Tenggara merupakan satu-satunya wilayah Islam yang terbentang dari Afrika Barat Daya hingga Asia Selatan, yang mempunyai penduduk Muslim terbesar.
Asia Tenggara dianggap sebagai wilayah yang paling banyak pemeluk agama lslamnya. Termasuk wilayah ini adalah pulau-pulau yang terletak di sebelah timur lndia sampai lautan Cina dan mencakup lndonesia, Malaysia dan Filipina.
A. Penyebaran Islam di Asia Tenggara dan Indonesia
Sejak abad pertama, kawasan laut Asia Tenggara, khususnya Selat Malaka sudah mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan internasional yang dapat menghubungkan negeri-negeri di Asia Timur Jauh, Asia Tenggara dan Asia Barat. Perkembangan pelayaran dan perdagangan internasional yang terbentang jauh dari Teluk Persia sampai China melalui Selat Malaka itu kelihatan sejalan pula dengan muncul dan berkembangnya kekuasaan besar, yaitu China dibawah Dinasti Tang (618-907), kerajaan Sriwijaya (abad ke-7-14), dan Dinasti Umayyah (660-749).
Mulai abad ke-7 dan ke-8 (abad ke-1 dan ke-2 H), orang Muslim Persia dan Arab sudah turut serta dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan sampai ke negeri China. Pada masa pemerintahan Tai Tsung (627-650) kaisar ke-2 dari Dinasti Tang, telah datang empat orang Muslim dari jazirah Arabia. Yang pertama, bertempat di Canton (Guangzhou), yang kedua menetap dikota Chow, yang ketiga dan keempat bermukim di Coang Chow. Orang Muslim pertama, Sa’ad bin Abi Waqqas, adalah seorang muballigh dan sahabat Nabi Muhammad SAW dalam sejarah Islam di China. Ia bukan saja mendirikan masjid di Canto, yang disebut masjid Wa-Zhin-Zi (masjid kenangan atas nabi). Karena itu, sampai sekarang kaum Muslim China membanggakan sejarah perkembangan Islam di negeri mereka, yang dibawa langsung oleh sahabat dekat Nabi Muhammad SAW sendiri, sejak abad ke-7 dan sesudahnya. Makin banyak orang Muslim berdatangan ke negeri China baik sebagai pedagang maupun mubaligh yang secara khusus melakukan penyebaran Islam.
Sejak abad ke-7 dan abad selanjutnya Islam telah datang di daerah bagian Timur Asia, yaitu di negeri China, khususnya China Selatan. Namun ini menimbulkan pertanyaan tentang kedatangan Islam di daerah Asia Tenggara. Sebagaimana dikemukakan diatas Selat Malaka sejak abad tersebut sudah mempunyai kedudukan penting. Karena itu, boleh jadi para pedagang dan munaligh Arab dan Persia yang sampai di China Selatan juga
menempuh pelayaran melalui Selat Malaka. Kedatangan Islam di Asia Tenggara dapat dihubungkan dengan pemberitaan dari I-Cing, seorang musafir Budha, yang mengadakan perjalanan dengan kapal yang di sebutnya kapal Po-Sse di Canton pada tahun 671. Ia kemudian berlayar menuju arah selatan ke Bhoga (di duga daerah Palembang di Sumatera Selatan). Selain pemberitaan tersebut, dalam Hsin-Ting-Shu dari masa Dinasti yang terdapat laporan yang menceritakan orang Ta-Shih mempunyai niat untuk menyerang kerajaan Ho-Ling di bawah pemerintahan Ratu Sima (674).
Dari sumber tersebut, ada dua sebutan yaitu Po-Sse dan Ta-Shih. Menurut beberapa ahli, yang dimaksud dengan Po-Sse adalah Persia dan yang dimaksud dengan Ta-Shih adalah Arab. Jadi jelaslah bahwa orang Persia dan Arab sudah hadir di Asia Tenggara sejak abad-7 dengan membawa ajaran Islam.
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli sejarah tentang tempat orang Ta-Shih. Ada yang menyebut bahwa mereka berada di Pesisir Barat Sumatera atau di Palembang. Namun adapula yang memperkirakannya di Kuala Barang di daerah Terengganu. Terlepas dari beda pendapat ini, jelas bahwa tempat tersebut berada di bagian Barat Asia Tenggara. Juga ada pemberitaan China (sekitar tahun 758) dari Hikayat Dinasti Tang yang melaporkan peristiwa pemberontakan yang dilakukan orang Ta-Shih dan Po-Se. Mereka mersak dan membakar kota Canton (Guangzhoo) untuk membantu kaum petani melawan pemerintahan Kaisar Hitsung (878-899). Setelah melakukan perusakan dan pembakaran kota Canton itu, orang Ta-Shih dan Po-Se menyingkir dengan kapal. Mereka ke Kedah dan Palembang untuk meminta perlindungan dari kerajaan Sriwijaya. Berdasarkan berita ini terlihat bahwa orang Arab dan Persia yang sudah merupakan komunitas Muslim itu mampu melakukan kegiatan politik dan perlawanan terhadap penguasa China.
Ada beberapa pendapat dari para ahli sejarah mengenai masuknya Islam ke
Indonesia :
1. Menurut Zainal Arifin Abbas, Agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M (684
M). Pada tahun tersebut datang seorang pemimpin Arab ke Tiongkok dan sudah
mempunyai pengikut dari Sumatera Utara. Jadi, agama Islam masuk pertama kali ke
Indonesia di Sumatera Utara.
2. Menurut Dr. Hamka, Agama Islam masuk ke Indonesia pada tahun 674 M.
Berdasarkan catatan Tiongkok , saat itu datang seorang utusan raja Arab Ta Cheh (kemungkinan Muawiyah bin Abu Sufyan) ke Kerajaan Ho Ling (Kaling/Kalingga) untuk membuktikan keadilan, kemakmuran dan keamanan pemerintah Ratu Shima di Jawa.
3. Menurut Drs. Juneid Parinduri, Agama Islam masuk ke Indonesia pada tahun 670 M karena di Barus Tapanuli, didapatkan sebuah makam yang berangka Haa-Miim yang berarti tahun 670 M.
4. Seminar tentang masuknya Islam ke Indonesia di Medan tanggal 17-20 Maret 1963, mengambil kesimpulan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad I H/abad 7 M langsung dari Arab. Daerah pertama yang didatangi ialah pasisir Sumatera.
Sedangkan perkembangan Agama Islam di Indonesia sampai berdirinya kerajaan- kerajaan Islam di bagi menjadi tiga fase, antara lain :
1. Singgahnya pedagang-pedagang Islam di pelabuhan-pelabuhan Nusantara. Sumbernya adalah berita luar negeri, terutama Cina;
2. Adanya komunitas-komunitas Islam di beberapa daerah kepulauan Indonesia.
Sumbernya di samping berita-berita asing juga makam-makam Islam;
3. Berdirinya kerajaan-kerajaan Islam (Abdullah, 1991:39).
B. Proses Masuknya Islam di Asia Tenggara
Islam masuk ke Asia Tenggara disebarluaskan melalui kegiatan kaum pedagang dan para sufi. Hal ini berbeda dengan daerah Islam di Dunia lainnya yang disebarluaskan melalui penaklulan Arab dan Turki. Islam masuk di Asia Tenggara dengan jalan damai, terbuka dan tanpa pemaksaan sehingga Islam sangat mudah diterima masyarakat Asia Tenggara.
Mengenai kedatangan Islam di negara-negara yang ada di Asia Tenggara hampir semuanya didahului oleh interaksi antara masyarakat di wilayah kepulauan dengan para pedagang Arab, India, Bengal, Cina, Gujarat, Iran, Yaman dan Arabia Selatan. Pada abad ke-5 sebelum Masehi Kepulauan Melayu telah menjadi tempat persinggahan para pedagang yang berlayar ke Cina dan mereka telah menjalin hubungan dengan masyarakat sekitar Pesisir. Kondisi semacam inilah yang dimanfaatkan para pedagang Muslim yang singgah untuk menyebarkan Islam pada warga sekitar pesisir.
Menurut Uka Tjandra Sasmita, prorses masukya Islam ke Asia Tenggara yang berkembang ada enam, yaitu:
1. Saluran perdagangan
Pada taraf permulaan, proses masuknya Islam adalah melalui perdagangan. Kesibukan lalu-lintas perdagangan pada abad ke-7 hingga ke-16 membuat pedagang- pedagang Muslim (Arab, Persia dan India) turut ambil bagian dalam perdagangan dari negeri-negeri bagian Barat, Tenggara dan Timur Benua Asia. Saluran Islamisasi melaui perdagangan ini sangat menguntungkan karena para raja dan bangsawan turut serta dalam kegiatan perdagangan, bahkan mereka menjadi pemilik kapal dan saham. Mereka berhasil mendirikan masjid dan mendatangkan mullah-mullah dari luar sehingga jumlah mereka menjadi banyak, dan karenanya anak-anak Muslim itu menjadi orang Jawa dan kaya-kaya. Di beberapa tempat penguasa-penguasa Jawa yang menjabat sebagai Bupati Majapahit yang ditempatkan di pesisir Utara Jawa banyak yang masuk Islam, bukan karena hanya faktor politik dalam negeri yang sedang goyah, tetapi karena faktor hubungan ekonomi drengan pedagang-rpedrarrgarng Muslim. Perkembangan selanjutnya mereka kemudian mengambil alih perdagangan dan kekuasaan di tempat-tempat tinggalnya.
2. Saluran perkawinan
Dari sudut ekonomi, para pedagang Muslim memiliki status sosial yang lebih baik daripada kebanyakan pribumi, sehingga penduduk pribumi terutama puteri-puteri bangsawan, tertarik untuk menjadi isteri saudagar-saudagar itu. Sebelum dikawin mereka diislamkan terlebih dahulu. Setelah mereka mempunyai keturunan, lingkungan mereka makin luas, akhirnya timbul kampung-kampung, daerah-daerah dan kerajaan Muslim. Dalam perkembangan berikutnya, ada pula wanita Muslim yang dikawini oleh keturunan bangsawan; tentu saja setelah mereka masuk Islam terlebih dahulu. Jalur perkawinan ini jauh lebih menguntungkan apabila antara saudagar Muslim dengan anak bangsawan atau anak raja dan anak adipati, karena raja dan adipati atau bangsawan itu kemudian turut mempercepat proses Islamisasi. Demikianlah yang terjadi antara Raden Rahmat atau sunan Ampel dengan Nyai Manila, Sunan Gunung Jati dengan puteri Kawunganten, Brawijaya dengan puteri Campa yang mempunyai keturunan Raden Patah (Raja pertama Demak) dan lain-lain.
3. Saluran Tasawuf
Pengajar-pengajar tasawuf atau para sufi mengajarkan teosofi yang bercampur dengana jaran yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Mereka mahir dalam soal magis dan mempunyai kekuatan-kekuatan menyembuhkan. Diantara mereka juga ada yang mengawini puteri-puteri bangsawab setempat. Dengan tasawuf, “bentuk” Islam yang diajarkan kepada penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam pikiran mererka yang sebelumnya menganut agama Hindu, sehingga agama baru itu mudah dimengerti dan diterima. Diantara ahli-ahli tasawuf yang memberikan ajaran yang mengandung persamaan dengan alam pikiran Indonesia pra-Islam itu adalah Hamzah Fansuri di Aceh, Syekh Lemah Abang, dan Sunan Panggung di Jawa. Ajaran mistik seperti ini masih dikembangkan di abad ke-19 M bahkan di abad ke-20 M ini.
4. Saluran prendidikan
Islamisasi juga dilakukan melalui pendidikan, baik pesantren maupun pondok yang diselenggarakan oleh guru-guru agama, kiai-kiai dan ulama. Di pesantren atau pondok itu, calon ulama, guru agama dan kiai mendapat pendidikan agama. Setelah keluar adari pesantren, mereka pulang ke kampung masing-masing atau berdakwak ketempat tertentu mengajarkan Islam. Misalnya, pesantren yang didirikan oleh Raden rahmat di Ampel Denta Surabaya, dan Sunan Giri di Giri. Kleuaran pesantren ini banyak yang diundang ke Maluku untuk mengajarkan Agama Islam.
5. Saluran kesenian
Saluran Islamisasi melaui kesenian yang paling terkenal adalah pertunjukan wayang. Dikatakan, Sunan Kalijaga adalah tokoh yang paling mahir dalam mementaskan wayang. Dia tidak pernah meminta upah pertunjukan, tetapi ia meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian besar cerita wayang masih dipetik dari cerita Mahabarata dan Ramayana, tetapi dalam serita itu di sisipkan ajaran nama- nama pahlawan Islam. Kesenian-kesenian lainnya juga dijadikan alat Islamisasi, seperti sastra (hikayat, babad dan sebagainya), seni bangunan dan seni ukir.
6. Saluran politik
Di Maluku dan Sulawesi selatan, kebanyakan rakyat masuk Islam setelah rajanya memeluk Islam terlebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat membantu tersebarnya Islam di daerah ini. Di samping itu, baik di Sumatera dan Jawa maupun di Indonesia Bagian Timur, demi kepentingan politik, kerajaan-kerajaan Islam memerangi kerajaan-kerajaan non Islam. Kemenangan kerajaan Islam secara politis banyak menarik penduduk kerajaan bukan Islam itu masuk Islam.
Untuk lebih memperjelas bagaimana proses masuknya agama Islam di Asia Tenggara ini, ada 3 teori diharapkan dapat membantu memperjelas tentang penerimaan Islam yang sebenarnya:
1. Menekankan peran kaum pedagang yang telah melembagakan diri mereka di beberapa wilayah pesisir lndonesia, dan wilayah Asia Tenggara yang lain yang kemudian melakukan asimilasi dengan jalan menikah dengan beberapa keluarga penguasa lokal yang telah menyumbangkan peran diplomatik, dan pengalaman lnternasional terhadap perusahaan perdagangan para penguasa pesisir. Kelompok pertama yang memeluk agama lslam adalah dari penguasa lokal yang berusaha menarik simpati lalu-lintas Muslim dan menjadi persekutuan dalam bersaing menghadapi pedagang-pedagang Hindu dari Jawa. Beberapa tokoh di wilayah pesisir tersebut menjadikan konversi ke agama lslam untuk melegitimasi perlawanan mereka terhadap otoritas Majapahit dan untuk melepaskan diri dari pemerintahan beberapa lmperium wilayah tengah Jawa.
2. Menekankan peran kaum misionari dari Gujarat, Bengal dan Arabia. Kedatangan para sufi bukan hanya sebagai guru tetapi sekaligus juga sebagai pedagang dan politisi
yang memasuki lingkungan istana para penguasa, perkampungan kaum pedagang, dan memasuki perkampungan di wilayah pedalaman. Mereka mampu mengkomunikasikan visi agama mereka dalam bentuknya, yang sesuai dengan keyakinan yang telah berkembang di wilayah Asia Tenggara. Dengan demikian dimungkinkan bahwa masuknya Islam ke Asia Tenggara agaknya tidak lepas dengan kultur daerah setempat.
3. Lebih menekankan makna lslam bagi masyarakat umum dari pada bagi kalangan elite pemerintah. Islam telah menyumbang sebuah landasan ldeologis bagi kebajikan lndividual, bagi solidaritas kaum tani dan komunitas pedagang, dan bagi lntegrasi kelompok parochial yang lebih kecil menjadi masyarakat yang lebih besar (Lapidus,
1999:720-721).
Agaknya ketiga teori tersebut bisa jadi semuanya berlaku, sekalipun dalam kondisi yang berbeda antara satu daerah dengan yang lainnya. Tidak terdapat proses tunggal atau sumber tunggal bagi penyebaran lslam di Asia Tenggara, namun para pedagang dan kaum sufi pengembara, pengaruh para murid, dan penyebaran berbagai sekolah agaknya merupakan faktor penyebaran lslam yang sangat penting.
C. Masa Raja-Raja lslam di Asia Tenggara
Agama Islam yang semakin berkembang, mampu mendirikan kerajaan Islam di Samudera pasai pada tahun 1292 M di bawah seorang raja al-Malikus Saleh. Kerajaan Islam Samudera Pasai ada pengaruh dari kekerajaan Mamalik di Mesir atau setidak- tidaknya ada hubungan erat antara keduanya. Persamaan nama dan gelar yang dipakai tidak jauh berbeda dengan gelar yang dipakai di Masir. Gelar al-Malikus Saleh dan al- Malikusz Zahir, raja pertama dan kedua Pasai, sama dengan gelar yang dipakai oleh raja mamalik Mesir.
Kerajaan Pasai mengalami perkembangan pesat di masa pemerintahan al-Malikuz Zahir II tahun 1326-1348 M. Al-Malikuz Zahir mendalami ilmu agama. Ia banyak melakukan kegiatan-kegiatan untuk memajukan agama. Ibnu Batutah, sorang ahli Bumi Muslim, pernah melawat ke Pasai tahun 764 H/1345 M memberi kesan bahwa Pasai saat itu sudah maju, baik dibidang agama maupun tatanan sosial. Pasai sebagai pusat kegiatan ilmu agama yang bermazhab Safi’i dan merupakan kota bandar besar untuk singgah kapal- kapal negara lain.
Di Jawa, agama Islam mengalami perkembangan pesat di masa kemunduran kerajaan Majapahit. Penyebarannya dilakukan oleh para wali yang tergabung dalam anggota wali sembilan, yaitu Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, S. Bonang, S. Giri, S. Drajat, S. Kalijaga, S. Kudus, S. Muria dan S. Gunung Jati. Wali sembilan berdakwah kepada rakyat sesuai dengan bakat dan keahlian yang mereka miliki.
Selain kerajaan Islam samudera Pasai, di Sumatera juga berdiri kerajaan Islam Aceh. Ketika kerajaan Malaka pada masa pemerintahan Mahmud syah dipukul Portugis, Raja Ibrahim yang bergelar Sultan Ali Mughayat Syah berhasil menyatukan seluruh daerah Aceh tahun 1507.
Di Jawa berdiri kerajaan-kerajaan Islam, yakni kerajaan Demak (kurang lebih 1500-
1550), Kerajaan Islam Banten, Kerajaan Pajang (1546-1580) dan Kerajaan Cirebon. Di Kalimantan, tumbuh pula kerajaan Islam, seperti kerajaan Islam Banjar, Kerajaan Islam Sukadana, Kerajaan Islam Brunai. Sedangkan Kerajaan Islam di Sulawesi adalah Kerajaan Islam Bugis (Bone), Kerajaan Islam di Gowa-Tallo. Kerajaan Islam di Maluku dan Nusa Tenggara adalah Kerajaan Ternate, Tidore dan Kerajaan Islam Nusa Tenggara.
D. Negara-Negara Islam di Asia Tenggara
1. Islam di Malaysia
a. Perkembangan Keagamaan dan Peradaban di Malaysia
Islam merupakan agama resmi negara federasi Malaysia. Hampir 50% dari 13 juta penduduknya adalah Muslim dan sebagian besar diantaranya adalah orang melayu yang tinggal di Semenanjung Malaysia. Adapun sisanya terdiri dari kelompok-kelompok etnik yang minoritas yakni diantaranya Cina yang terdiri sekitar 38% dari penduduk Malaysia dan yang lainnya India dan Arab (Esposito, 1990:55).
Keragaman masyarakat yang demikian besar membawa dampak ketegangan dan konflik-konflik yang cenderung untuk menambah identitas orang-orang melayu, terutama orang Cina yang lebih meningkat pendidikan dan perokonomiannya dari pada orang muslimin yang lebih pedesaan.
Masyarakat Muslim di Malaysia sebagian besar berlatarbelakang pedesaan dan mayoritas mereka bekerja sebagai petani. Mereka cenderung dalam kehidupan komunitas masyarakat kampung. Warga perkampungan Malaysia menjalankan praktek-praktek keagamaan, meyakini terhadap roh-roh suci, tempat suci, dan meyakini para wali yang dikeramatkan baik di kalangan Muslim maupun non Muslim. Diantara warga Muslim dan non Muslim dapat hidup rukun tanpa ada permusuhan sehingga masyarakat di sana tentram dan damai.
Perkembangan Islam di Malaysia telah membawa peradaban-peradaban baru yang diakui Dunia Islam. Sampai saat ini Muslim Malaysia dikenal sebagai Muslim yang taat ibadahnya, kuat memegang hukum Islam dan juga kehidupan beragamanya yang damai serta mencerminkan keIslaman agamanya baik di perkampungan maupun dalam pemerintahan. Peranan seorang ulama di sana sangat penting baik dalam segi dakwah dan dalam pengelolaan sekolah-sekolah.
Mengenai hasil peradaban Islam di Malaysia ini juga tidak kalah dengan negara- negara Islam yang lain, seperti:
1. Adanya bangunan-bangunan masjid yang megah seperti Masjid Ubaidiyah di Kuala
Kancong.
2. Banyaknya bangunan-bangunan sekolah Islam.
3. Berlakunya hukum Islam pada pemerintahan Malaysia (hukum Islam di sana mendapat kedudukan khusus karena dijadikan hukum negara).
b. Pemerintahan di Malaysia
Pada zaman tradisional Islam di negara-negara perairan Malaya mempunyai hubungan yang erat antara kehidupan kampung dan organisasi kenegaraan. Pemerintahan dibagi menjadi dua ruang lingkup yakni:
1) Dalam Kehidupan Kampung
Terdapat dua jabatan yang seimbang. Kepala kampung atau penghulu diangkat oleh pejabat yang lebih tinggi untuk menjaga ketertiban lokal, menengahi persengketaan, mengumpulkan pajak, mengorganisir kaum buruh dan bertindak sebagai penyembuh dalam bidang spiritual. Adapun jabatan yang lain yakni Imam masjid yang lokal dan mengajar di sekolah lokal.
Islam memberikan peranan yang penting terhadap sejumlah ritual dan perayaan yang menjadi simbul solidaritas komunitas perkampungan, dan perayaan beberapa peristiwa besar dalam siklus kehidupan individual seperti perayaan kelahiran, perkawinan, dan peringatan kematian.
2) Dalam kehidupan negara
Islam juga diperlukan bagi negara Malaysia. Para Sultan pada beberapa negara Malaya merupakan kepala sebuah kelompok keturunan Aristokratik yang membuat elit politik negeri dan merupakan raja-raja kampung. Seorang penguasa juga disebut sebagai Sultan, Raja dan Yang Dipertuan. Gelar-gelar tersebut merupakan gelar Muslim dan Hindu yang diyakini sejak masa Islam.
Pada periode tradisional Sultan merupakan pejabat agama dan politik yang tertinggi dan melambangkan corak Muslim masyarakat melayu. Sultan sebagai kepala agama mempunyai wewenang penuh bagi umat Islam di Malaysia. Di samping itu kehidupan beragama di sana terasa sangat formal jika dibandingkan dengan Indonesia seperti khutbah Jum’at yang harus berisikan doa bagi Sultan dan seluruh keluarganya. Bahkan pernah terjadi pada waktu “Idul Fitri” di Masjid Kuala Lumpur, takbir yang dikumandangkan bersama-sama diberhentikan demi menyambut kedatangan yang Maha Mulia Sultan. Setelah Sri Baginda duduk, barulah bacaan takbir dikumandangkan kembali (Anwar, 1968:XII). Jadi kedudukan seorang Sultan di Malaysia pada zaman dahulu sangat mulia.
Namun kenyataan di atas berubah drastis setelah Malaysia didominasi oleh Inggris. Sistem yang berlaku pada era tradisional ini berubah total. Mereka membebaskan para Sultan Melayu dari otoritas efektif dalam segala urusan kecuali bidang yang berkenaan dengan agama dan adat. Oleh karena itu para Sultan berusaha memperkuat pengaruh mereka pada bidang tersebut sebagai satu-satunya ekspresi dan berusaha memusatkan organisasi keagamaan Islam dan memperluas kontrol kesultanan terhadap kehidupan keagamaan.
2. Islam di Muangthai
a. Latar Belakang Muangthai
Di Muangthai terdapat sekitar 2,2 juta kaum muslimin atau 4 % dari penduduk umumnya. Muangthai dibagi menjadi 4 propinsi, yang paling banyak menganut Islam yaitu di propinsi bagian selatan tepatnya di kota Satun, Narathiwat, Patani dan Yala. Pekerjaan kaum muslimin Muangthai cukup beragam, namun yang paling dominan adalah petani, pedagang kecil, buruh pabrik, dan pegawai pemerintahan. Agama Islam di Muangthai merupakan minoritas yang paling kuat di daerah Patani pada awal abad ke-17 pernah menjadi salah satu pusat penyebaran Islam di Asia Tenggara dan menghasilkan ulama besar seperti Daud bin Abdillah bin Idris al-Fatani.
Di Semenanjung Malaya, Islam mula-mula meyakinkan penguasa setempat di kota Malaka yang tadinya berada di bawah kekuasaan raja Siam yang beragama Budha. Sekian abad sebelumnya telah datang agama Hindu dan Budha, beliau membangun sebuah peradaban dengan bukti meninggalkan berkas-berkasnya pada rakyat. Menurut Geertz ketika Islam tiba pengaruhnya hanya terbatas pada masyarakat ras melayu, sebelum Islam dapat meluas lebih dalam di daratan Asia dibendung oleh kolonialisme yang sebagai kekuatan baru menyebar luas di seluruh kawasan.
b. Masyarakat
Masyarakat Melayu sangat terisolasi dari masyarakat Muangthai pada umumnya dan
karakteristik sosial budayanya cenderung untuk mengisolasikan. Istilah masyarakat Muslim hampir sinonim dengan masyarakat pedesaan. Daerah-daerah perkotaan secara dominan merupakan daerah Muangthai Budhis, yang berhubungan dengan birokrasi negara dan para pedagang serta pemilik tokoh Cina. Hanya ada dua alasan bagi orang Muslim pedesaan Melayu untuk berhubungan dengan orang Muslim bukan melayu di daerah perkotaan. Oleh karena itu, usaha-usaha kecil di desa dimiliki oleh orang-orang Muslim Melayu sendiri. Dan untuk berhubungan atau berurusan dengan pemerintahan harus memakai cara penghubung atau perantara, maka kesempatan diadakannya hubungan antar pribadi antara mayoritas Melayu Muslim dan non Muslim di daerah itu sangat terbatas. Para pejabat pemerintah tidak mempunyai banyak kesempatan untuk mengetahui dari sifat sebenarnya terhadap masalah-masalah yang dihadapi oleh penduduk desa. Penduduk desa menyerahkan persoalan dagangnya dengan para saudagar Cina di pemilik toko di desa. Lingkungan sosialnya cenderung kecil dan mereka tidak merasa perlu memperluas jaringan sosialnya.
c. Penyebaran Islam di daerah Patani
Pada dasarnya yang menyebabkan tetap kuatnya kesetiaan rakyat dan rasa keterikatan kultural mereka dengan Patani adalah peran historisnya sebagai pusat Islam di Asia Tenggara. Bahkan kerabat-kerabat raja dan kaum bangsawan tetap merupakan symbol kemerdekaan Patani selama banyak dasawarsa, setelah negeri itu secara formal dimasukkan ke dalam kerajaan Muangthai dalam tahun 1901. Pada tahun 1613 Patani masuk Islam sebelum Malaka, secara tradisional dikenal sebagai “ Darussalam” (tempat damai) pertama di kawasan itu. Sejalan dengan tradisi antara agama dan sistem pemerintahan di Asia Tenggara. Di kalangan pemegang kekuasaan untuk menerima “idiologi yang memberi legitimasi” sebelum rakyat sendiri memeluknya. Maka Islam dianut oleh keluarga para raja.
Penyebaran Islam di Muangthai melalui perdagangan, di sana Islam tidak berhasil mendesak pengaruh Budha secara kultural maupun politik. Karena Islam pada saat itu masih sedikit. Kaum muslimin yang menjadi mayoritas menghadapi masalah, namun tak lama kemudian Muslim minoritas bisa berperan penting dalam kehidupan nasional mereka. Karena kemajuan yang telah dicapai di bidang pendidikan. Dan pendidikan inilah faktor terpenting bagi kemajuan kaum muslimin, contohnya berhasilnya Surin Pitsuan dengan nama Muslim Abdul Halim bin Ismail, beliau mendapat gelar kesarjanaan tertinggi di bidang ilmu politik, beliau juga seorang intelektual Muslim berhaluan modernis dan moderat. Surin Pitsuan berfikir bahwa selama ini sistem negara Muangthai berdasarkan budhisme terbukti dalam keanggotaannya dalam parlemen. Kaum muslimin yang merupakan minoritas memang merasa tertekan dan tertindas. Dengan bukti terjadinya berbagai pemberontakan bersenjata yang selalu timbul sejak awal abad ini.
Setelah datangnya Islam konsep negara atau agama menjadi dikotomi melayu Islam yang menyatakan hubungan mistik yang sama di Patani seperti juga di negeri-negeri Islam lainnya di kawasan itu. Pada saat orang beralih ke agama Islam, dan membina hubungan dengan Dunia Melayu. Dengan Islam sebagai faktor pemersatunya. Masa kejayaan daerah Patani pada abad ke-17.
d. Perkembangan Keagamaan dan Peradaban di Muangthai
Islam di Muangthai adalah agama minoritas hanya 4 %, selain itu masyarakat Muangthai menganut agama Budha dan Hindu. Orang Melayu Muslim merupakan golongan minoritas terbesar ke-dua di Muangthai, sesudah golongan Cina. Mereka tergolong Muslim Sunni dari madzab Syafi’I yang merupakan madzab paling besar
dikalangan umat Islam di Muangthai.
Ikatan-ikatan budayanya telah membantu memupuk suatu perasaan keterasingan dikalangan mereka terhadap lembaga-lembaga sosial, budaya, dan politik Muangthai. Sejak bangsa Muangthai untuk pertama kali menyatakan daerah itu sebagai wilayah yang takluk kepada kekuasaannya. Pada akhir abad ke-13 orang Melayu Muslim terus-menerus memberontak terhadap kekuasaan Muangthai. Keinginan mereka adalah untuk menjadi bagian dari Dunia budaya Melayu Muslim dengan pemerintahan otonom. Akhirnya keinginan yang tak pernah mengendor itu pudar dalam sejarah, dan ciri-ciri sosial ekonomi dan budaya mereka telah membuat mereka sadar bahwa mereka hanyalah kelompok kecil yang mempunyai identitas terpisah dari bagian utama penduduk Negeri Muangthai.
Masyarakat Muslim di Muangthai sebagian besar berlatarbelakang pedesaan. Dan Perkembangan Islam di Muangthai telah banyak membawa peradaban-peradaban, misalnya :
1) Di Bangkok terdaftar sekitar 2000 bangunan masjid yang sangat megah dan indah.
2) Golongan Tradisional dan golongan ortodoks telah menerbitkan majalah Islam
“Rabittah”.
3) Golongam modernis berhasil menerbitkan jurnal “Al Jihad”.
3. Islam di Philipina
Philipina adalah negara kepulauan dengan 7.107 pulau, dengan jumlah penduduk sekitar 47 juta jiwa, dengan menggunakan 87 dialek bahasa yang berbeda-beda yang mencerminkan banyaknya suku dan komunitas etnis. Orang-orang Islam di Philipina menamakan dirinya “Moro”. Namun nama ini sebenarnya bersifat politis, karena dalam kenyataannya Moro terdiri dari banyak kelompok etno linguistik, umpamanya Maranow, Maquindanau, Tausuq, Somal, Yakan, Ira Nun, Jamampun, Badjao, Kalibugan, Kalagan dan Sangil.
Jumlah masyarakat Moro sekitar 4,5 juta jiwa atau 9 % dari seluruh penduduk Philipina. Bila direntang ke belakang, perjuangan bangsa Moro dapat dibagi menjadi 2 fase, yaitu: pertama, berjihad melawan penguasa Spanyol selama 377 tahun (1521-1898). Kedua, Moro melawan pemerintah Philipina (1970-sekarang).
Kedatangan orang-orang Spanyol di Philipina atau menundukkan secara halus dengan hadiah-hadiah orarng-orang Spanyol dapat memperluas kedaulatannya ke seluruh perkampungan Philipina. Akan tetapi Spanyol mendapatkan perlawanan sengit ketika menghadapi kesultanan Islam di wilayah selatan, yakni Sulu, Maquindanau dan Buayan. Rentetan peperangan yang panjang antara Spanyol dan Islam hasilnya tidak nampak, yang nampak adalah bertambahnya ketegangan antara orang KRISTEN dan orang Islam Philipina. Amerika menguasai Philipina setelah mengalahkan Spanyol. Hubungan dengan masyarakat Muslim Philipina lebih baik. Ini merupakan efek dari kebijakan resmi Amerika untuk membiarkan kehidupan keagamaan orang Islam dan kebiasaan ritualnya. Namun demikian, Islam dibenci dan dicurigai. Untuk itu, kontak-kontak dengan saudaranya yang terdekat di pulau Kalimantan dan pulau-pulau lainnya di Indonesia dibatasi. Ketika sebagian besar rakyat Philipina memilih dibawah protektorat Amerika, masyarakat Muslim Philipina (dipelopori seratus tokoh agama dari Manarao) pada bulan Maret 1935 menulis surat kepada Presiden Roosevelf yang intinya persetujuannya terhadap pemerintahan protektorat khusus untuk masyarakat Muslim yang terpisah dengan Philipina, tapi permintaan ini dikabulkan Amerika.
Ketika Manuel Quezon (presiden Persemakmuran) menyatakan bahwa undang- undang nasional akan ditetapkan secara sama terhadap orang-orang Islam dan Kristen, mendapat reaksi keras dari kelompok Islam, karena secara mencolok mengabaikan sistem- sistem sosial dan hukum tradisional Islam, undang-undan nasional itu lebih banyak mengambil dari etika Kristen dan sejarah sosial Barat. Sebagian pemimpin Islam berkeyakinan bahwa peraturan pemerintah yang baru itu merupakan rencana jahat yang disengaja untuk mematikan Islam di Philipina (Majul, 1989:8-20). Setelah kemerdekaannya Philipina tanggal 4 Juli 1946, Masyarakat Moro tetap melanjutkan perjuangannyabagi kemerdekaan Moro. Pemerintahan Philipina yang baru tetap melanjutkan kebijakan masa kolonial yakni melakukan tindakan-tindakan reprersif kepada gerakan separatis Moro. Pemindahan masyarakat katolik Philipina ke wilayah Mindanao –yang mayoritas beragama Islam- terus dilakukan. Menjelang tahun 1960, tingginya para pemukim baru yang berasal dari Philipina Utara dan Tengah membuat Moro menjadi Minoritas di wilayah tinggalnya sendiri. Pemerintahan Philipina, seperti halnya pemerintah kolonial Amerika, juga mengeluarkan sejumlah uindang-undang yang mensyahkan pengambilan tanah yang secara turun-temurun dimiliki penduduk Muslim Moro guna pembangunan proyek perkebunan dan pemukiman. Kondisi perekonomian yang semakin menurun dikalangan penduduk Muslim Moro ditambah lagi derngan kasus pembunuhan di Jabaidah telah memicu lahirnya gerakan Mindanao Merdeka MIM (Mindanai Independence Movement) di tahun 1968, tapi gerakan ini dapat diatasi oleh pemerintah Philipina dengan menberi posisi yang strategis kepada tokoh-tokoh MIM. Hal ini menimbulkan kekecewaan pada kader- kader muda dibawah pimpinan Nur Misuari. Kader muda itu membentuk Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF- Moro National Liberation Front), sebuah organisasi yang dikenal sangan militan.
Tujuan dari organisasi ini adalah memperjuangkan kemerdekaan penuh dari tanah Moro. MNLF ini mandapat simpati dari negara-negara Islam dibawah sehingga memaksa presiden Marcos menyetujui perjanjian Tripoli pada tanggal 23 Desember 1976. Perjanjian ini memberikan peluang pembentukan wilayah Mindanao sebagai suatu wilayah otonom yang meliputi 3 propinsi dan 9 kota. Marcos bersikeras bahwa untuk menentukan daerah otonomi itu perlu diadakan referendum. Hal ini ditolak MNLF, akibatnya berlanjut lagi diakhir tahun 1977, yang pada akhirnya membuat pemimpin MNLF, Nur Misrua melarikan diri ke Timur Tengah. Gagalnya perjanjian Tripoli ini memunculkan organisasi sempalan yang tidak puas terhadap sepak terjang Nur Misuari , Bibawa Nashim Salamat, berdirilah Front Pembebasan Islam Moro (Moro Islam Liberation Front-MILF). Ketika menjadi presiden di tahun 1986, Aquino mengeluarkan undang-undang baru yang mendeklarasikan berdirinya wilayah otonom bagi Muslim Mindanao tapi MNLF pecah untuk bersatu dan memperbaharui perjuangan bersenjata demi berdririnya Republik Bangsa Moro yang berdaulat.
Pengangkatan Fidel Ramos sebagai Presiden Philipina di tahun 1992, memberi harapan baru bagi Nur Misuari. Presiden mermbuka negoisasi dengan MNLF tahun 1996. Persetujuan yang ditandatangani dengan MNLF menyatakan bahwa MNLF menjadi badan pengawas atas semua proyek pembangunan ekonomi diseluruh propinsi Mindanao untuk 3 tahun dan Nur Misuari sebagai Gubernur di wilayah itu. Ternyata perjanjian itu terbukti berhasil mengurangi perlawanan bersenjata di Mindanao. Pemecahan yang paling jitu atas problem bangsa Moro adalah kemerdekaan penuh lepas dari Philipina dan berdirinya nergara Islam Moro (Budiwanti, 2000:137-142).
Menurut Majul, ada 3 alasan yang menjadi penyebab sulitnya bangsa Moro berintegrasi secara penuh kepada pemerintah Republik Philipina. Pertama, Bangsa Moro sulit menghargai undang-undang nasional, khususnya yang mengenai hubungan pribadi dan keluarga, karena jelas undang-undang itu berasal dari Barat dan Katolik. Kedua, sistem sekolah yang menetapkan kurikulum yang sama, bagi setiap anak Philipina di
semua daerah tanpa membedakan perbedaan agama dan kultur, membuat bangsa Moro malas untuk belajar di sekolah. Ketiga, Bangsa Moro masih trauma dan kebencian yang mendalam terhadap program pemindahan penduduk yang dilakukan oleh pemerintah Philipina ke wilayah mereka di Mindanao, karena program ini telah merubah posisi mereka dari mayoritas menjadi minoritas hampir di segala bidang kehidupan.
4. Islam di Nusantara
Sejumlah ahli mengajukan teori bahwa sumber Islam di kepulauan Melayu-Indonesia adalah anak benua India selain Arab dan Persia. Orang pertama yang menggunakan teori ini adalah Pijnappel yang berkebangsaan Belanda dari universitas Leiden. Dia mengaitkan asa-usul Islam di Nusantara ke kawasan Gujarat dan Malabar dengan alas an bahwa orang-orang Arab bermadzhab Syaf’I bermigrasi dan menetap di daerah-daerah tersebut yang kemudian membawa Islam ke Nusantara.
Teori ini kemudian direvisi oleh Snouck Hurgronje yang menyatakan bahwa Islam memperoleh pijakan yang kuat di kota-kota pelabuhan India Selatan. Sejumlah Muslim Dhaka banyak yang hidup disana sebagai perantara dalam perdagangan antara Timur Tangah dan Nusantara yang datang di kepulauan Melayu sebagai para penyebar Islam pertama. Berikutnya Snouck Hurgronje berteori bahwa mereka diikuti oleh orang-orang Arab, terutama yang mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW. Dengan memakai gelar Sayyid atau Syarif, yang menjalankan dakwah Islam, baik sebagai para ustadz maupun sultan. Snouck Hurgronje tidak menyebutkan secara eksplisit bagian mana dari India Selatan yang dia lihat sebagai sumber Islam di Nusantara. Meskipun demikian, dia berpendapat bahwa abad ke-12 merupakan waktu yang paling mungkin bagi saat paling awal Islamisasi di kepulauan Melayu-Indonesia.
Ilmuwan Belanda lainnya, Muquette, menyimpulkan bahwa asal-usul Islam di Nusantara adalah Gujarat di pesisir selatan India. Dia mendasrkan kesimpulannya setelah mempertimbangkan gaya batu nisan yang ditemukan di Pasai, Sumatera Utara, khususnya yang bertanggal 17 Dzuhijjah 831 H / 27 September 1428 M, yang identik dengan batu nisan yang ditemukan di makam Maulana Malik Ibrahim (1419 M) di Gresik, Jawa timur. Dia menyatakan lebih lanjut bahwa corak batu nisan yang ada di Pasai dan Gresik sama dengan yang ditemukan di Cambay, Gujarat. Dia berspekulasi bahwa dari penemuan- penemuan itu, batu nisan Gujarat tidak hanya di produksi untuk pasar lokal, tetapi juga untuk pasar luar negeri termasuk Sematera dan Jawa. Oleh karena itu, berdasarkan logika linier, Moquette menyimpulkan bahwa karena mengambil batu nisan dari Gujarat, orang- orang Melayu-Indonesia juga mengambil Islam dari wilayah tersebut.
Dengan logika linier yang lemah itu tidak heran kalau kesimpulan Muquette ditentang oleh Fatimi yang berpendapat bahwa salah jika mengaitkan seluruh batu nisan yang ada di Pasai, termasuk batu nisan Malik al-Shalih, dengan Cambay. Menurut penelitiannya sendiri, gaya batu nisan Malik al-Shalih sangat berbeda dengan corak batu nisan Gujarat dan prototype Indonesianya. Fatimi berpendapat bahwa pada kenyataannya bentuk batu nisan itu sama dengan yang ada di Bengal. Oleh karena itu, sama dengan logika linier Moquette, Fatimi ironisnya menyimpulkan bahwa semua batu nisan itu pasti diimpor dari Bengl. Ini menjadi alas an utamanya untuk menyimpulkan lebih lanjut bahwa asal-asul Islam di Kepulauan Melayu-Indonesia adalah daerah Bengal (kini, Bangladesh).
Agaknya teori Fatimi sangat terlambat untuk menolak teori Moquette karena ada sejumlah pakar lain yang telah mengambil alih kesimpulan Moquette. Yang menonjol diantara mereka adalah Kern, Bousquet, Vlekke, Gonda, Schrieke dan Hall. Namun, sebagian diantara mereka memberikan tambahan argumentasi untuk mendukung Moquette. Ahli sastra Melayu, William Winstedt, misalnya menunjukkan batu nisan yang sama di Bruas, tempat sebuah kerajaan melayu Kuno di Perlak, Semenanjung Malaya. Dia
menyatakan bahwa semua batu nisan di Barus, Pasai dan Gresik diimpor dari Gujarat, maka Islam pasti pula dibawa dari sana. Dia juga menulis bahwa sejarah melayu mencatat adanya kebiasaan lama di daerah Melayu tertentu untuk mengimpor batu nisan dari India. Sosiolog asal Belanda, Schrieke, mendukung teori itu dengan menekankan peranan penting yang dimainkan oleh para pedagang Muslim Gujarat dalam perdagangan di Nusantara dan sumbangan mereka terhadap penyebaran Islam.
Namun, sebagian ahli lain memandang teori yang menyatakan asal-usul Islam di Nusantara adalah Gujarat tidak terlampau kuat. Marison, misalnya berpendapat bahwa beberapa batu nisan di bagian tertentu Nusantara mungkin berasal dari Gujarat, tetapi tidak selalu berarti bahwa Islam juga dibawa dari sana ke kawasan ini. Marison membantah teori tersebut dengan menunjukkan kenyataan bahwa selama masa Islamisasi Samudera Pasai, yang penguasa Muslim pertamanya meninggal pada 698 H / 1298 M, Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu yang menunjukkan sikap bermusuhan terhadap orang-orang Muslim. Baru pada tahun 699 H / 1298 M wilayah Cambay dikuasai oleh kaum Muslim. Jika Gujarat merupakan pusat para juru dakwah Islam dalam melakukan perjalanan menju kepulauan Melayu-Indonesia, maka Islam pasti telah tegak dan tumbuh subur di Gujarat sebelum kematian Malik al-Shalih, persisnya, sebelum 698 H / 1297 M. Morrison lebih jauh mencatat, bahwa meskipun kaum Muslim menyerang Gujarat beberapa kali pada 415 H / 1024 M, 574 H / 1178 M dan 695 H / 1197 M, para raja Hindu mampu mempertahankan kekuasaan disana sampai 698 H / 1297 M. Kesimpulannya, Morison mengemukakan teorinya bahwa Islam di perkenalkan di kepulauan Melayu-Indonesia oleh para juru dakwah Muslim dari Coromandel pada akhir abad ke-13.
Penting dicatat bahwa menurut Arnold, Coromandel dan Malabar bukan satu-satunya tempat asal kedatangan Islam, melainkan juga dari wilayah Arab. Dalam pandangannya, padagang Arab juga membawa Islam ketika mereka menguasai perdagangan Barat-Timur semenjak awal abad ke-7 dan ke-8. Meskipun tidak ada catatan sejarah ihwal penyebaran Islam oleh mereka, adalah patut diduga bahwa dalam satu hal atau lainnya mereka terlibat dalam penyebaran Islam kepada kaum pribumi. Argemen ini tampaknya lebih masuk akal jika orang mempertimbangkan, misalnya, fakta yang disebutrkan sebuah sumber di Cina bahwa menjelang perempatan ketiga abad ke-7 seorang Arab pernah menjadi pemimpin pemukiman Arab Muslim di pesisir Barat Sumatera. Beberapa orang Arab ini melakukan kawin campur dengan penduduk pribumi sehingga kemudian membentuk nucleus sebuah komunitas Muslim yang para anggotanya, ungkap Arnold telah memeluk Islam.
Menurut Hikayat raja-raja Pasai yang ditulis setelah 1350 (Hill, 1960:58-60), seseorang bernama Syaikh Ismail datang dengan perahu dari Makkah lewat Malabar menuju Pasai, tempat dia menonversi Merah silau, penguasa daerah tersebut ke dalam Islam. Merah Silau kemudian menggunakan gelar Malik al-Shaleh, meninggal Dunia 1297
M. Kira-kira satu abad kemudian, sekitar 1414 M, menurut sejarah Melayu (yang
dikompilasi setelah 1500), penguasa Malaka juga diislamkan oleh Sayyid Abd Al-Aziz, seorang Arab berasal dari Jeddah. Sang penguasa, Parameswara menggunakan nama dan gelar Sultan Muhammad Syah tidak lama setelah masuk Islam (Djajadining, 1982:12).
Ada empat hal utama yang ingin disampaikan historiografi tradisional lokal semacam ini. Pertama, Islam di Nusantara di bawa langsung dari tanah Arab. Kedua, Islam diperkenalkan oleh para guru atau Juru Dakwah ‘profesional”. Ketiga, orang-orang yang pertama kali masuk Islam adalah para penguasa. Keempat, sebagian besar para juru dakwah “professional” datang di Nusantara pada abad ke-12 dan ke-13. Orang-orang Muslim dari luar memang telah ada di Nusantara sejak abad pertama Hijriah, sebagaimana yang dinyatakan oleh Arnorld dan ditegaskan oleh kalangan ahli Melayu-Indonesia, tetapi jelas bahwa hanya setelah abad ke-12 pengaruh Islam dikepulauan Melayu menjadi lebih jelas dan kuat. Oleh karena itu, Islamisasi tampaknya baru mengalami percepatan
khususnya selama abad ke-12 sampai abad ke-16.
E. Pertumbuhan Lembaga-lembaga Sosial dan Politik
Islam berkaitan erat dengan negara di Asia Tenggara, bahkan lslam dapat di katakan sebagai kekuatan sosial-politik yang patut di perhitungkan di Asia Tenggara. Islam merupakan agama Federasi Malaysia, agama resmi kerajaan Brunei Darussalam, agama yang dianut oleh sekitar 90% dari seluruh penduduk lndonesia, kepercayaan yang di peluk oleh sekelompok kaum minoritas di Burma, Republik Filipina, Kerajaan Muangthai, Kampuchea, dan Republik Singapura. Dengan kenyataan ini, Asia Tenggara merupakan satu-satunya wilayah lslam yang terbentang dari Afrika Barat Daya hingga Asia Selatan, yang mempunyai penduduk Muslim terbesar.
Bagaimanapun juga Asia Tenggara tidak monolitik. Gambaran kompleksitas suku di wilayah ini, sangatlah menakjubkan. Meski lslam telah menghomogenkan dan menyatukan segmen-segmen penduduk Asia Tenggara yang besar. Namun tidak seluruhnya lepas dari pola keseragaman beragama secara lahiriah dan kesamaan identitas yang dapat diamati. Muslim Asia Tenggara dalam beberpa hal tetap berbeda satu sama lain, baik itu bahasa, suku, dan lebih penting lagi, nasionalitas.Di satu sisi, kaum Muslim Asia Tenggara merasa diayomi oleh lslam yang bisa melebihi batas-batas negara dan aliansi. Di sisi lain, mereka juga diharap mentaati peraturan kenegaraan dan kewarganegaraan yang sering menimbulkan pertentangan dengan loyalitas primordial dan keagamaan mereka.
Sehingga lslamisasi masyarakat Asia Tenggara berpengaruh kedalam kekuasaan yang tak pelak lagi mengakibatkan transformasi budaya dan politik dengan tingkat pengaruh yang berbeda-beda. Budaya politik Hindhu-Budha yang merupakan tradisi politik wilayah kepulauan telah digantikan dengan ide-ide dan lembaga-lembaga yang diilhami oleh Qur’an dan sumber-sumber sah lslam lainnya. Konsep lslam tentang pemimpin menggantikan konsep Hindu tentang devaraja. Sebutan kehormatan dan gelar yang bernafaskan lslam mulai digunakan. Hukum lslam segera dilaksanakan setelah lslam menjadi agama resmi, meskipun tetap selektif. Undang-undang Malaka ( di kompilasi tahun 1450) dengan jelas berisi hukum lslam yang menetapkan bahwa pemerintahan Malaka harus dijalankan dengan hukum Qur’ani. Prasasti Trenggana, tahun 1303, juga secara jelas menunjukkan pelaksanaan hukum lslam di kerajaan tersebut. Di wilayah Pattani hukum lslam di terapkan terus hingga akhir abad ke-19. Di dalam undang-undang Pahang terdapat sekitar
42 pasal diluar keseluruhan pasal yang berjumlah 68 yang hampir identik dengan hukum mazhab Syafi’i.
Pengaruh politik lslam di wilayah semakin kuat, posisi ekonomi yang terhormat pun berhasil dikuasai. Pelayaran internasional di monopoli oleh mereka. Sebagian besar pelabuhan berada dalam pengaruh mereka. Tidak bisa dibantah mereka adalah orang- orang kaya terpelajar. Jadi tidak heran jika pemerintahan Portugis dan Belanda mulai tergoda untuk menjalin hubungan dagang dengan penguasa perdagangan di Wilayah Asia Tenggara. Namun lambat laun merekapun berkeinginan menguasai wilayah ini. Melalui permainan politik dan hegemoni merekapun berhasil menguasai lndia Timur dan Malaya pada abad ke-16 sampai abad ke-19.
Penguasaan kolonial secara bertahap telah mengikis peran para penduduk lslam dibidang politik dan ekonomi. Pengenalan pada administrasi modern dan sistem hukum kolonial yang dalam beberapa hal bertujuan untuk melindungi kepentingan kaum kolonial, telah merugikan pihak pribumi. Sekularisasi di bidang administrasi yang memisahkan agama dan bahkan kebudayaan dari politik telah merusak tatanan politik tradisional yang sama sekali tidak mengenal pemisahan demikian.
Tidak mengherankan jika para pemimpin nasional di kawasan ini yang dilhami cita- cita kemerdekaan politik muncul terutama dari orang-orag terdidik dalam sistem pendidikan kolonial. Mereka mulai membuka mata atas kondisi lndonesia yang terjajah dan tertindas mendorong lahirnya organisasi-organisasi sosial, seperti Budi Utomo,Taman Siswa, Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon dan lain sebagainya.
Bersamaan dengan lahirnya organisasi sosial itu, kebangkitan lslam juga semakin berkembang, dan membentuk organisasi sosial keagamaan pula, seperti Sarekat Dagang lslam (SDI) di Bogor 1909 dan Solo 1911, perserikatan Ulama’ di Majalengka, Jawa Barat
1911, Muhammadiyah di Yogyakarta 1912, Prsatuan lslam (Persis) di Bandung 1920, Nahdhatul Ulama (NU) di Surabaya 1926 dan Partai politik seperti Sarekat lslam (SI) yang merupakan kelanjutan dari SDI dan Partai lslam lndonesia (PII) pada tahun 1938.
lndonesia merebut kemerdekaaan tahun 1945 dari Belanda. Namun tetap meninggalkan kompromi, yakni mengadopsi model demokrasi parlementer Belanda yang menimbulkan pemberontakan, Presiden Soekarno melihat sistem politik yang selama ni dijalankan harus dirubah menjadi demokrasi terpimpin. Perubahan ini diharapkan bisa menyatukan kelompok-kelompok nasionalis, agama dan komunis.
Di semenanjung Malaya, Federasi Malaya yang terdiri dari sembilan negara berdaulat Malaya, Penang, dan Malaka berdiri sebagai negara Merdeka tahun 1957. Undang-undang baru memberlakukan sistem politik demokrasi liberal sebagaimana di lnggris. Tahun 1963 bersama dengan negeri Sabah dan Serawak di Kalimantan Utara, dan Singapura, Federasi Malaysia terbentuk, karena perbedaan politik yang amat serius, Singapura memisahkan diri dari Malaysia Tahun 1965 dan menjadi Republik yang merdeka penuh dengan bentuk pemerintahan parlementer seperti lnggris. Namun sebagian besar partai politik di Malaysia masih diorganisir secara komunal, karena bagaimanapun faktor etnik tetap berperan penting dalam percaturan politik. Kepentingan kaum Muslim di wakili dalam sejumlah partai politik, yaitu United Malaya National Organisation (UMNO), dan Partai lslam (PAS), yang merupakan partai oposisi.
Brunei, yang menolak bergabung dengan Malaysia, memperoleh kemerdekaan penuh pada 1 Januari 1984. sistem politik tradisional diberlakukan kembali dalam bentuk modern yang keluarga Raja sebagai pemegang kepemimpinan kerajaan yang bernama Negara Brunei Darussalam. Dominasi keluarga kerajaan di bidang pemerintahan dan tidak adanya demokrasi politik memang Pemeritah memberlakukan kebijaksanaan di bidang agama dan kebijaksanaan umum lainnya tanpa banyak kesulitan.
Kedaulatan di Republik Philipina dipulihkan pada 4 Juli 1946, didasarkan pada undang-undang tahun 1935, yang kemudian mengadopsi model sistem pemerintahan demokrasi Amerika. Namun Burma, di pihak lain mencapai kemerdekaannya dari Inggris tahun 1948 dan melaksanakan sistem politik demokrasi liberal hingga Maret 1962 sebelum terjadi kudeta militer yang mengakhirinya. Sejak itu Burma berada di bawah pemerintahan Militer yang mencoba menjalankan kekuasaan lewat program partai sosialis Burma (BSPP; Burma Sosialis Programne Party), satu-satunya partai politik yang hidup. Tahun 1974, sebuah konstitusi baru di berlakukan dan Burma di beri nama Republik Sosialis Persatuan Burma (Sosialist Republik of The Union Burma).
Muangthai tidak pernah dijajah secara langsung, namun tahun 1932, banyak terjadi perkembangan struktural ketika Monarki absolut digantikan dengan monarki konstitusional. Politik Muangthai di zaman konstitusional di tandai oleh Berkali-kali dalam politik yang partisipatif, disebabkan birokrasi, manipulasi dan intervensi kelompok militer. Kemerdekaannya dipulihkan kembali oleh Prancis tahun 1953 dan berdiri sebagai kerajaan Kamboja hingga tahun 1970, ketika kudeta setelah di ganti menjadi Republik sedangkan dari jumlah pemeluknya, Islam adalah agama kedua yang cukup penting di Muangtahi.
Sehingga di bidang politik, persoalan masyarakat Muslin melayu yang ingin memisahkan diri sangat meresahkan kerajaan. Gerakan pemberontakan kaum Separatis Melayu Muslim melahirkan sejumlah organisasi seperti Pattani United Liberation Organisation (PULO), Barisan Nasional Pembebasan Partai (BNPP), Barisan Revolusi Nasional.
Fenomena politik yang terlalu menekankan pertimbangan ekonomi yang konsekwensinya menjadi sangat tergantung pada bantuan luar dan modal asing memotori munculnya reaksi positif dari kelompok-kelomok intelektual dan Mahasiswa dengan membentuk LSM atau organisasi Volunteer non-pemerintahan (POV’S) yang sama-sama mendukung dan mempromosikan peran masyarakat yang didasarkan pada gerakan swadaya pada tingkat akar rumput (grass roots) dengan tiga prinsip utama: partisipasi, otonomi dan swadaya. Peran organisasi-organisasi ini relatif independen yang kemungkinan karena dukungan LSM atau POV’S Internasional.
F. Perkembangan Keagamaan dan Peradaban
Sebagaimana telah diuraikan di atas, pada term penyebaran Islam di Asia Tenggara yang tidak terlepas dari kaum pedagang Muslim. Hingga kontrol ekonomi pun di monopoli oleh mereka. Disamping itu pengaruh ajaran Islam sendiripun telah mempengaruhi berbagai aspek kehidupan Masyarakat Asia Tenggara.
Islam mentransformasikan budaya masyarakat yang telah di-Islamkan di kawasan ini, secara bertahap. Islam dan etos yang lahir darinya muncul sebagai dasar kebudayaan. Namun dari masyarakat yang telah di-Islamkan dengan sedikit muatan lokal. Islamisasi dari kawasan Asia Tenggara ini membawa persamaan di bidang pendidikan. Pendidikan tidak lagi menjadi hak istimewa kaum bangsawan. Tradisi pendidikan Islam melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Setiap Muslim diharapkan mampu membaca al-Qur’an dan memahami asas-asas Islam secara rasional dan dan dengan belajar huruf Arab diperkenalkan dan digunakan di seluruh wilayah dari Aceh hingga Mindanao. Bahasa- bahasa lokal diperluasnya dengan kosa-kata dan gaya bahasa Arab. Bahasa Melayu secara khusus dipergunakan sebagai bahasa sehari-hari di Asia Tenggara dan menjadi media pengajaran agama. Bahasa Melayu juga punya peran yang penting bagi pemersatu seluruh wilayah itu.
Sejumlah karya bermutu di bidang teologi, hukum, sastra dan sejarah, segera bermunculan. Banyak daerah di wilayah ini seperti Pasai, Malaka dan Aceh juga Pattani muncul sebagai pusat pengajaran agama yang menjadi daya tarik para pelajar dari sejumlah penjuru wilayah ini.
System pendidikan Islam kemudian segera di rancang. Dalam banyak batas, Masjid atau Surau menjadi lembaga pusat pengajaran. Namun beberapa lembaga seperti pesantren di Jawa dan pondok di Semenanjung Melaya segera berdiri. Hubungan dengan pusat-pusat pendidikan di Dunia Islam segera di bina. Tradisi pengajaran Paripatetis yang mendahului kedatangan Islam di wilayah ini tetap berlangsung. Ibadah Haji ke Tanah Suci di selenggarakan, dan ikatan emosional, spritual, psikologis, dan intelektual dengan kaum Muslim Timur Tengah segera terjalin. Lebih dari itu arus imigrasi masyarakat Arab ke wilayah ini semakin deras. Di bawah bimbingan para ulama Arab dan dukungan negara, wilayah ini melahirkan ulama-ulama pribumi yang segera mengambil kepemimpinan lslam di wilayah ini. Semua perkembangan bisa dikatakan karena lslam, kemudian melahirkan pandangan hidup kaum Muslim yang unik di wilayah ini. Sambil tetap memberi penekanan pada keunggulan lslam, pandangan hdup ini juga memungkinkan unsur-unsur lokal masuk dalam pemikiran para ulama pribumi. Mengenai masalah identitas, internalisasi Islam, atau paling tidak aspek luarnya, oleh pendudukan kepulauan membuat Islam
muncul sebagai kesatuan yang utuh dari jiwa dan identitas subyektif mereka. Namun fragmentasi politik yang mewarnai wilayah ini, di sisi lain, juga melahirkan perasaan akan perbedaan identitas politik diantara penduduk yang telah di Islamkan.
0 komentar:
Posting Komentar
berilah komentar yang saling mendukung saling menghormati sesama